Legislator dan Sepeda Politik


Oleh Muhammad Narsir Tahar

Ada pemandangan tidak biasa di gedung dewan Engku Puteri. Sejumlah anggota DPRD Batam yang terbiasa dengan mobil mewah, berpendingin udara dan mendengar alunan lembut dari sound system, memilih naik sepeda saat bertugas. Gejala ini cukup membuat kening berkenyit dan mata berkunang-kunang.

Aksi naik sepeda itu adalah bentuk empati para legislator asal Partai Amanat Nasional (PAN) Batam merespon kenaikan BBM. Sesetengah orang mengesankan mereka hanya memanfaatkan situasi untuk mempercantik citra partai, namun keringat yang menetes, debu jalanan dan risiko terserempet mobil saat naik kenderaan roda dua tak bermesin itu, nyatanya perlu mendapat apresiasi publik.

Ini sebuah fenomena yang ganjil, apa sebenarnya yang ingin ditunjukkan dengan berpayah – payah seperti itu? Apakah ini yang dinamakan masa inkubasi politik menjelang klimaks di 2009?

Menurut sang legislator, aksi naik sepeda adalah sebagai bentuk kepedulian menyikapi semakin sulitnya posisi masyarakat akibat kenaikan harga minyak, yang secara beruntun memicu kenaikan harga-harga lainnya. Banyak pula manfaat dengan naik sepeda, seperti kata Yudi Kurnain, legislator eksentris PAN Batam, di antaranya badan sehat wal afiat, mengurangi polusi dan tentunya hemat kantong.

“Silahkan orang menilai lain, tapi kita harus memulai sesuatu secara kongkret, ini adalah bentuk empati dan memberi contoh kepada masyarakat bagaimana menyikapi kenaikan harga BBM ini,” demikian Yudi yang bertekad mengayuh sepeda sampai masa jabatan habis. Sulit dibayangkan seorang Yudi yang biasa naik Toyota Cygnus mewah, Edward Brando dengan Altis atawa Nisan X-Trail, AA Sony dengan Estima elegan atau Setyasih yang masih imut dengan mobil dinasnya yang selalu kinclong, serta Mawardi Harni dan Chabulullah Wibisono yang selalu tampak mapan, akhirnya “tega” mengayuh sepeda hingga belasan kilometer menuju kantor. 

Ternyata juga ada sanksi bagi yang tak suka sepeda. Menurut kesepakatan kader PAN Batam ini, akan ada denda Rp 150.000,- per hari bagi yang masih kedapatan berada di belakang jok mobil. Sikap politik PAN yang terbilang tidak biasa ini adalah salah satu refleksi untuk menunjukkan keberpihakan kepada publik akan dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak. Sanggupkah mereka bertahan meski ada risiko sepeda akan berputar seperti gasing, jika terserempet mobil pemadam kebakaran.

Partai – partai lainnya yang bukan partai pendukung pemerintah sampai hari ini seolah tidak mengamini keputusan SBY - JK untuk menurunkan subsidi, kendati harga minyak dunia kini menembus level rawan. Mereka menuding pemerintah hanya mencari cara termudah untuk menyelesaikan persoalan bangsa dengan “mengorbankan” bangsa.

Pemerintah dinilai tidak cerdas mengkalkulasikan dampak sosial yang timbul akibat kenaikan BBM. Publik pun akan sulit diajak berpikir rasional, katakanlah jika pemerintah terus menerus mengekspos alasan-alasan logis kenapa subsidi dikurangi, itu tidak akan diterima dengan akal sehat, karena beban hidup yang ditanggung saban hari sudah demikian berat.

Pun soal dalih BLT seratus ribu yang digadang-gadang dapat membantu beban hidup kaum papa, bahkan juga dapat mensubsidi mahasiswa miskin senilai total Rp 14 triliun, belakangan lebih mirip aspirin untuk mengurangi rasa sakit. Apalah artinya seratus ribu dengan inflasi 20 persen dan kenaikan harga 20 persen lebih. Sisa sekitar lima puluh ribu untuk sebulan hanya akan bertahan paling lama dua hari.

SBY – JK “dinyatakan” telah gagal memperjuangkan hajat hidup orang banyak. Berikut partai – partai pendukungnya yakni Demokrat dan Golkar. Kenaikan BBM akan menjadi instrumen politik paling penting untuk menggoyang kedua partai ini hingga 2009. Pemerintah yang tak punya pilihan lain telah berhadapan dengan penderitaan rakyat, apa yang harus dilakukan, siapa yang harus bertanggung jawab?

Jika saja kebijakan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi sebelumnya dikelola secara cerdas, diversifikasi energi dimulai sejak jauh – jauh hari, potential lost sektor kehutanan, maritim, pajak, pertambangan, pertanian, teknologi dan perbankan dicegah sejak awal, pencabutan subsidi BBM bahkan tidak pernah diwacanakan. Bangsa kita hampir selalu terlambat dalam segala hal.

Kembali ke soal naik sepeda, yang berarti tidak membeli bensin sama artinya dengan tidak menggunakan uang rakyat Rp 5.000 untuk tiap liter bensin. Sebagai catatan, harga bensin yang sekarang naik menjadi Rp 6.000 sebenarnya masih disubsidi pemerintah sebesar Rp 5.000, karena harga bensin bebas subsidi mencapai Rp 11.000,- per liter. Ayo siapa yang mau ikutan? ~MNT

Comments