Kesombongan Pelayanan Publik

Ilustrasi: https://cdn.shopify.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Kualitas pelayanan publik selalu menjadi isu yang menarik dipersoalkan. Perhatikan saja ibu – ibu yang sempat menggerutu jika berurusan dengan sebuah instansi milik pemerintah, katakanlah kantor lurah. Meski berada di strata paling akhir, pegawai – pegawai kantor lurah hampir selalu menunjukkan keengganan melayani dari hati. Bagaimana pula dengan Puskesmas, kantor – kantor camat, kantor – kantor dinas dan semua yang berbau plat merah.
Raut wajah yang datar, sambutan dingin dan ketus kadang – kadang akan dijumpai jika publik hendak mengurus keperluan yang belakangan digratiskan pemerintah. Lebih dari itu, hampir semua intansi pemerintah belum berorientasi customer need. Melayani masyarakat bagi mereka bukanlah pengabdian, tapi adalah beban yang menyebalkan, jika itu bukan proyek.

Lebih dari itu, belum ada political will dari pemerintah untuk mengubah mitos bahwa pelayanan publik tidak berorientasi untuk menyamankan para pengguna jasa pemerintah. Pamong – pamong yang digaji dengan uang rakyat untuk berada di front office intansi publik hendaknya menyadari posisi mereka, bahwa yang dilayani adalah nasabah dan karena mereka Anda ada.

Coba perhatikan senyuman manis teller di bank – bank swasta atau sapaan akrab customer service di lobi – lobi hotel dan bandingkan tatapan dingin dan suara tinggi ibu – ibu jutek di kantor kelurahan atau kantor camat, hanya untuk menjelaskan bahwa berkas yang dibawa belum lengkap. Bentakan- bentakan kecil juga sering terdengar di kantor imigrasi kepada pengurus pasport yang ikut prosedur (alias bukan lewat calo).

Pelayanan publik yang sejatinya adalah urusan pemerintah sejauh ini tidak mampu menjadi suri tauladan. Barangkali penyebabnya adalah pelayanan publik semata – mata dianggap sebagai rutinitas yang membosankan. Sesuatu yang berhubungan dengan plat merah selalu saja terlihat tidak comfortable seiring begitu manisnya beragam pelayanan yang disajikan sektor swasta untuk merebut hati publik.

Bandingkan (maaf) dulunya pramugari Garuda Indonesia yang dari segi fisik tidak elok dilihat karena rata-rata sudah tua, dengan meskapai –meskapai swasta yang pramugarinya aduhai dan senantiasa mengumbar senyum. Begitu juga terjadi dengan bank – bank pemerintah, perusahaan BUMN/BUMD hingga kepada model penyiar di stasiun TV yang lagi – lagi diasuh oleh negara.

Agaknya, ini soal beda persepsi. Pelayanan publik selalu dianggap menyangkut kepentingan orang banyak, yang meski tidak bermanis-manis pun, masyarakat akan datang karena mereka butuh dan tidak ada alternatif lain. Yang nyata di depan mata adalah proses pengurusan KTP SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan) di Batam. 

Di samping sistem ini bertabrakan dengan nilai-nilai simplikasi dan serba instan yang dianut masyarakat modern dewasa ini, kualitas pelayanan dan cara pandang “mengapa harus dipermudah?”, serta ketusnya cara pelayanan bagi mereka yang enggan membayar “biaya administrasi” selalu tidak bisa dihindari. Harus ada langkah tegas untuk mengubah cara berpikir “kampungan” dari para pamong pelayan masyarakat ini.

Pengambil kebijakan di daerah sebaiknya mulai peka dan berusaha untuk mengubah imej jelek yang selalu muncul akibat ulah para bawahan, dan para kroco yang masih butuh aktualisasi diri dan penghargaan dari publik. Kesombongan dalam pelayanan publik adalah musuh bersama masyarakat. ~MNT

Comments