Caleg Sejati dan Mitologi Yunani



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Dalam logika demokrasi kolosal, lembaga perwakilan parlemen dibuat dengan terpaksa akibat ledakan individu yang ikut mengatur roda pemerintahan. Jika rakyat dibiarkan langsung berteriak mengoreksi tiran, maka akan terjadi chaos atau kekacauan sosial di mana-mana.

Lalu muncul pemikiran untuk membentuk Demokrasi Perwakilan sebagai kanal penyalur aspirasi publik, dengan catatan figur yang berhak menjadi wakil adalah mereka yang mampu mengemban mandat rakyat dengan kualitas berada di atas batasan rata-rata.
Lalu kemudian menjadi absurd ketika masih terjadi sumbatan-sumbatan aspirasi sehingga rakyat mengambil jalan pintas untuk turun ke jalan. Demonstrasi adalah bentuk kegagalan dan disfungsi anggota parlemen setelah beribu tahun dipraktikkan. Lucunya di tanah air, beberapa anggota dewan malah ikut bergabung dalam gelombang demo, untuk mendapatkan credit point dari kalangan masyarakat yang pola pikirnya tidak kalah lucu.
Demokrasi Athena diaplikasikan secara sangat langsung dalam artian rakyat, melalui majelis, boule, dan pengadilan mengendalikan seluruh proses politik dan sebagian besar warga negara terus terlibat dalam urusan publik. Sistem ini tidak bertahan lama karena desakan partisipasi publik semakin masif, sampai pemilihan umum pertama sekali digelar.
Dalam Terrence A. Boring, Literacy in Ancient Sparta, Leiden Netherlands (1979) dikisahkan, pemungutan suara pertama dilakukan di Sparta pada 700 SM. Apella merupakan majelis rakyat yang diadakan sekali sebulan. Di Apella, penduduk Sparta memilih pemimpin dan melakukan pemungutan suara dengan cara pemungutan suara kisaran dan berteriak.

Setiap warga negara pria berusia 30 tahun boleh ikut serta. Namun Aristoteles menyebut hal ini kekanak-kanakan, berbeda dengan pemakaian kotak suara batu layaknya warga Athena. Tetapi Sparta memakai cara ini karena lebih simple dan demi mencegah pemungutan bias, pembelian suara, atau kecurangan yang mendominasi pemilihan-pemilihan demokratis pertama.

Artinya hampir tiga ribu tahun yang lalu orang Sparta sudah mencium adanya politik dagang sapi, meski hal ini tidak juga dapat dicegah dalam sistem pemungutan suara paling modern sekalipun.
Menjelang 9 April 2014 mendatang, seluruh elemen bangsa telah terlibat serius untuk menyambut pemilu yang kesekian kalinya. Dan dalam tatanan utopis, sejatinya para calon anggota legislatif (caleg) yang dipersiapkan adalah benar-benar sosok pilih tanding. Bukan sembarang orang yang entah kenapa merasa pantas untuk mewakili rakyat.
Dalam gagasan dasar, menjadi legislator dalam kultur yang ada sekarang berarti harus berani melawan mainstream. Berhadapan dengan tabiat kolektif oknum anggota dewan yang jarang mengisi absen, suka main proyek, bermewah-mewah dengan duit rakyat serta wara wiri ke luar kota.

Anggota dewan “yang terhormat” harus punya wawasan kebangsaan yang mapan, cerdas, generalis, visioner dan tahan uji. Tidak mengamini dan menikmati begitu saja usulan anggaran daerah yang gemuk di pos belanja rutin namun menekan sebisa-bisanya belanja publik, sampai rakyat kurus kering.
Kandidat dewan yang sejati harus mulai banyak membaca buku-buku terbaik di tengah calon lainnya yang jauh dari aktivitas literasi, bahkan ada yang membaca koran sekadar melihat-lihat judul dan foto. Caleg harus sudah mampu memetakan setiap persoalan publik di daerah yang bakal diwakilinya mulai dari yang paling krusial dan elementer berikut solusinya item per item, bukan hanya tahu sepenggal hapalan.

Anggota dewan adalah orang-orang pilihan yang jangkauan intetektualitasnya sampai kepada perihal substansial. Mesti bermain di tataran substantif bukan malah genit dengan artifisialisasi dan terlibat sekali-kali ke dalam wilayah debat publik yang kurang bermutu agar terlihat pintar.
Esensi anggota dewan itu adalah integritas moral dan menjunjung dogma demi kebaikan publik, bukan selebritas artifisial yang menggadang-gadangkan popularitas. Caleg sejati harus berani memilih jalan sunyi aktualisasi diri, berbaik-baik dengan Tuhan serta menyapa konstituen dengan hati. Bukan terjerembab dalam fenomena budaya pop yang ingin serba instan, memanfaatkan hedonisme publik dengan nominal tertentu untuk ditukar hak suara.
Calon anggota dewan sejati telah benar-benar memperhitungkan kepantasannya bukan seperti seseorang yang tak pandai berenang tapi nekad menceburkan diri ke kolam pesta demokrasi pemilu legislatif yang penuh sorak sorai. Mereka tidak akan saling bertanya pantas atau tidak pantas, tapi siapa yang mendahului siapa.
Sebagai penyambung lidah rakyat yang secara utopis akan sulit dicari sandingannya, caleg sejati meski tangguh melewati jalan terjal berliku yang sudah menghadang. Mengingat tahapan seleksi demikian rumitnya, apalagi ketika kursi anggota dewan sudah diraih.

Biar kultur politik masyarakat sudah sangat pragmatis dan lihai memainkan proposal tukar menukar dukungan, ia tidak berharap ini akan sesulit meloloskan onta dari lubang jarum. Masih banyak konstituen yang bersih dan memandangnya dengan kacamata idealis.
Begitu lolos sebagai legislator ia langsung mengukuhkan dirinya sebagai “Sang Revolusioner”. Singgasana emas penuh harum bunga penghormatan dan altar suci pengabdian yang ia gambarkan secara hiperbolik itu, diubahnya jadi medan peperangan.

Revolusi dalam tekadnya harus dikibarkan. Revolusi berpikir, revolusi bertindak dan revolusi cara pandang. Gedung dewan ketika ia terpilih nanti mungkin akan menjadi habitat orang-orang yang akan membalas dendam akibat habis-habisan dikerjain konstituen setelah penat berpura-pura sebagai filantrofis. 

Mungkin akan menjadi tempat hilir mudiknya orang-orang yang baru saja berdasi lalu kebelet pingin rumah dan mobil mengkilap. Mungkin tempat mangkal petualang-petualang politik yang dibiayai cukong untuk mem-back up bisnis mereka.

Atau mungkin tempat berkantornya para bejo yang menganut ilmu aji mumpung dan ikut kemana saja angin berhembus. Sepertinya juga akan ditemukan muka - muka lagendaris, yang seluruh sisa hidupnya kalau diizinkan akan dihabiskan di sana, biarpun eksistensinya antara ada dan tiada.
Maka ia pun berdiri gagah perkasa. Dengan patriotisme tingkat Hercules, ia menjebol semua kebuntuan sistem, mematahkan kemalasan berpikir dan bertindak lalu memecut kinerja anggota dewan baik sebagai fungsi pembuat regulasi (legislation), penyusunan anggaran (budgeting) dan fungsi pengawasan (controlling).

Ia tidak akan segan menarik tinggi-tinggi kerah koleganya sesama anggota dewan baik itu lelaki atau perempuan yang otaknya hanya dijejali cara mancari duit dengan senjata kunjungan kerja (kunker), hearing, inspeksi mendadak (sidak), aneka sidang dan studi banding bahkan sampai memeras walikota atau kepala dinas.
Ia akan menancapkan kuat-kuat bendera revolusinya di antara kebisingan statement untuk mencari muka di depan khalayak yang tanpa ujung solusi. Ia sadar bahwa ia terlahir dari suara rakyat, maka apapun alasan keberpihakan kepada selain rakyat, adalah musuh bebuyutannya.
Namun pada akhirnya seorang caleg sejati harus disadarkan bahwa revolusi itu adalah kata-kata yang berat. Tersimak dalam sejarah bahwa revolusi sudahpun memakan anak kandungnya sendiri. Revolusi akan bergandengan tangan dengan tragedi seperti banyak dikisahkan dalam mitologi Yunani. Seorang revolusioner akan berakhir tragis.

Soekarno yang telah berhasil menggiring bangsanya menuju gerbang kemerdekaan dan melepaskan bangsanya dari cengkeraman kolonialisme lalu siap menjadi martir revolusi, harus menemui ajal dalam keterasingan. Muammar Khadafy yang dulunya singa gurun revolusi yang telah menumbangkan sebuah dinasti dan kekuasaan despotik, berujung pilu.

Mati ditembak oleh bangsanya sendiri lalu dilempar ke sebuah lemari pendingin di pasar daging. Bapak filsafat dunia, Socrates harus berakhir dengan menenggak racun sebelum dihukum mati dengan tuduhan revolusi pemikirannya dapat merusak generasi muda.
Kisah masyur dalam drama Sophocles menceritakan tentang Oediphus yang berhasil mengalahkan Sphinx dan meraih tahta tertinggi di Thebe, maka ia adalah sebuah penaklukan dan kejayaan (glory). Namun akhir dari kisah itu, Oediphus harus menusuk matanya sendiri dan mengerang sampai jauh untuk menebus ketidaksengajaannya dalam pembunuhan Raja Thebe sebelumnya. Oediphus menjadi prasasti dari dilema manusia untuk menemukan jati dirinya dalam sebentang peta konstalasi kosmos.
Tidakkah semua ini akan menakutkan. Haruskah jalan sunyi itu ia tempuh sendirian? Jika ia sosok Pinokio, ia akan punya pilihan untuk tetap menjadi boneka kayu atau menjelma sebagai manusia Sang Revolusioner laksana Oediphus yang terkorbankan? ~MNT

Comments