Ilustrasi: www.academicindonesia.com |
Oleh Muhammad Natsir
Tahar
Setelah terjadi proses
telaah yang panjang, akhirnya Batam menemukan hari jadinya yang sah. Tahun ini,
kota yang sempat dianggap sebagai “kota kaget” ini rupanya telah berumur 180
tahun. Sejarah bermula ketika dikeluarkannya surat pengukuhan kepada Raja Isa
ibni Raja Ali sebagai pemegang perintah atas Nongsa dan sekitarnya pada tanggal
22 Jumadil Akhir 1245 Hijrah, bertepatan 18 Desember 1829 Masehi.
Tanggal tersebut oleh
Sejarawan Aswandi Syahri diargumentasikan sebagai fase paling awal adanya
lembaga pemerintahan di Batam. Dengan pengukuhan Raja Isa sebagai pemegang
otoritas atas Batam, maka roda pemerintahan di pulau ini mulai berjalan secara sistemik
yang kemudian mengkatrol pertumbuhan wilayah.
Mengemukanya manuskrip
penobatan Raja Isa tersebut otomatis mementahkan pelbagai hipotesis sebelumnya
yang antara lain mengaitkan hari jadi Batam dengan Sejarah Raja Ali Kelana yang
pernah membangun pabrik batu bata Batam Brick Works pada 26 Juli 1896 dan hikayat
Hang Nadim yang menghadang Portugis di Riau pada 1881.
Bahkan entah merujuk
dari mana, secara absurd sejarah
lahirnya Batam pernah dicantolkan pada Kepres Nomor 65 yang dikeluarkan Oktober
1970, ketika Presiden Soeharto menetapkan Batam sebagai logistic base untuk
eksploitasi dan eksplorasi minyak lepas pantai atau pada PP Nomor 34 Tahun 1983
tentang Pembentukan Kotamadya Administratif Batam.
Penetapan hari jadi
tiap-tiap kota di Indonesia merujuk pada persepsi yang berbeda-beda. Hari jadi
Kota Pekanbaru misalnya dianggap bermula pada penggantian nama Senapelan
menjadi Pekan Baharu pada Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni
1784 M berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku yakni Pesisir, Lima Puluh,
Tanah Datar dan Kampar. Sedangkan hari jadi Tanjungpinang diperhitungkan pada 6
Januari 1784 M saat Raja Haji Fisabilillah menembak kapal komando Belanda
“Malaka’s Wal Faren”.
Momentum ini hampir
mirip dengan hari jadi Kota Jakarta yang bertepatan pada saat pengambilalihan
Pelabuhan Sunda Kelapa oleh Pangeran Fatahillah dari Portugis pada 22 Juni
1527. Kota Pekanbaru dan Tanjungpinang kendati lahir pada tahun yang sama,
latar belakang sejarahnya berlandaskan pada dua momentum yang berbeda. Sama
halnya dengan Jakarta dan Surabaya yang jika dirunut dari sejarah kelahiran,
kedua kota ini sudah muncul pada zaman kerajaan Hindu di abad ke-12, namun
Jakarta memilih titik sejarahnya sendiri.
Lepas dari konteks
sejarah kelahirannya, yang ingin saya sampaikan sebenarnya adalah esensi dari
berdirinya sebuah kota. Keberadaan kota mempunyai sejarah panjang yang tidak
pernah terlepas dari adanya konflik dan kontradiksi. Sejak terbentuknya kota di
muka bumi ini dimulai dengan peradaban sederhana Mesopotomia, kota tertua di
antara Sungai Eufrat dan Tigris yang berkembang pada awal Zaman Neolitik antara
tahun 7000 SM – 5000 SM, atau kota besar Mohenjodaro-Harappa yang dibangun
sekitar 3000 SM di lembah Sungai Indus, konflik antara penguasa dan jelata atau
antara tuan tanah (pengendali modal) dengan pribumi telah menoreh luka-luka
sejarah sepanjang berdirinya kota itu.
Akan halnya Batam,
luka-luka sejarah yang telah tergores di sepanjang perjalanannya patut kembali
direnungkan untuk tidak membuat kita terlalu euforia menerima kenyataan
sekaligus mengumumkan secara sakral dan penuh linangan air mata bahwa Batam
sebenarnya “sudah tua”. Sama seperti sejarah kota-kota lainnya, Batam juga
menyimpan lukanya sendiri bahkan cenderung spesifik. Pertanyaannya adalah kota
ini sebenarnya milik siapa?
Sepanjang usianya yang
mencapai 180 tahun, kenyataannya pertumbuhan Batam berjalan lambat. Wilayah ini
dikagetkan pada 30 tahun terakhir dengan adanya kontraksi pembangunan menyusul
kebijakan pusat yang menetapkan Batam sebagai basis industrialisasi. Dan dalam
masa 30 tahun terakhir itu pulalah, fenomena Batam secara utuh seragam dengan
kota-kota besar lainnya di Indonesia sebagai tempat bercokolnya para kapitalis,
keterdesakan ekonomi akibat tingginya urbanisasi, pertumbuhan kawasan kumuh
(slum) serta kekacauan tata ruang dan ketidaksinambungan ekologi kota.
Globalisasi yang
diterapkan di Batam dalam tiga dasawarsa terakhir menjadi dalih untuk tidak
memberi akses lebih banyak kepada kepentingan publik. Implikasinya terhadap
spasial pembangunan kota adalah tata ruang yang memihak kekuatan dominan dalam
hal ini pemilik modal. Kota Batam hari ini yang demikian gempita menjadi pusat
aglomerasi dan hanya menjadi milik segelintir orang. Sebagai contoh kecil
adalah menjamurnya konsep perumahan regency atau cluster system untuk menghindar
dari jangkauan kaum marjinal bahkan orang tempatan sendiri yang tanah moyangnya
telah tergadai untuk itu.
Ketidakadilan alokasi
sumber daya yang penting bagi rakyat telah menimbulkan kontradiksi di Kota
Batam. Pergeseran makna dari public goods menjadi private
goods yang terjadi sebagai akibat dari keniscayaan laju sejarah neo-liberalisme
menjadi pendorong kontradiksi di tengah masyarakat.
Salah satunya yang
paling kentara adalah penggusuran rumah liar dan kampung-kampung kumuh oleh
lembaga otoritas dengan perangkat aparatus-aparatusnya untuk dipersembahkan
kepada pemilik modal dengan mengatasnamakan pembangunan dan estetika. Sampai di
sini, sebagai rakyat tidakkah kita ingin bertanya apa makna sebuah kota
sejatinya?
Sesungguhnya dalam
cita-cita filosofisnya, kota dibangun untuk menyejahterakan masyarakat seluruh
lapisan serta tempat bernaung dan berhimpun penduduknya secara humanis dalam
prinsip kesetaraan (equal opportunity). Sejak awal seharusnya orang-orang Batam
sebagai penyumbang sejarah perlu wanti-wanti ketika rumus-rumus pembangunan dan
kerumitan grafik ekonometri yang dibanggakan itu ternyata tidak mampu membuka
kebuntuan akses (bahkan menghambat) masyarakat untuk menikmati kotanya sendiri.
Sepanjang usianya,
luka-luka sejarah yang menoreh Batam dalam arti tersumbatnya akses masyarakat
untuk memiliki dan menikmati kotanya sendiri terjadi pada tiga tahap. Pertama,
fase Kesultanan Riau Lingga yang bernafas feodalistik, ditandai dengan besarnya
kewenangan sultan dan kaum bangsawan dalam pemungutan cukai serta kepemilikan
lahan. Kedua, fase kolonialisme yang menghegemoni kepentingan rakyat dengan
menguasai seluruh fasilitas kota dan seluruh sumber daya pribumi untuk
kepentingan kompeni. Ketiga, fase globalisasi di mana sedikit banyaknya,
penguasa meng-copy paste model kebijakan yang diterapkan kompeni dalam tata
kelola pembangunan kota.
Di penghujung tulisan
ini, saya hendak bertanya di mana para zuriat atau anak keturunan Raja Isa Ibni
Raja Ali itu kini berada? Apakah mereka tengah menikmati gemerlap hedonisme
Batam, atau telah terpinggirkan semakin jauh dan kemudian menghilang? Atau
mungkin ikut lari tunggang langgang dan hanya dapat menyelamatkan kain sarung,
ketika Jodoh “kebetulan” terbakar pada awal 80-an?
Penulis secara pribadi
patut berbangga atas dedikasi yang ditunjukkan oleh Kakanda Aswandi Syahri atas
sumbangsih referensinya dalam penentuan kelahiran Kota Batam dan Kakanda Samson
Rambah Pasir atas pencerahan yang dilakukan kepada publik bahwa Batam
sebenarnya memiliki sejarah yang panjang membentang.
Seterusnya kepada Bapak
Nyat Kadir, Bapak Rida K Liamsi dan Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Batam,
Bapak H Imran AZ atas kewenangan intelektual dan pertimbangan-pertimbangan
mereka, tentunya atas perkenan Walikota Batam Bapak Ahmad Dahlan, para unsur
pimpinan dan anggota DPRD Batam serta kepada semua pihak yang terlibat,
sehingga hari jadi Batam ini akhirnya dilegitimasi. ~MNT
Comments