Sumpah Pemuda dan Distorsi Keindonesiaan

Ilustrasi: https://3.bp.blogspot.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Satu momen penting dalam alur sejarah Indonesia Raya adalah peristiwa yang terjadi pada tanggal 28 Oktober, delapan puluh satu tahun yang lalu. Pada masa itu sekelompok pemuda mendeklarasikan apa yang kini disebut sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Dari berbagai penjuru tanah air, para pemuda itu dengan keragaman latar belakang mereka, menyampaikan sebuah ikrar kolektif untuk bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia.

Dapat dikatakan, meski tengah berada dalam satu fase hegemoni kolonial, justru visi para pemuda di masa itu demikian kuat. Mereka adalah para visioner pada zamannya, dan hingga hari ini kita sedang berada dalam dimensi sebagaimana yang mereka ikrarkan, yakni tanah air, bangsa dan bahasa satu, Indonesia.
Dalam konteks kekinian, amat patut kita mempertanyakan dan juga sebagai renungan otokritik, sudah sejauh mana kita mulai mewarisi semangat Sumpah Pemuda itu. Fenomena yang muncul adalah adanya distorsi nilai dan disorientasi dalam keIndonesiaan kita. Bahkan hari-hari ini kita sedang dihadapkan kepada realitas lunturnya semangat nasionalisme yang secara paralel tumbuh bersama semakin mengentalnya ego-ego kedaerahan yang diterjemahkan secara sempit.
Kondisi sosio-politik tanah air yang sempat mengalami turbulensi pasca pergantian kepemimpinan nasional pada awal-awal reformasi, yang menimbulkan konflik SARA dan gerakan sparatisme adalah bukti bahwa konteks Keindonesiaan kita perlu kembali diremajakan. Dengan menyadari kecenderungan itu semua, maka kita perlu mendorong dan mengingatkan kembali kepada seluruh komponen bangsa, khususnya kaum pemuda untuk menyadari perkembangan dan fenomena yang tengah berlangsung ini.
Ada benang kusut yang harus diurai satu persatu yang selama ini menjadi penyebab lunturnya spirit nasionalisme bangsa. Jakarta tidak bisa lagi setengah hati dalam mengentaskan persoalan-persoalan lokal. Pengelolaan aset-aset penting secara sentralistik di daerah yang kerap menjadi pemicu gagasan disorientasi, perlu segera dibenahi. Kearifan lokal dan kearifan nasional diharapkan dapat saling mengisi.
Semua pihak harus mulai menyadari bahwa nation building itu belum selesai. Nasionalisme dan perasaan sebangsa, setanah air dan sebahasa Indonesia adalah sesuatu yang harus dibangun dan diperbarui terus-menerus. Tidak cukup hanya dengan upacara bendera secara rutin di lembaga-lembaga pendidikan atau di kantor-kantor pemerintah, tetapi harus juga dibarengi dengan pembangunan dan penanaman nilai-nilai kebangsaan itu sendiri.
Dalam kaitan ini, kita mendorong kaum muda untuk memulai inisiatif dengan menggalang berbagai dialog kebudayaan, menggali dan menghidupkan berbagai kearifan lokal, menggalang dialog antar-agama, serta membangun dan mengembangkan pola-pola kepemimpinan dengan wawasan kebangsaan. Kalau kaum muda tidak menyadari tugas dan tantangan ini, maka rasa pesimis akan kelanjutan negara dan bangsa Indonesia akan menguat.
Ingat, Sumpah Pemuda diikrarkan oleh para pemuda yang visioner, yang sadar dan paham betul bahwa rasa kebangsaan itu harus terus dibangun dan dipelihara. Nasionalisme tidak jatuh dari langit, tetapi harus dipupuk dan dipelihara terus-menerus. Ikrar para pemuda 80 tahun lalu itu masih tetap relevan kini, besok, dan selanjutnya. ~MNT

Comments