Batam Medio 80-an, Menjauh atau Mati

Ilustrasi: http://sasanpix.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Pada medio 80-an, denyut pembangunan Pulau Batam makin terasa. Kawasan Jodoh dan Nagoya mulai ditumbuhi berbagai fasilitas dan penanda kota. Jalan-jalan protokol dibangun untuk membuka isolasi antarpelabuhan dan sarana vital lainnya. Pemukiman penduduk bertambah, dan pulau ini semakin ramai dikunjungi para pengadu nasib.
Beberapa titik strategis berubah menjadi sentra urban yang paradoks. Batam secara mengejutkan menjadi satu-satunya kota baru di Indonesia yang tumbuh dengan akselerasi tinggi. Selain sentra industri, pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan terlihat seperti jamur tersiram hujan. Pertumbuhan penduduk meningkat tajam, ada yang datang dengan skill memadai, namun tidak sedikit hanya bermodal tiket sekali jalan.
Di masa orde baru, Batam yang secara de facto mulai menerapkan pola-pola free trade zone (TTZ) demikian terjaga dari kekacauan sosial seperti menjamurnya rumah-rumah liar dan orang-orang tidak terampil. Setiap jengkal tanah di bumi Melayu ini, otomatis menjadi milik penguasa untuk dipersembahkan kepada investor. Siapapun tidak dibenarkan menggarap lahan tanpa izin atau berhadapan dengan Direktorat Pengamanan yang mirip tentara.
Orang-orang tempatan yang masih bercokol di lahan-lahan strategis kemudian dibersihkan seperti membersihkan bibir pantai dari hutan mangrove, sebelum direklamasi. Ganti rugi atas lahan dan kebun-kebun warisan mereka hanya dibayar beberapa perak, supaya tidak kelihatan seperti merampas.
Para penguasa mengimpor tenaga-tenaga terdidik dari dalam dan luar negeri, sembari memicingkan mata terhadap eksistensi warga tempatan yang dianggap tidak memenuhi persyaratan apapun untuk masuk dalam gelanggang pekerjaan berteknologi tinggi. Orang tempatan akan menjadi nelayan seumur hidup yang menjauh atau mati, kecuali bersedia masuk ke gelanggang menjadi kuli kasar. ~MNT

Comments