Ismeth Versus Huzrin dari Kacamata Kuda


Ilustrasi: http://sabilillah.net


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Agaknya tidak terlalu dini untuk mulai mengkomparasikan figur Ismeth Abdullah dan Huzrin Hood, dua kandidat yang diyakini akan berlaga pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Provinsi Kepri 2010. Pilgub memang masih setahun lagi, namun dua kubu besar ini sudah terpolarisasi sedemikian rupa. Ini yang menggelitik Penulis untuk mengangkat fenomena tersebut ke ruang baca publik. Perspektif yang digunakan adalah kacamata kuda, artinya hal-hal lain serta faktor-faktor yang tidak dipaparkan Penulis diasumsikan secara cateris paribus alias tidak saling mempengaruhi.

Ismeth Abdullah dan Huzrin Hood, adalah dua nama besar yang jika dibicarakan secara bersamaan, seketika itu juga akan tergambar dalam imaji kita tentang dua kutub magnet yang sama. Keduanya berada pada sisi yang berbeda, bertolak belakang dan mungkin saling meniadakan, meski dalam helat-helat resmi, kedua sosok kharismatis ini terlihat seperti dua sepupu jauh yang tengah memendam rindu. 

Rekayasa sesaat sepertinya sudah menjadi gerak refleks para public figure dari masa ke masa untuk membuat suasana menjadi “seolah-olah”. Namun sikap untuk memperlihatkan kepada khalayak bahwa mereka bukanlah seteru politik yang sebenar-benarnya seteru, patut mendapat standing applaus. Bagaimanapun cara-cara berpolitik yang santun dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi akan berpengaruh positif pada stabilitas lokal.

Dibanding Pilgub 2005, agaknya Pilgub 2010 diprediksi akan jauh lebih gempita. Tanpa bermaksud mendistorsi daya tarik lawan tanding Ismeth pada Pilgub 2005, kesediaan Huzrin secara eksplisit untuk maju menjadi calon gubernur Kepri membuat kubu Ismeth harus menstimulasi energi yang lebih besar dari sebelumnya. Sebagai seorang yang piawai dalam strategi, Ismeth tidak akan menutup mata tentang kesejatian seorang Huzrin, meski sebenarnya sebagai incumbent, ia telah mengantongi banyak credit point.

Jauh sebelum Ismeth masuk dalam peta politik Kepri, Huzrin sudah dikenal sebagai local genious karena mampu mematahkan “Pekanbaru” yang coba-coba menghalangi perjuangan pembentukan Provinsi Kepri. Bahkan ketika restu dari Pekanbaru tak kunjung didapat, ia mem-by pass arah perjungannya ke Jakarta dan itu berhasil. 

Di tataran lokal, Huzrin yang kala itu memegang tali teraju perjuangan pembentukan Provinsi Kepri diamini sebagai seorang pejuang, yang hingga hari ini masih berada dalam ingatan kolektif masyarakat Kepri. Orang-orang Kepri merasa berhutang budi kepada Huzrin, terlebih-lebih ketika ia harus membayar mahal dengan hukuman penjara dan ganti rugi dalam miliaran rupiah. Kebesaran Huzrin juga terlihat ketika kandidat yang akan bertarung pada 2005 melawan Ismeth, merasa perlu untuk berkunjung ke dalam Kamar TA 38, Lapas Sukamiskin, Bandung demi meminta restu Huzrin.

Akan halnya Ismeth Abdullahia dikenal sebagai seorang visioner dalam konteks Kepri sebagai kawasan ekonomi khusus Indonesia. Oleh khalayak yang sebagian besar kaum urban, Ismeth dianggap sebagai seorang yang mampu memformulasikan potensi Batam dan beberapa wilayah lainnya di Kepri dan menyulapnya menjadi special economic zone. Keberhasilan Batam yang terus mencatat pertumbuhan ekonomi signifikan juga diklaim sebagai keberhasilan Ismeth semasa menjabat Ketua Otorita. Kebijakan-kebijakan populis selama lima tahun masa jabatannya menjadi Gubernur Kepri juga terpapar secara gamblang.

Tidak cukup dengan itu, Ismeth juga merasa perlu untuk mengambil hati orang Melayu (baca: non urban) dengan berbagai kebijakan pelestarian budaya dan sosial ekonomi masyarakat pulau. Bahkan pada kondisi-kondisi tertentu dalam tutur sapa dan bahasa tubuh, Ismeth tampak sangat Melayu. Saat ini bahkan sulit membedakan lebih Melayu mana, Huzrin atau Ismeth? Membaca komposisi elektabilitas Ismeth dengan kekuatan Batam dan non Batam yang terlihat kasat mata, orang-orang akan menjadi sangat penasaran, dengan cara apa Huzrin akan menyalip lawan tandingnya ini? Belum termasuk jika kekuatan kapital masing-masing dikalkulasikan.

Satu hal yang perlu menjadi catatan adalah bahwa Ismeth tidak memiliki modal sejarah. Romantisme Melayu (meski Huzrin peranakan Jawa) dan rasa bangga putera daerah Kepri hampir mutlak milik Huzrin. Jika emosi-emosi ini kembali dibangkitkan, maka Ismeth harus bisa meyakinkan publik terutama masyarakat lokal bahwa what next itu jauh lebih penting dari semata-mata sebuah kenangan masa lalu. Tapi apakah itu cukup efektif, mengingat Huzrin juga jauh-jauh hari sudah mempelajari titik lemah Ismeth. 

Seperti beberapa kebijakan Ismeth semasa menjabat gubernur menurut Huzrin tampak “bolong-bolong” plus isu ibukota Dompak yang dianggapnya kontradiktif. Huzrin juga sedang merancang Visi Misi paling mutakhir dalam menandingi Ismeth di samping berusaha ekstra keras mengumpulkan ego-ego berserakan yang dulu pernah segaris seperjuangan dengannya. Melihat kompleksitas ini, publik tentunya harus membuka mata lebar-lebar dan menegakkan telinga sebelum menjatuhkan pilihan dari keduanya.

Mendekati Pilgub 2010, dipastikan suhu politik terus memanas. Intrik-intrik di lapangan hingga permainan wacana di headline media massa akan saling bersahut-sahutan. Menyimak karakter keduanya, Ismeth yang seorang pragmatis-paternalistis dan Huzrin seorang idealis-egaliter akan membuat pertandingan semakin menarik. Bukan tidak mungkin kedua karakter ini akan saling dipertukarkan demi mengakomodasi kecenderungan pilihan politik masyarakat.

Melihat prilaku pemilih di negeri ini, karena masih lemahnya kemampuan analitis, preferensi figural cenderung ditentukan oleh ukuran-ukuran pragmatis bahkan artifisial. Bukan rasional tetapi pada psikologis mental. Bukan substansi dan visi tapi pada asrtifisialisasi. Bukan pada rekam jejak, tapi pada performance. Masyarakat terkadang tidak begitu peduli dengan kapabilitas tapi cenderung kepada tampilan luar. Preferensi yang selebretikal seperti ini yang mau tidak mau membuat para kandidat terjebak kepada pemanfaatan situasi untuk lebih mengedepankan sisi entertainment dan jargon.

Sejatinya apa yang diperlukan masyarakat adalah kesejahteraan lahir batin. Namun dalam proses ke arah itu, terutama dikaitkan dengan pemilu sebagai instrumen konsolidasi demokrasi, masyarakat selalu berada pada posisi yang pasif dan lemah. Tugas para intelektul dan cerdik cendikia di ranah inilah yang sejatinya menuntun secara obyektif kemana mereka harus menentukan pilihan. Semoga Pilgub 2010 mampu menghasilkan pemimpin yang benar-benar lahir dari kehendak rakyat dan yang benar-benar memahami dengan baik apa yang paling mereka butuhkan. Amin. ~MNT






Comments