Eksistensi BP Menabrak UU Otda. Sengaja Dibiarkan?


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Sejak 1973 Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam berada di wilayah ini dengan membawa berbagai kepentingan pusat. Artinya sudah hampir 40 tahun pulau Batam menjadi aset pusat dan dikawal secara hirarkis, sementara pemerintah daerah tidak lebih sebagai tukang stempel KTP (soal administrasi dan isu-isu keamanan).

Begitu pula, sudah lebih dari satu dasawarsa Otonomi Daerah (Otda) diimplementasikan, dan selama itu pula Batam dibincangkan secara kontradiktif, yang semestinya kita semua sudah tahu siapa benar, siapa salah. Secara absurd Batam dijadikan pilot project kawasan perdagangan bebas Indonesia dan selama itu pula Otorita Batam (sekarang BP Batam) menabrak UU Otda No. 22/1999, karena ada tangan pusat yang bergerak liar dalam wilayah “kedaulatan lokal”.

Boleh dikatakan, ketika daerah otonom lainnya begitu bebas mengekspresikan dirinya dalam porsi besar yang diatur dalam UU Otda, Batam justru seperti mengemis agar bisa mengurus dirinya sendiri. Berbekal Keputusan Presiden RI No: 41 tahun 1973, Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam sedikitpun tak bergeming, meski secara hirarki perundang-undangan Kepres tersebut otomatis teranulir oleh UU Nomor: 53 tahun 1999 yang mengamanatkan: seharusnya satu-satunya pemegang otonomi di daerah Kota Batam, adalah Pemerintah Kota Batam.

Celakanya, UU 53 sendiri memuat pasal karet (Pasal 21) yang menyebutkan OB boleh diikutsertakan dalam pelaksanaan pembangunan Kota Batam yang kemudian akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). PP siluman itu sendiri sampai sekarang tidak diterbitkan dan ditafsirkan sepihak oleh pemerintah pusat. Saya pribadi tidak wah dengan rencana kucuran dana sebesar Rp 918 Miliar dalam RAPBN 2013, karena melalui kucuran dana tersebutlah pusat semakin mencengkeram Batam dan menarik semua benefit yang semestinya menjadi porsi daerah.

Pusat dan oknum-oknum yang terlibat di dalamnya benar-benar enggan melepas Batam, sehingga membuatnya hiruk pikuk. Padahal jika ingin disederhanakan OB atau BP Batam cukup dijadikan sub ordinasi atau sebuah Badan yang berada di bawah Pemko Batam. Karena tenaga profesional yang sudah berpengalaman berpuluh tahun mengembangkan investasi di Batam mampu menjalankan fungsinya tanpa perlu dipelototi oleh pusat. Patutlah kita bertanya sebenarnya ini ada apa?

Dari analisis Pakar Hukum Ampuan Situmeang, SH, MH disebutkan, semua legalitas yang mengatur eksistensi OB baik Kepres 41/73 maupun Kepmen 43/77 yang memberikan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada OB secara otomatis beralih ke Pemko Batam yang lebih perkasa karena dilindungi UU 53/99. Namun nyatanya OB/BP Batam dibiarkan saja menabrak UU Otda dengan tetap mengurus perizinan yang bukan menjadi haknya. Ini jelas, sebuah bentuk pelanggaran hukum besar-besaran yang berlangsung sistematis.

Kemudian dengan diterbitkannya PP No: 46 tahun 2007 yang menetapkan Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas, dan Pelabuhan Bebas, diatur pula peralihan HPL OB menjadi HPL Badan Pengusahaan Kawasan (BP), karena secara kelembagaan OB juga dengan PP tersebut mengalihkan OB menjadi BP, termasuk HLP Pemko Batam, saat itu juga “beralih” menjadi HPL BP, artinya, saat itu juga diresmikanlah adanya dualisme kewenangan pemeritahan termasuk dalam hal pengalokasian lahan, yang notabene seharusnya menjadi kewenangan wajib dari Pemko Patam.

Padahal UU No: 36 tentang FTZ, yang mengesahkan Perpu No: I tahun 2000, perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, salah satu pertimbangannya pada huruf e, adalah karena tidak sesuai lagi dengan semangat otonomi daerah. Dengan pemikiran ini maka terjadi anomali berpikir tentang Otda oleh pemeritah pusat terhadap eksistensi Otda Pemko Batam dengan mengalihkan kewenangan wajib Pemko kepada BP.

Kemudian, BP itu seharusnya adalah bentukan dari Dewan Kawasan (DK), ironisnya, belum ada mekanisme tersendiri yang diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk membentuk BP kawasan Batam, lebih ironis lagi, diatur bahwa OB beralih menjadi BP, tanpa sedikitpun mengatur hubungan kerja DK dan atau Pemko dengan BP, maka semrautlah kewenangan yang terjadi di Pemko Batam.

Ini semua seperti api dalam sekam, mengandung banyak api di dalam, namun yang muncul ke permukaan baru asap-asap kecilnya saja. Contoh, masalah pengelolaan kewenangan lahan di Rempang dan Galang, selama ini, terjadi ketertutupan informasi kepada masyarakat dan investor mengenai ketidakpastian hukum tentang semua hal yang diuraikan di atas.

Gejala hukum yang sudah muncul ke permukaan, seperti unjuk rasa, dan konflik yang timbul dalam penyelenggaraan kewenangan tidak diakui jujur oleh para pemangku kepentingan, seolah-olah aman terkendali, namun bila akar persoalan kewenangan ini dikupas tuntas, maka akan terungkap, betapa rentannya konflik keagrariaan timbul di berbagai daerah termasuk di Batam.

Selama berdirinya OB yang menjadi motor penggerak pembangunan Batam, maka orang-orang pusat pun berduyun-duyun mengagresi Batam untuk kepentingan masing – masing. Tidak heran jika banyak lahan dan proyek vital di Batam disebut-sebut milik jenderal X, Anggota DPR Y, Ketua Parpol Z termasuk para kerabat Presiden dulu-dulu. Kekacauan dalam pengalokasian lahan pun semakin parah karena oknum OB sendiri bermain dengan merekrut orang luar untuk menjual lahan kepada investor, sembari “memelihara” para spekulan lahan yang melanggar hukum dengan membiarkan lahan tersebut tidur pulas. 

Stigma ini mencoreng muka OB sendiri, di mana seharusnya mereka membuka akses sebesar-besarnya dalam menyediakan lahan investasi, alih – alih menjadi penghambat nomor satu lambannya pembangunan Batam. Maka sudah selayaknya jika Otorita Batam segera dibubarkan. Semua kewenangannya yang kini beralih ke BP dibekukan dan segera dimasukkan ke dalam sub ordinasi Pemko Batam, untuk sama – sama kita tertibkan. ~MNT

Comments