Pilar Keempat Demokrasi


 
Ilustrasi: gstatic.com



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Catatan Hari Pers Nasional 2020

Setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, ada pilar keempat demokrasi yakni pers. Bukan retorika tapi absolut. Ini menjadi komitmen utama dalam UUD 45, setidaknya seperti dikuatkan oleh Jimly Asshiddiqie. Demokrasi butuh kaum profesional yang menjadi jembatan antara masyarakat kelas bawah dengan kaum elite.

Pers Indonesia berbeda masif dengan pers zaman papyrus Aleksandria, Julius Caesar atau Kaisar Quang Soo. Ketika mereka menjadi pesuruh atau subordinat dari eksekutif (nama ilmiah untuk kaisar). Pers Indonesia adalah pilar yang paling dulu tumbuh dalam perang urat syaraf melawan kolonial. 

Ketika konsep Trias Politika untuk Indonesia masih tertahan di dalam 'Naar de Republiek Indonesia'-nya Tan Malaka, pilar pers dipakai oleh para intelektual mulai Soekarno, Hatta, DR Soetomo, Ahmad Dahlan, Muhammad Natsir, Dowes Deker, HOS Tjokroaminoto, WR Soepratman, Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, Sutan Takdir Alisjahbana, Adam Malik, Hamka, Pramoedya Ananta Toer, untuk tidak menyebut semua.

Setelah Indonesia merdeka, sebagian intelektual itu mendapatkan Trias Politika-nya, pilar pers tergeletak seperti selongsong peluru. Mereka seakan lupa bahwa mereka adalah mantan para wartawan. Yang ada hanyalah jejak pembredelan dan penghangusan. Mereka tidak sekuat demokrat sejati Thomas Jefferson yang berani bilang: "Lebih baik memiliki pers tanpa pemerintah, daripada memiliki pemerintah tanpa pers".

Saya dapat memaklumi mengapa Montesquieu tidak memasukkan pers dalam Trias Politica, sebab masa itu di hadapan matanya pers adalah pingitan kaisar. Surat Kabar Perancis The Gazette de France didirikan pada tahun 1632 oleh raja Theophrastus Renaudot berada dalam perlindungan Louis XIII dan setelahnya. Surat kabar ini menjadi instrumen propaganda untuk monarki.

Demokrasi Indonesia terlahir membawa cacat. Terlihat ada Trias Politika, tapi auto-feodalis. Tanpa komando, legislatif dan yudikatif agak sedikit turun bahunya di hadapan eksekutif. Padahal mereka sederajat. Pemisahan kekuasaan dalam ajaran Montesquieu, diperhalus menjadi pembagian kekuasaan (power sharing) untuk bersekongkol di belakang pers di bawah pengaturan oligarki.

Tidak ada bedanya presiden, gubernur atau wali kota dengan wartawan yang bertugas di sana. Yang menjadi pembeda adalah mereka menguasai fasilitas dan uang Negara, sedangkan pers hidup sendiri dari jalanan jurnalistik yang payah dan paradoks. Apakah karena ini pers terlihat inferior, tentu tidak. Pers harus tetap menegakkan kepala, menatap mata dan menunjuk hidungnya, bila mereka melakukan kesalahan.

Pers terjebak dalam dilema etika profesi, industri dan politisasi media. Pilar keempat demokrasi (the fourth estate) ini tertatih, karena pers tidak mengenggam kekuasaan dan uang negara. Hal ini menjadi senjata ketiga pilar lainnya untuk menggoda pers dengan sedikit anggaran di sektor kehumasan atau publikasi. Bahkan untuk melayani kegenitan demokrasi elektoral.

CCTV dipasang di fasilitas publik dan perempatan jalan untuk memata-matai rakyat. Tapi apakah publik bisa mengawasi ruang kerja para penguasa dan birokrat. Adakah layar lebar yang dapat ditonton beramai-ramai tentang persekongkolan di dalam sana. Bagaimana mereka mengatur anggaran dan seterusnya? 

Pers akan selalu terhalang-halangi untuk membongkar lebih cepat, mereka menutup akses bagi kerja-kerja pers, sehingga APBN dan APBD selalu bocor, Garuda Indonesia mencatat utang Rp 12,6 triliun, Waskita Karya Rp 103 triliun, Inalum  USD 4 miliar, Krakatau Steel Rp 35 triliun, PLN Rp 394 triliun, BPJS Kesehatan defisit 56 triliun dan Jiwasraya gagal bayar Rp 12,4 triliun. Sederet kasus sebagai puncak gunung es. 

Atau bila pers tidak cepat, maka Harun Masiku akan menjadi misteri abad digital, untuk menyebut salah satu contoh kecil sebuah konspirasi dan pers berhasil membongkarnya. 
George Orwell (1903-1950) seorang penulis Inggris berujar “Freedom of the Press, if it means anything at all, means the freedom to criticize and oppose” (Kebebasan pers, jika itu berarti apa saja, berarti kebebasan untuk mengkritik dan menentang). Selamat menyambut Hari Pers Nasional 2020. ~MNT



Phapyrus Terakhir

wartawan paling tua berkabar tentang ranting zaitun
dan bahtera nuh mendapatkan koran pagi pertamanya
wartawan phapyrus menulis headline tentang sabda fir’aun
pula tentang piramida yang menyusun lilitan kafan mummy
dan julius caisar mengumumkan dirinya pada acta diurna
wartawan sudah disuruh-suruh sejak pertama

pilar keempat trias politica montesquieu
adalah dia yang pernah disuruh-suruh julius
hingga reporter dari istana tiongkok purba
hapal betul jadwal mandi kaisar jam berapa
berutang kita pada gutenberg
mau baca berita belilah koran kita
pergilah kau kaisar, kami bukan lagi juru tulis istana

tragedi itu tiba lewat perang dunia satu dua
wartawan menulis desing peluru
pun menyeka peluh di dahi wanita palang merah
diktator dunia menyuruh kita menulis berita glory
politik pencitraan sudah ada
sebelum jakarta diganyang air bah

patriot sezaman sukarno muda
mengejar deadline di belakang bedil belanda
wartawan paling suci dari sekujur tubuh indonesia
jadi murid adam smith untuk membalas senyum pak harto
daripada kantor beritamu diikat, anak istri makan apa

wartawan reformasi berlari kencang di jalur bebas hambatan
siapapun bisa ngaku wartawan
asal berani bilang “bang” pada bupati
sudah wartawanlah namanya itu
tak usah tahu beda prefiks dan preposisi
apalagi kenal eyede, sintaksis, semantik
redakturmu entah siapa,
paling tidak kode etik jurnalistik kasih tahulah
yang penting kartu pers ada, kata kau pula

kini zaman robot wartawan
ketika berita adu hoaks dengan sosial media
wartawan bertengkar tulisan dengan mesin
yang tak milenial akan gelimpangan
tapi siapa peduli ocehan cenayang
toh kita sendiri pergi bunuh diri
selingkuh dengan penguasa mestinya jangan sampai ke tulang
atur jarak biar tetap dibilang elegan
tetaplah menulis realita hingga pada phapyrus terakhir


Comments