Batam Bonded Warehouse Era 70-an

Ilsutrasi: res.cloudinary.com

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Rumah panggung yang berderet-deret di tepi pesisir utara Pulau Batam tertunduk lesu. Di depannya terhampar sebuah gemerlap metropolis, berkerlip-kerlip seolah mengejek bila senja mulai menyibak. Rumah-rumah panggung lusuh, beratap rumbia dan berdinding papan itu tak kuasa mendongakkan kepala, untuk menatap bentangan real estate yang mulai mencakar-cakar langit, nun di seberang sana.
Singapura. Sebuah megapolitan bentukan kompeni Inggris di bawah Thomas Stamford Raffles, posisinya tepat berada di depan hidung pulau Batam. Ia berkacak pinggang, memelototi Batam yang kuyu dan kampungan. Batam dan Singapura di era 1970-an tampak seperti dua saudara kembar yang kontras. Yang satu amat gagah perkasa, yang satu lagi seperti kena cacat bawaan. Batam nyaris belum terjamah mesin-mesin kapitalis, sementara Singapura telah menggeliat menjadi salah satu sentra bisnis tersibuk di Asia.
Seribu tahun yang lalu keduanya tak lebih dari pulau-pulau berstatus noname, nyaris tak berpenghuni dan hanya menjadi tempat singgah bangsa Mongolia dan Indo-Aryans yang hilir mudik di perairan Nusantara.
Bahkan sebelum Traktat London 1824, yang mengoyak kedaulatan Kesultanan Johor-Riau-Lingga oleh Belanda dan Inggris, Singapura tak tampak menonjol yang bernama asli Tumasek. Bahkan di masa itu Bintan dan Lingga sudah dikenal sebagai bandar dagang dan pusat pemerintahan imperium Johor-Riau-Lingga dan Pahang. Sejarah memang tak seperti garis linier, semua bisa berbalik dan terbalik.
Batam 1974, tepatnya di pesisir Sungai Jodoh masih mengambarkan lanskap kampung pesisir Melayu yang asri. Nyiur-nyiur melambai dan hutan mangrove yang akarnya membelit-belit mengelilingi bibir pantai. Hanya jalan setapak dan sampan-sampan kayu sebagai penghubung antar kampung.

Jalan-jalan setapak yang menuju pedalaman bahkan tidak bisa ditempuh dengan sepeda, sebagai alat transportasi darat yang paling banyak digunakan pada masa itu. Sepeda motor dan kenderaan roda empat bisa dihitung dengan jari. Kenderaan roda empat sebagian malah berupa truk pengangkut tanah dan alat berat, penanda babat alas hutan Batam baru dimulai.
Menuju ke pedalaman, relief muka bumi sebagian besar bergelombang, berbukit dan berjurang terjal. Hutan-hutan tropis itu sebagian telah dibuka oleh orang-orang Tionghoa hampir seabad sebelumnya sebagai perkebunan karet dan gambir. Penduduk Batam umumnya adalah kumpulan nelayan, pedagang tradisional, pegawai kecil dan kuli-kuli proyek.

Di pasar yang terletak di pinggir pelantar, mereka membaur bersama petani karet suku Tionghoa dan petani sayur asal Pulau Jawa yang tinggal agak ke pedalaman. Sekitar Kampung Jodoh terdapat beberapa anak sungai yang langsung terhubung ke laut di antaranya Sungai Jodoh, Sungai Lubuk Tepi, Sungai Lubuk Tengah dan Sungai Lubuk Baja.
Penduduk hidup rukun tanpa sekat. Keramah-tamahan mereka tidak dibuat-buat. Tidak ada pencuri masuk kampung, jadi sepeda ontel dibiarkan begitu saja di luar tanpa dirantai pada malam hari. Sayangnya, bertahun-tahun kemudian, ketika mesin pembangunan menderu, ketika pulau Batam menyedot ribuan pendatang, wajah-wajah kriminal mulai hilir mudik. Jangankan sepeda, kalau tidak hati-hati pot bunga pun bisa lesap tak berbekas. Denyut pembangunan kemudian membawa ekses sosial yang tak terelakkan.
Tahun 1974 juga merupakan tahun penting, karena saat itu Pusat menetapkan pulau ini sebagai Bonded Warehouse setelah setahun sebelumnya dibentuk sebuah Badan Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Bonded Warehouse atau Bonded Zone adalah sebutan yang sangat asing di telinga orang Batam. Padahal itu adalah sebuah momentum besar di mana Batam pada tahun-tahun selanjutnya berubah menjadi destinasi utama para pencari kerja di seluruh tanah air.

Tidak siap bersaing berarti menjadi nelayan seumur hidup. Tidak akan ada jaminan sosial bagi yang kalah dalam kompetisi ini, mereka akan kering dan meranggas. Hidup harus diperjuangkan sendiri dengan peluh dan air mata, bahkan darah.
Lagipula kita tidak sedang tinggal di negeri yang menganut paham welfare state, di mana negara akan menjamin kebutuhan dasar seluruh rakyatnya sebagaimana dianut bangsa Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Penguasa dan politisi negeri ini menganggap paham itu sebagai utopis atau angan-angan kosong, padahal bumi pertiwi memiliki sumber daya dan kekayaan alam yang melimpah, bahkan cukup untuk makan gratis seluruh rakyatnya sampai sembilan keturunan.
Selama negeri ini dicekoki agen-agen Neolib dan para Mafia Barkeley yang tunduk pada pasar bebas dan kapitalisme, selama itu pula rakyat akan menggigit jarinya sendiri ketika kekayaan negerinya ditukar dengan utang dan rintihan rakyat dianggap musik pengiring santap siang mereka. ~MNT

Comments