Oleh Muhammad Natsir Tahar
Apakah
kita seperti semut di bawah kaca pembesar? Berlalu lalang dalam keteracakan
(keteraturan), dengan gerak gerik yang dituntun oleh algoritma genetik.
Tetaplah ragu bahwa kita punya kehendak bebas. Kita sedang
dalam kendali terus menerus. Kita tidak sendiri, ada entitas superior di atas
kita. Menatap dari ketinggian dan menuntun penuh.
Pabila
demikian adanya, para pendekar kehendak bebas, para pemikir keras
eksistensialisme di penghujung abad 19 dan awal 20, hanyalah kilatan sekejap
dari sebentang panjang sejarah umat manusia. Kierkegaard, Sartre, Heidegger,
Kafka, Camus, Nietzsche misalkan, telah berjuang keras untuk memanusiakan para
Sapiens yang terlalu lama (ikhlas) dalam kurungan pikiran.
Eksistensi
mendahului esensi yang
dibahanakan oleh Sartre berkisar soal keterpencilan eksistensi manusia dari
apapun label ditanamkan pada dirinya, termasuk profesi, stereotipe, definisi,
atau kategori dan ragam esensi lainnya yang diatribusikan oleh orang lain atau
sistem.
Bila
mulai bosan, buanglah teori-teori itu ke keranjang sampah, tempat kita menumpuk
semua kisi filsafat, untuk berlenggang di jalan pop. Kultur pop adalah suatu
belokan di atas permukaan, untuk keluar dari tarikan dua kutub: determinisme
dan eksistensialisme.
Sampai
kepada Hegel, Spinoza dan Kant, pemikir klasik menganggap bijak bestari kaum
shopis adalah mereka yang berpaham Stoa. Adalah mereka – mereka yang dituntun
oleh kode etik, keteraturan, esensi individual, serta menjadi elemen terpenting
bagi Ilahi untuk menjaga keteraturan di bumi.
Yang
menjadi sama untuk kaum Stoik klasik dan pejuang eksistensialis adalah mereka
sama-sama menolak tirani dan perbudakan. Mereka sama-sama ingin mengangkat
kerah para kaisar dan oligarkis yang semena-mena.
Stoa
mementingkan ajaran moral dan nilai universal, sedangkan kaum humanis lebih
menjurus kepada memutuskan semua teraju yang mengekang kemanusiaan, atas dasar
kesamaan derajat dan potensi manusia. Semua manusia mestinya adalah
Superman, kira-kira begitu maunya Nietzsche.
Kita
bisa uji apakah determinisme atau kehendak bebas yang menang. Kita tidak bisa
memilih untuk lahir dari rahim siapa dan di atas kerak bumi yang mana. Kita
diberi nama, diberi agama, ditumbuhkan, diasuh oleh semua ikatan, norma, nilai,
moral, istiadat, sekolah, negara, dan aturan tak tertulis apapun.
Semua
itu adalah temali yang sedang mengikat kemanusiaan kita, dengan cara yang
paling sopan sekalipun. Kepada kita kemudian diberikan label, jenama,
streotipe, definisi, kategori, apapun dan kita diikat olehnya. Setelah dewasa
kita semakin mengikat diri ke dalam profesi, nasionalisme (semua isme), pilihan
politik, sekte, mode, protokol, kerapatan adat, pertemanan, pernikahan dan
papan bertuliskan “Jangan buang sampah di sini”.
Di
dalam diri kita. Kita diatur oleh algoritma biologis. Cara kita berjalan, warna
suara, jenis tertawa, dan cara kita bereaksi terhadap lingkungan telah
ditentukan oleh sifat bawaan. Legenda Siti Nurbaya dibuat untuk mengutuk kawin
paksa. Padahal semua perkawinan adalah paksaan.
Kita
tak punya kehendak bebas untuk mencintai siapapun. Semua itu adalah impuls dari
reaksi kimia di dalam otak kita. Siti Nurbaya dipaksa oleh Datuk Maringgih,
tapi Romeo dan Juliet (jika menikah) dipaksa oleh cinta, sesuatu yang berada di luar kendali
mereka. Sesuatu yang bukan kehendak bebas. Qais bahkan menjadi majnun, karena
tak kuasa melawan cinta pada Laila. Apakah kita membuat jadwal untuk membenci
seseorang pada Kamis pagi pukul delapan?
Apalagi?
Bahkan pengemudi serampangan sekalipun yang merasa paling punya kehendak bebas,
sedang dalam kendali penuh entitas di atasnya. Kita menyebutnya Tuhan. Tuhan
yang mengikatnya untuk menabrak seseorang sebagai cara mati, atau cara mati
untuk dirinya sendiri, atau dia selalu diselamatkan karena jalan ajalnya berbeda.
Babak
humanisme hampir benar-benar tamat. Ketika bermunculan para ahli yang menyebut
kehendak bebas hanyalah ilusi setelah terhasut oleh Darwin, Huxley, dan
Einstein. Pikiran kita tidak nyata, kata Profesor Donald Hoffman.
Kita
benar-benar dalam manipulasi semesta. Artinya Sartre dkk sedang dirumahkan oleh
pemikir modern dan klasik sekaligus. Terimpit di tengah-tengah dan meninggalkan
pemujanya dalam kebingungan. Apakah kemanusiaan kita akan tamat. Ilmu budaya
dan penyelidikan akal budi harus permisi?
Menurut
William Klemm, Ph, D, para ilmuan telah membuat serangkaian eksprimen untuk
membuktikan bahwa otak membuat keputusan bawah sadar sebelum ia menyadarinya.
Dalam eksperimen tipikal yang mendukung kehendak bebas ilusif, seorang subjek
diminta menekan tombol secara bebas kapan saja dan memperhatikan posisi penanda
jam bila dia merasa menghendaki terlebih dahulu gerakan untuk menekan tombol
tersebut.
Pada
waktu yang sama, aktivitas otak dimonitor tepat pada bagian pengendali mekanika
gerakan. Hasil observasi ini mengejutkan, ternyata subjek memperlihatkan
perubahan aktivitas otak sebelum dia berniat membuat gerakan. Dengan kata lain,
alam bawah sadar diduga terlebih dahulu menerbitkan perintah sebelum pikiran
sadar sempat memutuskan untuk bergerak.
Mari
kita lakukan penyelidikan mandiri, di mana kita benar-benar menggunakan
kehendak bebas. Para determinis menyebut kita telah dan sedang dalam
pengendalian penuh Tuhan, dan para sekuleris ultra modern, sebutlah Bostrom
dari Oxford, Terrile dari Nasa, dan Elon Musk si Raja Tesla, menemukan landasan
logika bahwa kita sedang berada dalam dunia simulasi di bawah pengawasan
entitas superior di luar sana. Lalu oleh para saintis, kehendak bebas dianggap
sebagai ilusi.
Siapa
pemenangnya? Kita bisa menguji metode Quantum Ikhlas yang
dikembangkan Erbe Sentanu. Dinyatakan, seluruh masalah di dunia ini lebih mudah
diselesaikan dengan metode pasrah kepada Sang Pengatur. Gelombang otak kita
harus satu frekwensi dengan Tuhan dan semesta.
Di
sini kehendak bebas harus dibebaskan, karena mungkin benar-benar tidak ada,
hanya ilusi. Pula dalam metode tindakan tepat, naluri selalu lebih unggul dari
kehendak bebas. Bila demikian, haruskah semua buku tentang kemanusiaan ditulis
ulang? Lalu semua penyair dan budayawan dipecat dari peradaban?. ~MNT
Comments