Batam dari Titik Nol Kilometer



commons.wikimedia.org

Refleksi Hari Jadi Kota Batam

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Penentuan Hari Jadi Kota Batam awalnya adalah sebuah proses yang panjang dan melelahkan. Beberapa momentum sejarah tentang Batam seperti pembangunan pabrik batu Batam Brick Works pada 26 Juli 1896 dan hikayat Hang Nadim yang menghadang Portugis di Riau pada 1881 telah dipertimbangkan sebagai titik nol kilometer kelahiran Batam yang dapat kita saksikan gemerlapnya pada hari ini.

Bahkan ketika pembahasan ini masuk ke domain politik, beberapa pihak mencoba mengaitkan hari jadi Batam pada Kepres Nomor 65 Tahun 1970 tentang penetapan Batam sebagai logistic base untuk eksploitasi dan eksplorasi minyak lepas pantai atau pada PP Nomor 34 Tahun 1983 tentang Pembentukan Kotamadya Administratif Batam. Adanya saling pengukuhan eksistensi antara Pemko dan Otorita Batam (OB) yang terlibat konflik kepentingan beberapa tahun lalu ikut menggagalkan penentuan Hari Jadi Batam yang merujuk kepada kaidah normatif.

Barulah tabir terbuka ketika Sejarawan Kepri Aswandi Syahri mempublikasikan temuan manuskrip pengukuhan Raja Isa ibni Raja Ali sebagai pemegang perintah atas Nongsa dan sekitarnya atas nama Sultan Riau Lingga Abdulrahman Syah dan Yang Dipertuan Muda Riau (YDMR) Raja Jakfar pada tanggal 22 Jumadil Akhir 1245 Hijrah, bertepatan 18 Desember 1829 Masehi.

Dengan demikian, kota yang sempat dianggap sebagai pulau kosong ini rupanya telah berumur 180 tahun. Tanggal 18 Desember 1829 oleh Aswandi diargumentasikan sebagai fase paling awal adanya lembaga pemerintahan di Batam. Dengan pengukuhan Raja Isa sebagai pemegang otoritas atas Batam, maka roda pemerintahan di pulau ini mulai berjalan secara sistemik yang kemudian perlahan-lahan mengkatrol pertumbuhan wilayah.

Penetapan hari jadi tiap-tiap kota di Indonesia merujuk pada pelbagai persepsi. Hari jadi Kota Pekanbaru misalnya dianggap bermula pada penggantian nama Senapelan menjadi Pekan Baharu pada Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 M berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku yakni Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar. Sedangkan hari jadi Tanjungpinang diperhitungkan pada 6 Januari 1784 M saat Raja Haji Fisabilillah menembak kapal komando Belanda “Malaka’s Wal Faren”. 

Momentum ini hampir mirip dengan hari jadi Kota Jakarta yang bertepatan pada saat pengambilalihan Pelabuhan Sunda Kelapa oleh Pangeran Fatahillah dari Portugis pada 22 Juni 1527. Kota Pekanbaru dan Tanjungpinang kendati lahir pada tahun yang sama, latar belakang sejarahnya berlandaskan pada dua momentum yang berbeda. Sama halnya dengan Jakarta dan Surabaya yang jika dirunut dari sejarah kelahiran, kedua kota ini sudah muncul pada zaman kerajaan Hindu di abad ke-12, namun Jakarta memilih titik sejarahnya sendiri.


Sudah Humaniskah Batam?

Ketika sejarah itu telah digenggam, lantas bagaimana kita memfungsikannya agar langkah-langkah ke depan tidak mewariskan bercak hitam kepada generasi selanjutnya. Setiap kota seperti Batam memiliki muatan sejarah yang tidak pernah lepas dari konflik dan kontradiksi. 

Sejak terbentuknya kota di muka bumi ini dimulai dengan peradaban sederhana Mesopotomia, kota tertua di antara Sungai Eufrat dan Tigris yang berkembang pada awal Zaman Neolitik antara tahun 7000 SM – 5000 SM, atau kota besar Mohenjodaro-Harappa yang dibangun sekitar 3000 SM di lembah Sungai Indus, konflik antara penguasa dan jelata atau antara tuan tanah (pengendali modal) dengan pribumi telah menoreh luka-luka sejarah sepanjang berdirinya kota itu.

Akan halnya Batam, perjalanan sejarahnya dari titik nol kilometer itu patut kembali direnungkan, agar kita tidak terlalu puas hanya karena kota ini sudah menemukan tanggal lahirnya. Kecuali jika tujuan awalnya hanyalah untuk mematahkan semua mitos bernada sarkastis yang menyebutkan bahwa Batam hanyalah hutan belantara yang terdiri dari para monyet, sebelum masuknya era industrialisasi. Karena tidak akan pernah berbeda dengan sejarah kota manapun di muka bumi ini, Batam juga menyimpan sebuah luka sejarah. Pertanyaannya adalah sudah cukup humaniskah kota ini untuk kita tinggali?

Sepanjang usianya yang mencapai 180 tahun, kenyataannya pembangun fisik Batam berjalan lamban. Wilayah ini dikagetkan pada 30 tahun terakhir dengan adanya kontraksi pembangunan menyusul kebijakan pusat yang menetapkan Batam sebagai basis industrialisasi. 

Dan dalam masa 30 tahun terakhir itu pulalah, fenomena Batam secara utuh seragam dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia sebagai tempat bercokolnya para kapitalis, keterdesakan ekonomi akibat tingginya urbanisasi, pertumbuhan kawasan kumuh (slum) serta kekacauan tata ruang dan ketidaksinambungan ekologi kota.

Globalisasi yang diterapkan di Batam dalam tiga dasawarsa terakhir menjadi dalih untuk tidak memberi akses lebih banyak kepada kepentingan publik. Implikasinya terhadap spasial pembangunan kota adalah tata ruang yang sangat memihak kekuatan dominan dalam hal ini pemilik modal. 

Kota Batam hari ini yang demikian gempita telah menjadi pusat aglomerasi milik segelintir orang. Menjamurnya konsep perumahan regency atau cluster system adalah sedikit upaya untuk menghindari tetek bengek kaum marjinal sekaligus membersihkan aroma kampung dari orang-orang tempatan yang telah menyumbangkan tanah moyangnya untuk itu.

Ketidakadilan alokasi sumber daya yang penting bagi rakyat telah menimbulkan kontradiksi di Kota Batam. Pergeseran makna dari public goods menjadi private goods yang terjadi sebagai akibat dari keniscayaan laju sejarah neo-liberalisme menjadi pendorong kontradiksi di tengah masyarakat. 

Salah satunya yang paling kentara adalah penggusuran rumah liar dan kampung-kampung kumuh oleh lembaga otoritas dengan perangkat aparatus-aparatusnya untuk dipersembahkan kepada pemilik modal dengan mengatasnamakan pembangunan dan estetika. 

Sampai di sini, sebagai rakyat tidakkah kita ingin bertanya apa makna sebuah kota sejatinya? Sesungguhnya dalam cita-cita filosofisnya, kota dibangun untuk menyejahterakan masyarakat seluruh lapisan serta tempat bernaung dan berhimpun penduduknya secara humanis dalam prinsip kesetaraan (equal opportunity)

Sejak awal seharusnya orang-orang Batam sebagai penyumbang sejarah perlu wanti-wanti ketika rumus-rumus pembangunan dan kerumitan grafik ekonometri yang dibanggakan itu ternyata tidak mampu membuka kebuntuan akses bahkan justru menghambat masyarakat untuk menikmati kotanya sendiri.

Sepanjang alur sejarah Batam, tersumbatnya akses masyarakat untuk memiliki dan menikmati kotanya sendiri secara humanis terjadi pada tiga tahap. Pertama, fase Kesultanan Riau Lingga yang bernafas feodalistik, ditandai dengan besarnya kewenangan sultan dan kaum bangsawan dalam kepemilikan lahan dan pemungutan cukai. 

Kedua, fase kolonialisme yang menghegemoni kepentingan rakyat dengan menguasai seluruh fasilitas kota dan seluruh sumber daya pribumi untuk kepentingan kompeni. Ketiga, fase globalisasi di mana sedikit banyaknya, penguasa meng-copy paste model kebijakan yang diterapkan bangsa kolonial dalam tata kelola pembangunan kota.

Untuk fase yang terakhir ini, model kebijakan tata kota yang mengadopsi tabiat kompeni amat terasa di masa orde baru. Masyarakat berada pada posisi yang sangat dilemahkan ketika tanah-tanah ulayat mereka di-buldozer secara paksa dengan nilai ganti rugi yang sangat merisaukan hati. 

Orang-orang tempatan terpinggirkan ke sudut-sudut tak penting tanpa pemberdayaan apapun, hanya untuk sebuah penciptaan zona urban yang hasilnya dinikmati sekian orang. Titik-titik strategis di Batam ketika itu juga dikuasai orang-orang penting yang menjelma menjadi calo dan spekulan lahan.

Penyingkiran masyarakat lokal dan kaum pendatang unsklilled terjadi bersamaan dengan starting point era industrialisasi di Batam di mana terminologi FTZ pertama kali disebut-sebut. Kini ketika pola FTZ diterapkan secara lebih masif, perubahan cara pandang elemen eksekutor terhadap sisi sosial di Batam tidak banyak berubah.

Meski sudah ada desakan politik untuk pelestarian kampung tua, namun ruang-ruang sosial tempat tumpah darah masyarakat tradisional tetap menjadi incaran atas nama investasi tanpa diimbangi tindakan afirmatif terhadap kesejahteraan mereka.

Jika alur sejarah ini tetap dipertahankan, maka asa kita bersama untuk menjadikan Batam sebagai kota yang humanis dalam prinsip kesetaraan tidak akan pernah benar-benar sampai ke tujuan. Dan satu catatan, kondisi kekinian dibandingkan dengan ketika sejarah itu bermula amat sangat berbeda. Siapa kini yang memiliki Batam sebenarnya? ~MNT


Comments