Masih tentang Jodoh Tempo Doeloe






Oleh Muhammad Natsir Tahar

Ancang-ancang pemerintah pusat untuk menyulap Batam menjadi salah satu etalase investasi nasional, mulanya belum terasa benar bagi masyarakat tradisional Batam di awal era 1970-an. Sarana-sarana vital yang dibangun untuk persiapan menjemput minat investasi asing baru pada tahap babat alas. Insinyur-insinyur yang dikirim dari Jakarta saja masih enggan tinggal di sini.

Mereka – para insinyur itu umumnya adalah orang-orang BPPT (Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi) – ada yang menganggap Batam sebagai pulau tempat orang-orang buangan. Mereka merasa alergi karena di Batam masih banyak nyamuk, dikelilingi hutan rimba dan penuh satwa liar yang tak ramah. Pejabat-pejabat yang berkunjung ke Batam, umumnya memilih bermalam di Singapura. Beberapa insinyur juga long stay di Singapura dan pada siang harinya menyeberang dengan ferry untuk melaksanakan tugas rutinnya di Batam.
Jodoh pun masih seperti kampung nelayan tradisional, belum menjadi sentra urban dengan pergeseran peradaban yang signifikan. Kondisi ini hanya dapat bertahan sebelum terjadi peristiwa naas yang membungihanguskan Jodoh. Pembangunan yang dipercepat menyisakan luka sejarah bagi masyarakat tempatan.

Sebuah siasat tengah direncanakan untuk meminggirkan mereka. Roda pembangunan yang bergerak cepat sedang berhadap-hadapan dengan mereka pada arah jam 12. Meski klakson-klakson telah dibunyikan, namun tak secepat itu orang-orang tempatan akan beranjak. Roda itupun menggilas mereka tanpa ampun.
Lanskap Jodoh sebagai pusat keramaian, sentra dagang tradisional Batam tetap bertahan pada wujud semula jadi. Kampung Jodoh sebagian besar adalah kumpulan seribuan rumah panggung berdinding papan dan beratap rumbia itu, tak hirau sedikitpun, meski di sekelilingnya angin pembangunan bertiup kencang, memanggil orang-orang untuk bertandang.
Komunitas yang tampak lebih berkelas adalah komplek rumah Dinas Pegawai Pertamina, berlokasi agak ke selatan dari Jodoh. Rumah-rumah kontemporer yang lengkap dengan fasilitas AC, sofa dan televisi itu dibangun pada tahun 1978. Ia terletak di dataran tinggi, sinkron dengan peradaban penghuninya yang setingkat lebih tinggi dari orang Jodoh.
Di komplek itu berdiri sebuah masjid milik Pertamina. Konon isunya biaya pembuatan rumah ibadah ini didompleng oleh persekongkolan dengan kontraktor yang kini masih menjadi orang penting di Jakarta.~MNT

Comments