Bung Karno, Kennedy, Kita


 
Soekarno dan JF Kennedy (F:  www.jfklibrary.org)
 
Oleh Muhammad Natsir Tahar

Pada 1962 JF Kennedy mengguncang podium: we choose to go to the Moon. Ini adalah pidato paling fundamental dalam sejarah umat manusia. Kisah pendaratan ke bulan yang beredar dalam fantasi segera menjadi realita. Pada tahun yang sama Soekarno dari Indonesia memulai konfrontasi dengan Malaysia (baca: Inggris).

Ada yang bilang keduanya pernah bersahabat. Prosesi penyambutan Presiden Soekarno di Meryland Amerika Serikat belum pernah ada. Kennedy berada di tengah penyambutan, yang tidak pernah ia lakukan kepada pemimpin manapun, apalagi untuk negara random yang retak-retak macam Indonesia ketika itu. Setelah Abraham Lincoln, Kennedy lah yang paling dicintai Amerika. Soekarno di Indonesia saat itu juga demikian adanya.

Pertemuan mereka pada 24 April 1961 itu dimanfaatkan Soekarno di antaranya untuk menghapus keheranan Kennedy mengapa Indonesia dengan ras Mongoloid menginginkan Irian Barat yang punya ras Melanesia. Meskipun berbeda ideologi, keduanya lalu sepakat dalam semangat anti kolonialisme (baca: mengacuhkan Belanda).

Sebagai bangsa unggul yang akan pergi ke bulan, Indonesia jelas tidak penting, kecuali untuk tujuan menguras perut buminya. Ini adalah tentang kekaguman Kennedy pada isi kepala Soekarno. Sebagai contoh kecil seperti tercatat dalam Le Citoyen Press & Publishing, Guntur —putra Bung Karno— tidak sengaja membuat sepotong daging steak melayang dan mendarat di hadapan Kennedy.

“Guntur hanya mempraktikkan senjata terbaru Amerika Inter Continental Ballistic  Missiles,” kata Soekarno dengan nada bercanda pada Kennedy. Kennedy heran bagaimana Soekarno bisa menyebut jenis senjata yang masih menjadi top secret di negaranya.

Tidak hanya bersahabat, keduanya juga disebut-sebut punya banyak kesamaan. Terutama tentang cara mereka dilenyapkan dari istana. Siapakah yang paling termotivasi dalam membunuh Kennedy? Opini internasional menggiringnya pada usaha Kennedy untuk membatalkan privatisasi Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), pertarungan yang juga menyebabkan Abraham Lincoln terbunuh.

Siapa yang paling ingin Bung Karno terguling? Opini internasional mengaitkannya dengan  kegigihan Putra Sang Fajar ini mengusir World Bank dan IMF serta menolak Freeport, yang menyebabkan Amerika pasca-Kennedy berkonspirasi dengan agen-agennya di Indonesia untuk mengenyahkan Soekarno. Indonesia adalah panggung pertarungan antara komunisme dan kapitalisme. Banyak spekulasi beredar tentang beralihnya kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.

Setiap pemimpin ada zamannya. Soekarno adalah figur yang paling tepat dalam membangun tubuh nasionalisme dan ideologi Negara pasca kolonial. Dari ceking menjadi berotot. Seperti Napoleon Bonaparte dianggap tepat, ketika Prancis ingin lepas dari cengkaman rezim kuno feodalisme, atau George Washington yang melayani revolusi agung Amerika.

Tapi Indonesia butuh makan. Bagaimana bisa terus memanggul senjata dan berteriak anti imperialisme dengan perut kosong. Temui orang-orang tua dulu, mereka dengan fasih akan menceritakan pedihnya ekonomi zaman konfrontasi. Indonesia mengalami hiperinflasi dalam masa-masa genting Soekarno.

Di sini Soeharto adalah orang yang tepat berikutnya. Indonesia butuh darah segar, dan the smiling general ini membuka keran infus untuk mengalirkan darah kapitalisme global ke Indonesia. Indonesia lalu menjadi macan di Asia.

Adagium Lord Acton yang berbunyi "Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely" memerangkap Soeharto dan kroninya yang terlalu betah dalam tiga dekade. Soeharto mundur oleh banyak skenario, dan tidak lepas dari kontradiksi opini internasional. Lalu siapa yang tepat di zaman reformasi ini? Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY atau Jokowi? Seluruhnya tepat, sebagian, hanya satu atau tidak sama sekali, silakan beropini cara internasional.

Tidak perlu memberi  jawaban bila perlu, karena zaman sudah bergulir terlalu cepat. Tepat tidak tepat tidak ada bedanya. Yang akan selalu sama, seperti Soeharto, mereka dikitari oleh kroni-kroni korup yang lebih gila dan canggih agar bisa sejajar dengan zamannya.

Indonesia ini seperti bola kosmos yang sudah menggelinding tepat pada orbitnya. Reformasi bersamaan dengan lepasnya zaman kilang menuju tekno digital. Semua ceruk dibanjiri oleh infromasi. Informasi tanpa tapisan yang menumpuk dalam tong sampah peradaban.

Post truth atau politik pascafakta atau era dusta juga berkembang di masa ini. Dunia berjalan secara robotik, para pemimpin dunia sering mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan. Emosi telah mengaduk cara berpikir seperti Brexit atau perang dagang China – Amerika.

Dunia sedang menuju keseimbangan palsu. Indonesia pula sedang memajukan bidang debat yang dangkal dalam siklus diskusi terbatas dan kebisingan sosial media. Bila 57 tahun lalu Kennedy sudah bisa mengajak Amerika pergi ke bulan, kita hari ini masih sibuk menaikkan pungutan berdalih defisit anggaran. ~MNT

Comments