Paradoks Pinokio

Ilustrasi: insieme.com




Oleh Muhammad Natsir Tahar

Hidup ini dikelilingi oleh paradoks. Beberapa paradoks dapat memiliki sebuah jawaban, meskipun banyak yang tetap tak terpecahkan, atau hanya terpecahkan dengan perdebatan. Paradoks cukup efektif untuk membuat kegempaan dalam pikiran.

Dalam definability paradoxes disebutkanparadoks (paradox) adalah suatu situasi yang timbul dari sejumlah premis yang diakui kebenarannya dan bertolak dari suatu pernyataan yang berujung kepada kontradiksi.

Etimologi paradoks dapat ditelusuri di abad renaisans, dari paradoxon berarti menurut apa yang diterima. Istilah ini hampir bersamaan datangnya dengan ortodoks (pengajaran langsung) dan heterodoks (ajaran berbeda).

Dalam keseharian kita, kadang-kadang paradoks itu muncul bila sesuatu memiliki nilai kebenaran namun berpeluang untuk diruntuhkan. Hukum Kontradiksi atau Principium Contradictionis–Wikipedia, adalah aturan yang menyatakan bahwa tidak mungkin sesuatu itu pada waktu yang sama adalah sesuatu itu dan bukan sesuatu itu. Sedangkan paradoks mencoba melanggar hukum ini, bahwa sesuatu itu menjadi mungkin tepat ada dari kedua hal yang disebutkan.

Paradoks tertua dan sangat terkenal adalah paradoks pembohong, yakni ketika Epimenides mengatakan bahwa semua orang Kreta adalah pembohong. Secara praktis, paradoks sama seperti dilema, ia biasa digunakan untuk argumentasi lawan dengan menempatkannya ke dalam situasi yang sulit dan serba salah.

Paradoks kebohongan mirip sebuah jebakan ketika seseorang mulai mengatakannya. Seperti ditulis Arief Hany di laman idntimes.com, terdapat sejenis paradoks kebohongan yang disebut Pinocchio Paradox (Paradoks Pinokio).

Pinokio berkata, "Hidungku akan memanjang". Seperti yang kita tahu hidung Pinokio akan memanjang jika ia berbohong. Dan jika dia mengatakan hidungnya akan memanjang dan ternyata hidungnya tidak memanjang, berarti Pinokio sedang berbohong. Dengan demikian karena berbohong hidungnya akan memanjang.

Tapi bila hidungnya memanjang berarti dia berkata jujur. Otomatis bila dia berkata jujur maka hidungnya tidak akan memanjang. Dengan demikian Pinokio sedang berada dalam keadaan hidungnya akan memanjang saat hidungnya tidak akan memanjang.

Di laman yang sama ada beberapa paradoks yang menarik untuk dipusingkan. Yang pertama adalah Grandfather Paradox  (paradoks kakek). Paradoks ini berbunyi, "Jika kita bisa kembali ke masa lalu dan membunuh kakek kita, apa yang akan terjadi?"

Mungkin jawaban mudahnya adalah si kakek akan mati. Tapi jawaban atau akibat dari kondisi tersebut tidak sesederhana itu.  Jika kakek kita mati, otomatis orangtua kita tidak akan terlahir ke dunia, dan tentu kita juga tidak akan terlahir ke dunia, lalu ini berarti kita juga tidak pernah membunuh kakek kita. Lalu bagaimana bisa terjadi kondisi kita membunuh kakek kita sedangkan akibat kakek kita terbunuh membuat kita tidak terlahir ke dunia.

Paradoks lainnya dan yang paling kontroversial adalah Omnipotence Paradox (Paradoks Kemahakuasaan). Paradoks ini kerap digunakan oleh para ateis untuk menyatakan pembangkangannya terhadap keberadaan Tuhan. Berbunyi: "Tuhan itu Maha Kuasa dan Ia bisa melakukan apa saja. Pertanyaannya, bisakah Tuhan yang Maha Kuasa menciptakan batu yang sangat berat yang sampai Tuhan sendiri pun tidak bisa mengangkatnya?"

Terdapat dua premis penting dalam paradoks ini. Pertama, apakah Tuhan bisa menciptakan batu tersebut? Karena Tuhan Maha Kuasa maka tentu saja bisa. Premis kedua, tapi bila Tuhan menciptakan batu tersebut dan tidak bisa mengangkatnya justru akan menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak bisa dilakukan Tuhan sekaligus mematahkan premis pertama.
Paradoks ini jawabannya tidak akan bisa ditemukan dalam logika kita. Karena Tuhan sendiri ada di luar jangkauan logika manusia.

Dalam kondisi faktual kita menemukan paradoks pada penarikan pajak oleh negara. Sebut saja Paradoks Pajak. Negara secara ideal bertugas untuk kesejahteraan publik. Namun di waktu bersamaan negara menarik pajak dari rakyat. Penarikan pajak itu berakibat kepada menurunnya kesejahteraan. Namun sebaliknya jika negara tidak menarik pajak, maka negara tidak bisa menjalankan fungsinya untuk menyejahterakan rakyat. Sedangkan untuk menjalankan fungsinya menyejahterakan rakyat, negara harus menarik pajak.

Paradoks ini akan terjawab bila tercipta suatu kondisi bahwa pajak yang ditarik dikembalikan ke rakyat dalam bentuk yang lain, sehingga kesejahteraan yang berkurang akibat penarikan pajak segera tergantikan.

Namun apakah kondisinya akan seperti itu, bila kemudian yang dikembalikan kepada rakyat berupa pembangunan fasilitas publik dan pelayanan masyarakat ternyata dibiayai dari pos yang lain seperti utang dan pendapatan non pajak. Sedangkan pajak yang ditarik habis digunakan untuk membiayai dirinya sendiri dengan cara boros, sebagai misal.

Sementara program yang kontradiktif dengan kesejahteraan publik seperti penghapusan subsidi dan intensifikasi-ekstensifikasi pajak makin digencarkan oleh negara ketika ia harus melakukan hal yang sebaliknya.

Dalam kondisi seperti ini, Pinokio tak perlu membuat paradoks apakah hidungnya akan memanjang, jika sekadar memunculkan kegempaan dalam pikiran publik yang kritis.

Mohon dipahami bahwa antara sikap kritis dengan oposisi politik praktis itu beda. Jangan dipetakan secara aneh: jika rakyat kritis selalu dianggap sebagai oposan dari kubu sebelah. Padahal sikap kritis adalah esensi rakyat demokratik. Untuk membedakannya dengan budak Apoloniarakyat akan selalu kritis secara sehat siapapun presidennya.

Sementara oposisi adalah esensi parlemen dan fungsi trias politica, bukan sebaliknya. Seorang anggota parlemen akan disfungsi sepanjang ia bukan oposisi yang tidak membabi buta. Nyaris tidak ada paradoks untuk ini. ~MNT




Comments