Menembus Lorong Waktu


Ilustrasi: http://3.bp.blogspot.com

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Film Trilogi Back to The Future tentang Marty Mc Fly seorang remaja enerjik yang dibintangi Michael J Fox bersama professor eksentris penemu mesin waktu yang diperankan Christopher Lloyd rasanya dapat mewakili suasana hati para arkeolog jadi-jadian, yang tergabung dalam Batam Heritage Society. Kelompok yang diinisiasi bung Edi Sutrisno dari Batam Link Publisher dan Muhammad Natsir Tahar dari Focus Publishing Intermedia ini mulai melanglang buana sejak pertengahan 2011 lalu.
Batam Heritage Society (BHS) dengan mindset mesin waktunya seolah ingin mengacak-acak setiap sudut di Batam dan pulau-pulau sekitarnya yang berbau zaman baholak. Di mana terdapat puing bangunan tua, artefak atau pusara, di situ pula tim BHS “memencet tombol mesin waktu” untuk kembali pada zaman ketika benda heritage itu diciptakan.
Makin terang, ketika semakin banyak puing, bangunan tua, warisan kerajaan atau pusara ditemukan, maka lontaran sarkartik yang menuding Batam hanyalah sebagai pulau kosong yang mewariskan monyet-monyet adalah halusinasi. BHS mendokumentasikan pelbagai bangunan tua yang sudah berumur puluhan bahkan ratusan tahun, terdapat pula rumah ibadah, perigi, benda-benda purbakala dan makam raja-raja atau makam orang biasa yang dikeramatkan. Bagian terakhir ini bahkan ada yang sudah berumur 800 tahun.
Tercatat dalam lembar sejarah bahwa Batam pada titik nol kilo jatuh pada 22 Jumadil Akhir 1245 Hijriah, bertepatan 18 Desember 1829 Masehi pada saat Raja Isa (Nong Isa) ibni Raja Ali didaulat sebagai pemegang perintah atas Nongsa dan sekitarnya. Tim BHS pun berniat “menembus lorong waktu” seolah ingin menyaksikan prosesi penabalan Tengku Nong Isa secara langsung.

Di mana 180 tahun kemudian prosesi ini dikenang sebagai Hari Jadi Kota Batam. Namun di tengah perjalanan penuh imaji, mesin waktu yang didesain menyerupai cadillac sporty itu terkena badai elektromagnetik sehingga terseret ke masa 800 tahun yang lalu yakni sekitar tahun 1200 – an, atau 600 tahun meninggalkan titik nol kilo-nya.
Adalah sekumpulan makam purba yang diyakini berumur 800 tahun bernama Makam Bukit Puak. Inilah makam Tengku H Fuang beserta dua permaisurinya yang terletak pada dataran tinggi di Kampung Nongsa Pantai, Kelurahan Sambau, Nongsa. Keberadaan komplek makam berisi 28 kuburan ini menguatkan aksioma bahwa daratan Batam telah dihuni manusia sejak awal abad ke – 13 bahkan ada yang menyebutkan mulai tahun 231 Masehi wilayah ini telah dilintasi oleh Orang Selat- Indo Aryans. Sama tuanya dengan makam Bukit Puak, di Bukit Abdullah, Jodoh juga terdapat sebuah pusara yang pada nisannya tertulis tahun 1201 Masehi.
Dari sisi usia dan misteri yang terkandung di dalamnya, kedua makam ini layak dipandang sebagai heritage yang amat berharga untuk menguak sejarah Batam masa silam. Yang lebih mengagetkan sebenarnya adalah makam sepanjang tiga meter yang berada di Kampung Belian, Batam Center. Nisan pada makam ini memiliki kemiripan dengan struktur makam Sultan Malik as-Shaleh dari Samudra Pasai. 

Juga perlu dicatat adanya sebuah makam di dekat masjid Baitus-Syakur, Jodoh yang diyakini sebagai pusara Laksmana Datuk Hitam, laskar kerajaan Riau Lingga yang mangkat bersama Raji Haji FIsabilillah pada 18 Juni 1784, dalam peperangan melawan Belanda di Teluk Ketapang. Juga terdapat makam Keramat Puding di Pulau Buluh yang diperkirakan sudah ada pada tahun 1880 – an. Makam ini kerap dikunjungi oleh orang Malaysia dan Singapura.

Di Sungai Air Deras dekat perairan Punggur juga terdapat makam orang Tionghoa yang pada nisannya bertuliskan: Bahwa suku yang menempati daerah ini adalah Suku Han, sezaman negeri Cina diperintah oleh Dinasti Manchu (1644 – 1911).
Di antara Puing dan Bangunan Tua
Heritage berupa bangunan-bangunan tua hanya terdeteksi pada masa abad ke – 19 baik yang masih utuh atau berupa puing. Di antaranya adalah Masjid At Taqwa, yang terdapat di Kampong Tua, Nongsa. Dulunya pernah ditemui sebuah rehal Quran bertuliskan tahun 1833. Kemudian pada ubin lantai masjid pada saat dipugar tahun 1983 tertulis tahun 1901.

Sebuah tongkat khatib yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya juga diyakini telah berumur ratusan tahun lamanya. Masih terdapat satu bekas kentongan yang juga sudah sangat tua. Kayu ukir dan profil bangunan yang juga terbuat dari kayu dan telah dimakan rayap dibiarkan menumpuk begitu saja selama bertahun-tahun sebelum lenyap tak berbekas. Sedangkan Masjid Jami’ Nurul Iman yang terdapat di Pulau Buluh diperkirakan berdiri pada tahun 1872.
Konstruksi aslinya sudah tidak kelihatan. Dua buah tiang utama di sisi belakang masjid adalah bagian yang masih tersisa. Bentuk kubahnya meskipun mirip dengan Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat (1832 M), namun bukan merupakan konstruksi aslinya. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa kedua masjid tua ini tidak bernasib sama dengan Masjid Sultan Riau, Pulau Penyengat?
Menembus lorong waktu untuk menemukan benda-benda bersejarah adalah perjalanan yang menakjubkan dan penuh kesima. Namun dalam fase-fase tertentu terdapat kecelakaan sejarah sehingga heritage yang amat berharga itu tidak lestari. Di antaranya yang tak dapat diselamatkan adalah Kantor Distric van Batam dan Sekolah Rakyat (SR) zaman Belanda atau sering disebut Vork School. Kedua situs ini pernah berdiri di Pulau Buluh pada 1880.
Berbeda dengan film Back to The Future, tim BHS tentu saja tidak mampu menembus lorong waktu secara fisik untuk mencegah proses penghancuran atau pelapukan secara alami terhadap bangunan – bangunan penting pada masanya itu. Sebuah produksi pabrik bata ternama di Asia Tenggara yakni Batam Brick Works yang dibangun oleh Raja Ali Kelana pada 26 Juli 1896 di Kawasan Batu Aji hampir tidak dapat dipertahankan bagaimana ujud aslinya. Bahkan dapur arang berjumlah 12 buah yang dibangun para imigran Tionghoa pada 1946 di daerah yang kini disebut Dapur 12 sudah lebur bersama proses industrialisasi.
Batu Bata merk BATAM produk Batam Brick Works sendiri adalah komponen utama dalam membangun kantor Distric van Batam Pulau Buluh, Masjid Sultan Riau Penyengat dan beberapa bangunan megah semasanya, bahkan di Singapura dan Malaysia. Pada sumur tua yang dibuat pada tahun 1911, tak jauh dari Vork School, merk BATAM pada dindingnya masih tercetak jelas.

Mesin waktu ala BHS lebih lama menuntaskan misinya ke tahun 1920 –an sampai tahun 1950 –an di tiga titik yakni Pulau Sambu, Belakang Padang dan Pulau Buluh. Ketiga wilayah ini masih cukup banyak ditemukan bangunan – bangunan tua zaman Belanda. Salah satu sebab karena ketiganya adalah hinterland yang tidak terlalu terimbas paradoks industrialisasi.
Sejak era 1940 – an, Sambu sudah berkembang menjadi bandar yang ramai. Wilayah ini menjadi storage tank oil oleh perusahaan perminyakan Shell sejak tahun 1927 sebelum berganti kepemilikan menjadi Pertamina. Itu sebabnya di sana banyak ditemukan bangunan tua peninggalan sejarah perminyakan tanah air. Sedangkan Belakang Padang adalah ibukota kecamatan sejak Indonesia merdeka.
Di sini terdapat Asrama Border Police yang masih utuh, Gedung Pertemuan Catur Sakti, dapur umum, barak prajurit, empat buah tanki penampungan air dan bekas lapangan tenis. Pada tumpukan genteng bekas pemugaran Kantor Polsek Belakang Padang tercetak merk Guichard Carvin & Co (Marseille Standar France) sebuah perusahaan pembuatan genteng dari Prancis yang telah berdiri sejak tahun 1855.

Selain itu juga terdapat Gedung Pos Angkatan Laut (AL) Pulau Sambu yang diperkirakan sebagai satu-satunya bangunan yang memanjang secara vertikal pada masa kolonial. Pos AL Pulau Sambu, Kantor Imigrasi Kelas II Belakang Padang, bekas Kantor Camat Belakang Padang, Perumahan Bea Cukai, Komplek AL dan (kecuali) Gedung Nasional semuanya terlihat ringkih oleh usia yang sangat tua.
Pulau Buluh sebagai Distric van Batam, setingkat kecamatan pada zaman kolonial yang dipimpin seorang Amir, dulunya adalah bandar yang ramai . Pulau Buluh adalah sebuah tepian strategis tempat lalu lintas kapal dari Singapura dan Johor ke Pulau Bintan. Ia adalah sentra dagang, di mana setiap pekan para penghulu di pulau-pulau sekitar membeli kebutuhan sehari-hari dari wilayah ini.

Toko Bahagia yang masih berdiri utuh diperkirakan telah dibangun pada tahun 1920, merupakan pusat perbelanjaan terbesar pada masa itu. Ruko tua ini adalah milik seorang Tionghoa bernama Tan Yu Tse. Tidak jauh dari Tokoh Bahagia, yang langsung terhubung ke laut, terdapat rumah peribadatan Toa Pekong. Klenteng ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1880-an dan telah dipugar total dengan nama Vihara Samudra Bhakti.
Yang perlu dicatat adalah, BHS tidak berpretensi untuk terlalu mengoreksi kebijakan pembangunan yang sedikit banyaknya telah mengenyampingkan eksistensi situs – situs bernilai sejarah, namun lebih berharap agar sedapat mungkin, proses pelapukan terhadap bangunan yang masih ada dapat dicegah melalui pemugaran, pelestarian serta membangun replika untuk selanjutnya dikemas menjadi objek historical tourism.

Dengan mesin waktunya, BHS yang banyak mendapat apresiasi warga di sekitar situs, terobsesi untuk selalu menembus lorong waktu dan menuju ke momen – momen penting dalam sejarah Batam misalnya tentang muasal penamaan kampong - kampong tua tempat persinggahan para raja, melacak basis pendudukan Belanda dan Jepang, serta kamp logistik pada masa konfrontasi.
BHS nantinya mungkin saja tergelitik untuk melakukan hal – hal yang ekstrem seperti menyaksikan detik – detik eksekusi para bajak laut yang dihukum bunuh oleh sultan di sebuah tempat bernama Sungai Pembunuh. Lokasi ini diperkirakan berada dekat RS Otorita Batam, Sekupang. Barangkali juga akan membuktikan benar tidaknya praktik “genosida” suku pedalaman hutan yang pernah ada di tanah Batam (suku Jakun dan Sakai) oleh pasukan kolonial atau pengusiran Suku Laut (Suku Mantang, Benan dan Pose) oleh para lanun.

Tidak lupa BHS berencana mampir ke tahun 1980-an guna menyelamatkan satu saja bangunan tua paling bersejarah di Jodoh untuk dijadikan museum, sebelum dibumihanguskan oleh “reinkarnasi Kaisar Nero”. ~MNT


Comments