Potret Komunitas Suku Laut di Singkep Barat


Ilustrasi: https://3.bp.blogspot.com


'Anak Kami Akan Sekolah di Surga'


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Mereka tinggal di sudut-sudut tak terdekteksi. Mengail dan memukat seadanya untuk makan dan ditukar berbagai keperluan. Selebihnya adalah hari esok yang tak pasti. Beberapa di antaranya sudah menetap di darat, meninggalkan sampan kajang, tempat mereka beranak pinak. Tapi orang-orang tetap saja menyebut mereka sebagai Suku Laut, sebuah entitas masyarakat asli yang sudah menetap di perairan Kepulauan Riau beribu-ribu tahun silam.

Secara tradisional, masyarakat Suku Laut terbilang primitif. Mereka tak hirau dengan roda zaman, yang kadang menyerempet dan melindas mereka. Orang-orang Suku Laut amat membatasi diri dengan orang luar. Mereka lebih baik meminggir ke pulau-pulau terpencil atau kembali menetap di laut daripada bercampur dengan suku lain.

Pada awal 1980, Departemen Sosial RI telah melakukan pendataan dan pembinaan masyarakat Suku Laut di Kepulauan Riau. Di Singkep Barat, pemukiman warga Suku Laut binaan Depsos ini terdapat di Desa Sungai Buluh.

Kami dari tim media sengaja mengunjungi Desa Sungai Buluh untuk melihat dari dekat potret warga Suku Laut hasil binaan Depsos tersebut. Terdapat sekitar lima puluh rumah di pemukiman tersebut, namun sebagiannya dibiarkan kosong. Ketika memasuki areal kampung melalui jalan paving block, row tiga meter yang bersemak di kiri kanannya, tidak tampak sesuatu yang berbeda. Rumah-rumah panggung berdinding papan berjejeran dan di sekelilingnya ditanami pohon kelapa. Beberapa rumah nampak tertata rapi, dicat bahkan sudah dilengkapi antena parabola.

Hanya satu dua warga yang terlihat duduk di pintu rumah sementara yang lain bermain di halaman depan bersama anak-anak mereka. Praktis, pemukiman warga Suku Laut ini terlihat sunyi dan tenang. Namun keadaan segera berubah, ketika mereka melihat kehadiran kami. Beberapa orang laki-laki dan perempuan berhamburan ke luar rumah dan segera menghampiri kami. Mereka menatap penuh selidik. Ada kilatan di mata mereka tanda tak senang. Mereka betul-betul tak ingin diganggu. Apalagi ketika kami kedapatan sedang memotret.

Namun Radiansyah, pemuda asli keturunan Suku Laut yang bersedia menemani kami segera memberi penjelasan. “Tak, tak ada apa-apa. Orang-orang ni cuma nak foto-foto. Mereka hanya pelancong,” begitu kira-kira yang disampaikan. Dengan Radiansyah mereka terlihat sangat ramah dan bersahabat.

Ridiansyah (28), mengaku sebagai satu-satunya anak keturunan Suku Laut yang dapat mengecap pendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Ia menamatkan pendidikan di Sekolah Pendidikan Kesehatan (SPK) Angkatan Laut (AL) tahun 1999. Sedangkan pendidikan dari SD hingga SMP dibiayai oleh H Daria yang kini menjabat sebagai Bupati Lingga. “Setahu saya, dari masyarakat terasing Suku Laut hanya sayalah yang dapat bersekolah tinggi. Yang lain-lain hanya tamat kelas dua SD dan malah sangat banyak yang tidak sekolah sama sekali,” paparnya.

Menurutnya, kondisi ekonomi adalah satu-satunya penyebab mengapa orang laut tidak bersekolah. Sebagai masyarakat terasing mereka juga kerap luput dari perhatian pemerintah setempat. Keengganan untuk bercampur dan membuka diri dengan masyarakat umum, menjadi penyebab lain, sampai mereka sama sekali tidak mengenal bangku sekolah. Sebagian besar buta huruf seumur hidup.

“Keadaan yang tidak memungkinkan kami untuk sekolah, selain jauh dan terasing, kami juga tidak memiliki waktu yang banyak untuk mendaftar atau melepas anak-anak ke sekolah. Anak-anak Suku Laut terpaksa harus menjadi nelayan sejak kecil,” sebut Radiansyah.

Diakuinya, meski saat ini pemerintah sudah menggratiskan uang sekolah, tidak otomatis membantu mereka. Problemanya sangat komplek, mulai dari aksesibilitas karena keterpencilan, kelemahan ekonomi karena sederhananya alat tangkap nelayan yang mereka miliki, sampai kepada mindset mereka sendiri yang enggan untuk maju dan melihat dunia luar.

“Meski orang kami tidak terlalu suka bergaul dengan orang lain, tapi mereka semuanya penurut dan mau mendengar kata-kata kita,” kata Ridiansyah.

Sementara itu, Taufik, Ketua RT 02, pemukiman Suku Laut yang dijumpai di kediamannya mengatakan, kehidupan warga Suku Laut yang terdiri dari 27 Kepala Keluarga (KK) di Desa Sungai Buluh sejak dari dulu hidup seadanya. Meski ada di antara mereka yang sudah memiliki televisi dan parabola, namun pola pikir mereka belum semaju orang kebanyakan. “Kami selalu memiliki keterbatasan. Mau sekolah jaraknya jauh sekali. Hanya ada beberapa anak saja yang sekolah di sini, itupun harus berjalan kaki sejauh tiga kilo,” sebut Taufik.

Diakui Taufik, warganya memiliki pola pikir yang sederhana, cukup makan pagi dan petang, yah sudahlah. Yang penting eksistensi mereka tidak terganggu. “Saya mengharapkan kalau ada dari pihak pemerintah yang berkunjung dan ingin melihat nasib kami, tolong dibantu, mungkin dibangunkan sekolah khusus dua lokal untuk anak-anak kami,” pintanya.

Lain halnya dengan Siti (47), seorang ibu dengan tujuh anak yang masih kecil-kecil (rata-rata masyarakat Suku Laut beranak banyak). Ia juga mengaku berasal dari Suku Laut. Suaminya bekerja sebagai nelayan dibantu oleh beberapa orang anak laki-laki mereka, yang paling tua berumur 12 tahun. Ditanya apakah anak mereka sudah sekolah? Siti hanya menerawang, melihat ke langit. “Mungkin anak-anak kami hanya akan sekolah di surga,” lirihnya.

Secara turun temurun, masyarakat Suku Laut tergolong primitif, meski sebagian di antara mereka sudah membaur dengan masyarakat luas dan mulai berpikiran majui. Kehidupan sehari-hari berjalan datar dan nyaris tanpa perkembangan. Mereka lebih sibuk memikirkan bagaimana membuat sampan-sampan baru untuk anak lelaki yang mulai memasuki usia pubertas.

Di titik itu, lepas sudah peran orang tua. Remaja tanggung ini harus secepatnya menyunting isteri dan hidup satu sampan berpenutup seperti atap rumah yang disebut Kajang. Begitulah siklus hidup masyarakat Suku Laut. Anak-anak Suku Laut harus mandiri di usia sedini mungkin, sehingga tidak mungkin lagi disekolahkan.

Rumah-rumah warga Suku Laut primitif yang mereka sebut Kajang itu berukuran seluas tiga meter persegi dengan tinggi tidak sampai satu meter. Selain tempat mencari ikan, perahu unik ini sebenarnya adalah tempat tinggal selama hidup. Di “rumah” sempit itulah mereka melakukan aktivitas sehari-hari, mulai bayi sampai menikah dan beranak.

Di atas kajang tersebutlah anak-anak dibesarkan, dalam kondisi bercampur aduk. Baru saja menginjak remaja, mereka segera dikawinkan dan hidup terpisah dari orang tua. Mereka harus mandiri di usia dini bersama pasangan hidup mereka, untuk kemudian tumbuh dewasa. Persis orang tua mereka. Sebuah siklus yang stagnan dari sisi kemajuan. Anak mereka betul-betul akan sekolah di surga. ~MNT










Comments