Kaisar Nero van Batam



Ilustrasi: http://4.bp.blogspot.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Pada tahun 46 Masehi api membakar kota Roma menjadi puing-puing. Meskipun Nero sendiri sebagai Kaisar Roma memerintahkan api dipadamkan, tapi kecenderungan artistiknya segera ketahuan lalu konon ia bernyanyi dan menari saat menyaksikan Roma dilalap api. Rumor berkembang kalau api itu sebenarnya ia yang menyalakan untuk membuat jalan bagi istana mewah yang disebut Gedung Emas, yang dibangun saat seharusnya kepentingan pemukiman publik lebih diutamakan. Api itu juga dijadikan alasan pembantaian pertama terhadap sebuah komunitas agama yang tidak ia senangi.

Selain Caligula, Nero adalah kaisar paling buruk yang pernah ada dalam kekaisaran Romawi dahulu kala. Terlahir sebagai Lucius Domitius Ahenobarbus, ibunya, Agripina muda mengubah namanya menjadi Nero Claudius Caesar saat ia menikahi pamannya, Kaisar Roma Claudius. Saat Claudius mati pada 54 Masehi – mungkin karena diracun Agripina – Nero yang baru berusia 17 tahun diangkat sebagai kaisar oleh senat dan pegawai Praetorian. Tetapi Agripina tetap memegang kendali sebagai wali. Pada 59 Masehi, Agripina pula harus mati di tangan Nero, setelah beberapa kali gagal dibunuh.
****

Hingga akhir awal tahun 1980, geliat pembangunan pulau Batam semakin pesat. Grand design tata kota sangat mengacu kepada masterplan Batam sebagai Bonded Island namun seperti menapikan dimensi sosio-kultural yang ada. Pihak berkuasa ingin melakukan perombakan terhadap titik-titik strategis seperti Jodoh serta memoles Nagoya untuk dijadikan sentra urban dan window shopping. Ruang-ruang kumuh segera dimodernisasi namun usaha ini harus berhadap-hadapan dengan resistensi masyarakat tempatan yang tak mau diusik.
Ada solusi untuk memindahkan orang-orang Jodoh ke suatu kawasan pemukiman, namun upaya ini tidak mulus karena alasan aksesibilitas dan daya beli. Hal ini memicu ketegangan demi ketegangan, terutama ketika pedagang pasar Jodoh menolak dipindahkan ke Sentra Bisnis Nagoya yang baru saja dibangun karena jelas tidak gratis dan mahal pula.
Apalagi menurut kalangan pedagang, Nagoya tidak seramai Jodoh sehingga diyakini tidak banyak orang yang akan berbelanja ke sana. Akan halnya para nelayan tradisional yang telah turun temurun mengais rezeki di perairan Jodoh meminggirkan diri ke pulau-pulau berhampiran, demi meneruskan lelakon sebagai seorang nelayan, yang telah diwarisi nenek moyang mereka berabad-abad lamanya.
Ada jeritan pilu di dada para pencari udang dan ikan secukup makan itu, mereka menahan luka yang dalam sekali. Tanah waris Jodoh yang menyimpan sejarah dan romantisme masa silam itu, akan mereka persembahkan demi sebuah pesta berjudul pembangunan, yang entah untuk siapa.
Prosesnya entah disengaja atau tidak, Pasar Jodoh akhirnya terbakar. Peristiwa ini disebut “Kebakaran Jodoh Pertama”. Di masa Orde Baru sangat sedikit orang berani bicara vokal untuk mengkritik kebijakan pemerintah. Kalau banyak cakap, apalagi melakukan unjuk rasa bisa-bisa terkena tudingan makar dan dijerat dengan Undang-undang Anti Subversif. Semua harus nurut, karena kalau membantah berarti dianggap tidak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak pancasilais dan menganggu stabilitas nasional. Terminologi-terminologi itu bagi yang tidak tahu akan ditelan mentah-mentah, namun bagi yang kritis dan berwawasan mereka hanya bisa menyentil dengan gaya bahasa eufemisme sambil mengurut dada.
Untuk kasus Jodoh, jika ada yang menarik benang merah seolah-olah ada yang sengaja menyulut api karena penduduknya enggan dipindahkan, sebaiknya diam saja jika tidak ingin urusan jadi panjang. Perkara Jodoh sengaja dibakar atau tidak hanya menjadi bisik-bisik berantai dan pelan-pelan lenyap bersama waktu.
****

Hanya beberapa jam Kampung Jodoh sudah menjadi lautan api. Ribuan rumah menjadi arang dan menyisakan asap-asap kecil. Kobaran api yang begitu ganas itu memberangus semua yang ada. Apalagi tiupan angin laut yang kencang ditambah kondisi rumah yang sebagian besar berdinding papan dan beratap rumbia, menjadi makanan lahap bagi api, seperti melahap daun kering.
Warga kampung berlarian ke sana kemari, mencari sanak saudara masing-masing. Tidak sedikit yang hanya dapat menyelamatkan kain sarung, bertelanjang dada, atau hanya menggunakan sempak. Keadaan benar-benar sulit dikuasai, serba hiruk pikuk. Beberapa warga yang berumah di pinggir pelantar, spontan melompat ke laut kemudian berenang menjauh dari kobaran api. Beberapa nyawa yang tidak bisa diselamatkan, mereka terjebak dalam amukan si jago merah di saat sedang tertidur pulas. Sebagian lagi digotong karena menderita luka bakar sangat serius dan akan menjadi cacat seumur hidup.
Tidak ada yang tahu dari mana sumber api itu. Katanya berasal dari arus pendek di rumah genset yang berhampiran dengan rumah penduduk. Tapi banyak yang mengaku mencium bau bensin pada sumber api. Tidak ada yang berani buka mulut, tidak ada saksi mata. Ini zaman orde baru, zaman di mana mulut-mulut harus dikancing rapat-rapat. Memprotes berarti makar dan melawan kebijakan pemerintah. Tidak ada saksi yang mengatakan apakah Jodoh sengaja dibakar atau tidak. Tapi menjadi sangat kebetulan, ketika di atas puing-puing Jodoh dibangun sentra bisnis yang ternyata telah direncanakan jauh-jauh hari.
Teori tata kota yang dipraktikkan para rezim selalu berujung kepada pemaksaan kehendak, ketika rakyat dianggap enggan bekerjasama. Sebagaimana sistem kolonial, orde baru secara umum mengambil politik represif dan meneruskan sistem kapitalisme yang dikembangkan Belanda. Atas nama kepentingan negara mereka menghegemoni masyarakat dengan cara-cara terselubung.
Pendekatan militeristik adalah sebuah copy paste dari cara-cara kolonial dalam membidani kota. Karena belum ada acuan yang lebih humanis, sehingga upaya-upaya yang dinilai menghambat kebijakan rezim akan diselesaikan dengan tangan besi. ~MNT

Comments