Embrio Kepri Menuju Provinsi

Ilustrasi: erikaliodice.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Huzrin Hood, satu nama yang masih terus terngiang dalam ingatan kolektif masyarakat bumi Kepulauan Riau. Ia yang pernah memekikkan suara untuk menggelorakan semangat warga Kepri dalam membangun rumah tangga sendiri. Rumah tangga bernama Provinsi Kepulauan Riau. Dan letupan-letupan pun terjadi ketika Huzrin tak terbendung. Praktis, untuk penegak “Bendera Provinsi Kepri” dia adalah sentrum.
Debat-debat publik tentang perlu tidaknya membangun provinsi sendiri kala itu bergaung di Pekanbaru. Pekanbaru sebagai basis kontra penolakan wacana pemisahan diri dengan Riau Kepulauan membuat pelbagai argumen untuk mematahkan semangat warga Kepri. Beberapa lontaran yang dikemukakan adalah wacana pembentukan provinsi sendiri bagi warga Kepri berarti membuat jurang pemisah sesama warga Melayu Riau. Hal itu juga dapat melemahkan gelora “Riau Mardeka” dan posisi tawar di pusat.
Ketika itu fase sedang berada di awal-awal reformasi, semua mulut dapat terbuka lebar-lebar. Riau tidak tinggal diam, segala yang dulu menyesakkan dada karena seluruh sumber daya daerah berada dalam hegemoni pusat, dan semua kepentingan daerah dikangkangi, kini saatnya membuat perhitungan.

Digelarlah sebuah perhelatan akbar bernama Kongres Rakyat Riau (KKR) II pada media 2000. Ada tiga opsi yang dibicarakan dalam kongres yakni otonomi luas, membentuk negara liberal dan Riau Mardeka. Akhirnya opsi Riau Mardeka menjadi pilihan terbanyak. Delegasi Kepri yang juga hadir memilih walk out, karena semua hal yang dibicarakan dalam kongres menjadi kontraproduktif dengan keinginan masyarakat Kepri.
Apalagi Kepri telah mengantongi manifesto Deklarasi Rakyat Kepulauan yang substansinya antara lain menolak negara Riau Mardeka dan mendeklarasikan Provinsi Kepulauan Riau. Manifesto ini dihasilkan dalam keputusan Musyawarah Rakyat Kepulauan Riau tanggal 15 Mei 1999, yang belakangan diperingati sebagai Hari Marwah. Momentum tersebut dianggap sebagai titik klimaks perseteruan Kepri dan Pekanbaru yang juga mau tidak mau menjadi perseteruan antara Saleh Djasit dengan Huzrin Hood.

Dua teman lama ini terpaksa membalik punggung karena prinsip masing-masing harus dipertahankan, dan Huzrin tak silau dengan segala bujukan. Sebagai catatan, Huzrin dulunya adalah orang yang sangat dipercaya Saleh Djasit pada masa-masa suksesi Gubernur Riau 1998. Bahkan, Huzrin begitu dipercaya untuk membuka sendiri kunci brankas uang Saleh Djasit dan mengambil berapa saja tumpukan uang yang ia butuhkan tanpa perlu menyebut jumlahnya.
Membentuk provinsi sendiri bagi Huzrin bukanlah mengada-ada, apalagi karena terikut pada euforia tak menentu. Yang ingin diperjuangkan adalah sebuah harapan akan kesejahteraan yang lebih baik, karena selama ini terlalu banyak sumbatan-sumbatan yang mengkerdilkan peran Kepri untuk mengurus sumber daya sendiri yang demikian melimpah.

Secara administratif pula, letak geografis antara Riau Kepulauan dengan Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau memiliki span of control yang sangat tidak efisien. Membentuk provinsi sendiri bagi Huzrin bukan sesuatu yang bergelora dari nafsu para elite lokal, ini murni aspirasi yang sudah tersimpan sekian lama dalam sanubari warga Kepri.
Meski proses perjuangan ini dilebarkan pada banyak hal semisal politisasi pasir laut, mengincar kursi gubernur dan intervensi asing (Singapura dan Malaysia) yang menyorot muka Huzrin, ia tak pernah patah semangat. Isu-isu itupun menguap sendiri karena tak ada bukti valid. Bahkan untuk urusan pasir, dari awal sudah terlihat bahwa Pekanbaru sendiri telah menegosiasikannya dengan pihak Singapura. Itupula yang menjadi salah satu sebab Pekanbaru tak ingin berpisah dengan Kepri.

Sempat juga Kepri ditakut-takuti dengan kehilangan bagi hasil minyak bumi yang berkontribusi cukup besar bagi APBD Kabupaten Kepri, tak juga membuat langkah surut. Isu-isu yang lebih ekstrem juga bermunculan semisal adanya ancaman dari Kepri terhadap anggota DPRD Tingkat I Riau asal Kepri yang tidak sejalan dengan perjuangan. Lagi-lagi tak pernah berhasil membonsaikan semangat Huzrin.
Hingga akhirnya Pusat menyalakan lampu hijau bagi memberi laluan kepada Kepri untuk mengayuh bahtera sendiri berlabel Provinsi Kepri. Sudahkah selesai perjuangan anak watan kelahiran Sungai Ungar, Tanjungbatu ini? Belum. Penat letih, simbah peluh dan berkali-kali mengurut dada karena begitu beratnya perjuangan, justru sedang menuju titik klimaksnya. Ketika Provinsi Kepri benar-benar diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri, ketika itu pula Huzrin haru biru.

Ia memulai hari-harinya di Penjara Sukamiskin. Gelora dan letupan kembang api kegembiraan karena hasrat telah terkabul, hanya terdengar lamat-lamat di telinga Huzrin melalui karibnya yang menjenguk ke dalam kerangkeng bermerk TA-38. Sebuah ironi yang patut dikenang sepanjang masa di relung-relung hati masyarakat Bumi Segantang Lada. Patutkah seorang pejuang dijadikan tumbal?
Bagi Huzrin, politik menunjukkan wujud aslinya seperti srigala yang tak kenal kasihan. Tudingan menggelapkan dana APBD Kepri semasa ia menjabat Bupati Kepri itulah senjata pemungkas yang tidak memberi ruang sedikitpun baginya meloloskan diri. Jika bukan dia seorang Huzrin, maka bolehlah mengira-ngira ia akan luput karena hukum seperti karet. Nyatanya hukum demikian elastis untuk yang lain tapi tidak bagi Huzrin. Seolah ada tangan-tangan tak kentara yang sengaja menyeretnya ke balik jeruji.
Usai menjalani hukuman, Huzrin pulang ke kampung halaman. Kembali menatap langit biru alam bahari yang telah mendekapnya selama berpuluh-puluh tahun. Ia menyaksikan pondasi-pondasi penanda provinsi baru terpancang di mana-mana. Ia mendengar derap langkah dan irama pembangunan yang sumbang, tidak esensial. Dan yang menyedihkan, beberapa orang yang dulu “menghunus pedang” bersamanya kini sudah tinggal di zona nyaman, tak peduli. Marwah Rakyat Kepri yang sama-sama mereka perjuangkan kini diartikan sendiri-sendiri dan biduk tak lagi sehaluan.
Huzrin gelisah. Haruskah ia membiarkan bumi tumpah darahnya menjadi wilayah yang di muka tampak prestisius tapi keropos di dalam? Bagi Huzrin, infrastruktur yang mengkilap dan rencana komplek istana yang wah-wah bukanlah esensi dari pembangunan. Yang perlu dijaga adalah perut rakyat, yang perlu diperjuangkan adalah nafas pendidikan sebagai investasi maha penting bagi kecerdasan masyarakat Kepri di masa mendatang dan yang perlu diancang-ancang adalah skala prioritas. Masih banyak yang melarat, mengapa pula harus memaksakan diri bermegah-megah?
Ia pula tak menutup mata atas pelbagai kemajuan selama provinsi ini berdiri yang tampak kasat mata. Namun meskipun pertumbuhan di mana-mana, tetapi pemerataan tertatih-tatih. Kantong-kantong kemiskinan masih menjamur. Anak-anak pulau tak sekolah meningkat sepanjang tahun dan kesempatan kerja direbut orang luar. Haruskah kondisi ini terus dibiarkan?

Sedangkan Kepri telah memulai gawe menjadi Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia bernama FTZ BBK (Free Trade Zone Batam, Bintan dan Karimun), di mana persaingan semakin sengit. Anak-anak watan yang tak terdidik akan tersingkir dan tergilas mesin pembangunan yang bergerak cepat. Belum lagi persoalan elementer yang sepanjang tahun membelit Tanjungpinang sebagai ibukota provinsi. Krisis air dan listrik di wilayah ini makin menjadi-jadi.
Kegelisahan Huzrin, juga kegelisahan orang-orang yang peduli dengan nasib daerahnya sendiri. Untuk itu sebagai tokoh yang ditinggikan seranting, dimajukan selangkah, Huzrin diminta kembali tampil di muka podium politik. Apa yang sejatinya menjadi kehendak rakyat harus ia perjuangkan. Untuk itu tali teraju harus di tangannya. Jika satu fase menjadi kegagalan sejarah, kini saatnya ia membangun sejarah baru. Karena jika hendak berkaca ke masa lalu, jika hendak menghargai sejarah secara ikhlas, Huzrin pantas memperolehnya.
Huzrin disanjung, Huzrin disanggah. Ia sepertinya harus memulai perjuangan babak baru. Langkah-langkahnya diawasi. Gerak-geriknya selalu dibantah bahkan oleh mantan “orang-orangnya” sendiri. Alih-alih meredakan, ia justru menjadi sumber inspirasi bagi para oportunis untuk mengeruk keuntungan. Ketika Huzrin secara eskplisit mengumumkan kesediaan dirinya menjadi calon Gubernur Kepri, ketika itupula segala daya upaya dikerahkan untuk menghambat langkahnya, jika perlu dengan “menebar paku”.
Bagi orang-orang yang “pro kemapanan”, Huzrin seolah ingin dijadikan seperti lagenda semata. Ia memang digadang-gadang sebagai pejuang, tapi tidak sebagai pemimpin. Itu jelas keliru dan menyesatkan. Bagi Huzrin perjuangan tetaplah perjuangan tanpa harus menanggalkan hak-hak politiknya, tanpa harus mengubah takdirnya.

Menurut Huzrin, di penjara Sukamiskin, tempat Bung Karno juga pernah mendekap, Putera Sang Fajar itu sempat membantah tulisan latin berbunyi: INCIPIT VITA NOVA yang artinya kira-kira: mulai sekarang saya akan mengubah kehidupan saya. Bung Karno berkata dengan tegas: “Seorang pemimpin tidaklah mesti berubah lantaran dihukum. Saya masuk penjara sebagai pemimpin, dan saya akan keluar sebagai pemimpin juga”. ~MNT

Pengantar untuk Buku Bunga Rampai Huzrin Hood - 2009

Comments