Demokrasi Dijadikan Alat Manipulatif


Ilustrasi: startingfinance.files.wordpress.com

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Bahwa demokrasi adalah satu-satunya cara untuk menegakkan kedaulatan di tangan rakyat. Demokrasi adalah instrumen untuk mendesain kesamaan hak dan kewajiban, demokrasi juga ditujukan untuk kepentingan bersama (equal oportunity). Adanya kebebasan berpendapat dan menerima kritik adalah ciri demokrasi yang hakiki.

Demokrasi juga bukanlah kebebasan tanpa batas dan memaksakan kehendak kepada orang lain. Walaupun suatu pendapat dinilai benar-benar absolute, tetap saja pihak yang memahami kebenaran pendapat itu tidak bisa memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Demokrasi mampu memelihara keberagaman pendapat secara arif seperti warna-warni batu hias dalam taman kolam, meski sebenarnya yang terjadi adalah seperti memendam api dalam sekam agar tak berkobar.
Demokrasi juga sejatinya tidak dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan politik dengan cara memobilisasi kekuatan modal yang kemudian disebut sebagai demokrasi transaksional. Proses demokrasi semacam itu akan melahirkan oportunis dan tentu saja pemimpin yang culas. Tujuan-tujuan demokrasi untuk melahirkan pemimpin ideal yang capable, smart dan memiliki kemapaman personal kerap digagalkan oleh model demokrasi transaksional seperti ini.
Di Indonesia yang kemudian diperkecil dalam lingkup Kepulauan Riau, fenomena demokrasi transaksional yang menggunakan pola-pola artifisialisasi (kepura-puraan dalam pencitraan diri) sudah menjadi pemandangan umum. Hal ini makin dikacaukan dengan model kepemimpinan yang paternalistik, nepotisme dan elitis.

Tampuk kekuasaan dalam suatu lembaga baik di pemerintahan, institusi swasta, partai politik dan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya sampai kepada kelompok kecil dalam masyarakat, kerap mengadopsi sistem rekrutmen kedekatan kerabat serta like and dislike.
Indonesia secara ideal formal tetap setia kepada Demokrasi Pancasila yang telah dirumuskan oleh para guru bangsa setelah model demokrasi lainnya seperti Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Parlementer, dan Demokrasi Liberal tidak menemukan padanannya dalam nilai-nilai luhur bangsa. Namun dalam tataran praktis pakem ideal Demokrasi Pancasila hanya terdengar nyaring di ruang-ruang kelas Sekolah Dasar (SD), karena pelaku demokrasi sebenarnya sudah terkontaminasi dengan pragmatisme dan aji mumpung. 

Sejarah demokrasi berasal dari sistem yang berlaku di negara-negara kota (city state) Yunani Kuno pada abad ke 6 sampai dengan ke 3 sebelum masehi. Waktu itu demokrasi yang dilaksanakan adalah demokrasi langsung yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan politik dan dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negaranya yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Hal tersebut dimungkinkan karena negara kota mempunyai wilayah yang relatif sempit dan jumlah penduduk tidak banyak (kurang lebih 300 ribu jiwa).
Demokrasi ketika itu terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis.

Landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan. Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal tersebut.
Tatanan pemerintahan demokrasi yang ideal antara lain adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang, adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum, kebebasan pers, adanya sistem pemungutan suara dalam suksesi kepemimpinan serta adanya pengakuan terhadap perbedaan SARA.
Namun dalam kenyataannya, demokrasi yang bertujuan melahirkan masyarakat sosialis tersebut digempur oleh kekuatan kapitalisme (aliran dana) untuk memuluskan tujuan-tujuan para pemilik modal. Sehingga proses demokrasi dalam apapun bentuknya diarahkan kepada tujuan kekuasan dan pencapaian tertentu yang dikendalikan melalui lobi-lobi uang. Dalam setiap suksesi baik skala kecil maupun besar, fenomena seperti ini telah menguburkan pemimpin yang sebenarnya. Dan yang keluar sebagai pemenang adalah mereka yang mengenggam kekuatan uang. 

Jika dari awal saja sudah culas, maka pemimpin seperti ini sangat susah diharapkan untuk bersikap idealis. Maka patutlah kita banyak menemukan seorang pemimpin yang tak punya hati, tanpa catatan prestasi dan cenderung main aman (safety player). Juga banyak ditemukan pemimpin yang tidak menjalankan fungsinya sebagaimana yang digariskan tokoh leaderhip dunia, John C Maxwell yakni pemimpin yang mampu memberdayakan (empowerment) para bawahan, bahwa sejatinya keberhasilan seorang pemimpin diukur dari keberhasilan orang-orang yang dipimpinnya.
Banyak pemimpin yang menganggap tampuk kepemimpinan adalah suatu batu loncatan untuk mengenggam kekuasaan dan demokrasi dijadikan sebagai alat manipulatif. Jika demikian adanya maka susah diharapkan akan terjadi perubahan besar selama kepemimpinannya. Pemimpin seperti ini tidak tercatat sebagai orang-orang yang memiliki track record yang membanggakan bahkan kerap menimbulkan gesekan akibat mosi tidak percaya.

Masa kepemimpinannya akan dihabiskan untuk melayani keinginan para sponsor atau mencicil hutang politik dan menutup gejolak dengan uang. Karena mereka tidak muncul dari proses demokrasi yang sesungguhnya, maka pemimpin seperti ini bukanlah orang yang cerdas dalam mengelola persoalan bangsa atau organisasi. Yang banyak dilakukan adalah model pencitraan yang dikendalikan oleh opini publik.
Dari pengamatan (dan dipublikasikan sebagai pendapat pribadi dari penulis), khususnya di Batam, secara acak diperoleh berbagai model kepemimpinan mulai dari pemerintah daerah, organisasi partai politik, paguyuban, organisasi profesi dan organisasi sosial kemasyaratan lainnya. Pertama, pemimpin paternalistik, yakni pemimpin yang memposisikan dirinya sebagai Bapak di mana bawahan dan seluruh anggota institusinya adalah anak-anak.

Pemimpin semacam ini cenderung membentuk kultus individu, membangun kharisma, membuat simbol-simbol kekuasaan tunggal dan mengaburkan pendapat umum. Adapula yang menutupi ketidakmampuannya dengan pencitraan diri yang berlebih-lebihan melalui media massa, papan reklame dan seremonial tanpa konteks atau relevansi.
Kedua, Pemimpin Birokratis, yakni pemimpin yang selalu menyerahkan kebijakannya kepada prosedur baku yang bertele-tele untuk menutupi kelemahannya dalam menyelesaikan persoalan atau mengendalikan kendala teknis. Pemimpin semacam ini adalah pemimpin yang kaku dan cenderung kurang cerdas atau mungkin cerdas tapi kurang berani mengambil resiko. Pemimpin semacam ini cenderung menimpakan kesalahan kepada anak buah jika dihadapkan pada pelbagai problema.
Ketiga, Pemimpin Nepotisme, adalah pemimpin yang mengedepankan kedekatan kekerabatan, primordial dan mengutamakan pola perkoncoan. Pemimpin semacam ini menapikan regenerasi dan rekruitmen dari kapasitas individu. Misalnya seorang tokoh sentral di partai politik yang mendudukkan adik, anak, istri, ipar dan menantu sebagai pengurus partai, meski di sekelilingnya banyak tokoh dan talent-talent potensial yang layak menduduki jabatan tersebut.
Keempat, Pemimpin Kapitalis, adalah pemimpin yang bermodal besar atau memiliki kemampuan untuk menggandeng sponsor guna mencapai tujuan-tujuan politiknya. Pemimpin seperti ini akan menggunakan jalan pintas (short cut) mulai dari proses pemilihan maupun pasca pemilihan. Pemimpin Kapitalis adalah orang-orang yang cenderung termakan oleh mitos-mitos liberalisme dan kurang memperhatikan eksistensi ekonomi mikro. 

Mereka merasa bangga jika mampu menggandeng investor masuk tapi hampir tidak pernah mempromosikan pengusaha lokal agar produknya dapat menemukan pasar di luar negeri. Pemimpin semacam ini memiliki kebijakan investasi yang cenderung mudah dilakukan siapa saja, yakni memboyong investor dengan segala kemudahan yang ditawarkan, tapi tidak pernah melakukan hal sebaliknya yakni menjual potensi produk lokal agar bisa bersaing di pasar global.
Pemimpin kapitalis bahkan cenderung lebih permisif terhadap korupsi misalnya menyediakan selusin pengacara untuk membela bawahannya yang terdakwa kasus korupsi. Pemimpin kapitalis adalah jenis pemimpin yang paling berbahaya dari pola kepempinan yang ada. Dampak dari model kepemimpinan semacam ini berskala besar dan masif sehingga kita harus memikirkan cara-cara agar pemimpin kapitalis segera dihentikan.
Pemimpin Religius. Ini adalah model kepemimpinan paling ideal sekaligus solusi untuk mengakhiri kegagalan pola kepemimpinan yang lain untuk memenuhi aspirasi publik, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh intelektual Muslim yakni Amien Rais dan Nurcholis Madjid.

Mereka adalah dua tokoh sentral yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan pemikiran bagi terciptanya demokrasi religius. Yakni demokrasi yang dijalankan melalui pendekatan agama yang bebas dari kecacatan moral sehingga melahirkan pemimpin religius yang benar-benar layak dan terhindar dari kontaminasi yang telah merusak azas demokrasi dan moral pemimpin itu sendiri.
Terakhir, Pemimpin Egaliter. Pemimpin egaliter adalah pemimpin berwajah rakyat. Pemimpin egaliter adalah pemimpin yang tidak membuat jarak dengan jelata. Ia adalah kontra dari model kepemimpinan gaya feodal atau priyayi yang bernafsu untuk berkuasa dan minta dilayani. Pemimpin egaliter diyakini mampu menerjemahkan kehendak-kehendak rakyat di tingkat akar rumput. ~MNT

Comments