Nilai Tradisional pada Birokrasi Modern


Ilustrasi: http://jworldtimes.com

Profesionalisasi Administrasi Publik


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Administrasi Publik telah dikenal sejak mulai adanya sistem politik di suatu negara. Fungsinya adalah untuk mencapai tujuan para pembuat kebijaksanaan politik. Studi mengenai aktivitas administrasi publik dimulai melalui pendekatan yang berasal dari satu disiplin ilmu tertentu yang kemudian dikenal dengan nama birokrasi.

Pada abad ke-18 di Eropa Barat sudah dilakukan studi terhadap birokrasi pemerintahan yang ditinjau dari segi hukum dan politik seperti yang dilakukan oleh de Gurnay. Sedangkan pada abad ke-19, mulai dikembangkan pendekatan sosiologis terhadap birokrasi misalnya oleh H Spencer dan Deplay (Albrow, 1970).

Di Amerika Serikat sendiri, studi terhadap administrasi publik dimulai pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Wodrow Wilson dengan tulisan berjudul The Study of Administration. Semenjak itu administrasi publik mulai diakui sebagai spesialisasi baik sebagai subfield daripada Ilmu Politik atau sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Hal ini kemudian disempurnakan oleh Max Weber yang menulis tentang konsep-konsep Birokrasi Patrimonial dengan Birokrasi Modern.

Seperti yang diuraikan oleh Tjahya Supriatna dalam Administrasi, Birokrasi dan Pelayanan Publik, konsep yang dituliskan Max Weber tersebut menjelaskan bahwa Birokrasi Patrimonial berfungsi berdasarkan nilai-nilai tradisional yang tidak memisahkan antara tugas, wewenang dan tanggungjawab resmi kedinasan dengan urusan pribadi pejabat yang mengelola birokrasi. Sementara Birokrasi Modern didefenisikan dengan ciri-ciri tertentu seperti adanya spesialisasi, berdasarkan pola hukum, serta adanya pemisahan yang tegas dengan urusan pribadi pejabat.

Max Weber mengidentifikasikan ciri-ciri birokrasi modern dalam bentuk yang ideal (ideal type) dan menyebut birokrasi tersebut sebagai birokrasi yang rasional dan berdasarkan pada hukum rational legal bureaucracy. Sedangkan studi yang sistematis terhadap administrasi bisnis dimulai pada awal abad ke-20 dengan pendekatan yang dikenal sebagai manajemen ilmiah (scientific management) yang kemudian disusul oleh gerakan human relation, pendekatan kontingensi dan pendekatan prilaku. 

Yang menarik dari batasan tentang birokrasi modern tersebut adalah, bagaimana attitude para penyelenggara birokrasi publik dapat beradaptasi pada model Birokrasi Modern yang sangat menekankan profesionalitas?

Studi kasus tentang model pelayanan publik di tanah air atau lebih diperkecil dengan scope Kepri kemudian Batam belum begitu banyak beranjak dari Birokrasi Patrimonial yang berfungsi berdasarkan nilai-nilai tradisional. Gejala ini dapat dilihat secara kasat mata pada proses penempatan jabatan struktural yang masih berdasarkan rumus like and dislike atau tekanan politik tertentu.

Pelayanan administrasi publik kemudian makin dikacaukan dengan pencampuradukan tanggung jawab resmi dengan kepentingan pribadi pejabat. Ini tentunya sangat berpengaruh pada kualitas pelayanan dan biaya.

Efisiensi waktu dan finansial bagi masyarakat pengguna pelayanan administrasi publik hampir tidak bisa diharapkan. Meski telah dilakukan pengetatan misalnya dengan menaruh Closed Circuit Televison (CCTV) di ruang pelayanan untuk mendeteksi amplop yang wara wiri, para pelayan publik yang memiliki moral hazard akan mengatur pertemuan di alam bebas.

Profesionalisasi administrasi publik antara lain dapat dilakukan dengan membiarkan pelayanan administrasi dikelola melalui manajemen ilmiah sehingga dapat diterapkan prinsip-prinsip efisiensi. Makanya, berpuluh-puluh tahun yang lalu Wilson sudah mengantisipasi adanya dikotomi antara rentetan politik dan administrasi publik. 

Wilson menghendaki agar administrasi publik harus dikelola secara ilmiah. Di Indonesia hal ini menjadi sulit karena dimensi politik sudah mengakar dan bebas nilai. Spirit otonomi daerah juga telah memberi kewenangan kepada legislator di daerah untuk mengatur orang dalam atas nama rakyat, namun kemudian sulit dibedakan mana kepentingan rakyat, mana kepentingan politik komunal.

Perlu komitmen bersama untuk menerapkan pola birokrasi modern yang diinginkan setiap individu. Birokrasi harus dapat dicegah dari prilaku sewenang-wenang. Birokrasi dalam bentuk yang ideal harus diatur dalam prinsip-prinsip hukum dan bersifat rasional (rational legal bureaucracy). Ciri-cirinya adalah pengaturan terhadap tugas-tugas pejabat agar bersifat impersonal, dalam artian memberikan pelayanan yang sama kualitasnya tanpa melihat strata sosial atau sesuatu di balik itu, kemudian adanya kecenderungan untuk menjadikan administrasi publik lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. 

Kemudian secara berkala dilakukan evaluasi program mencakup proses pengumpulan, analisis dan interprestasi informasi tentang kebutuhan terhadap program, serta efisiensi dan efektivitas pencapaian hasil program yang diinginkan. Hal ini sejatinya dapat dipantau secara terang oleh publik. ~MNT



Comments