Satire Politik Jelang Pileg 2014



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Kurva eskalasi politik di Kepulauan Riau khususnya akan menyentuh puncak Pemilu. Namun jauh-jauh bulan, fase penjajakan, sosialisasi, temu muka antara caleg dengan konstituen sudah dilancarkan. Papan reklame di mana-mana. Brosur, pamflet, stiker, one way, bendera, kalender, kartu nama dan segala atribut caleg sudah ditebar luas (atau sebagiannya ditumpuk di belakang rumah tim sukses yang berpura-pura).
Begitu turun ke masyarakat, seorang caleg manapun mungkin pernah merasakan suatu nuansa tidak sehat dari pertemuan itu. Alih-alih menitipkan pengharapan yang besar demi perubahan masa depan bangsa dan daerah yang lebih baik kepada seorang caleg, masyarakat pemilih kemudian melihat celah untuk saling memanfaatkan. Tetua kampung, perangkat RT atau juru bicara dari suatu komunitas tanpa segan mengutarakan bahwa mereka butuh perbaikan fasilitas umum (fasum), kaos bola, kompang, seragam pengajian, door prize dan dana segar untuk acara yang diada-adakan. 

Visi misi (jika pun ada) hampir tidak sungguh-sungguh didengarkan karena minat politik masyarakat sudah bergeser dari pakem idealis ke pragmatis. Sedihnya hampir kepada semua caleg yang singgah, proposal yang sama juga disodorkan. Beberapa yang lain membisikkan ke telinga tim sukses sang caleg hal-hal yang tidak kena mengena dengan urusan pencalegan. Misalnya minta ongkos berangkat ke luar kota, anak mau disunat, minta caleg menjadi saksi nikah sampai menyelamatkan rumah yang akan dicat debt collector.
Gejala ini akan makin menakutkan jika yang sebenarnya terjadi adalah: masyarakat dan caleg beserta perangkat tim suksesnya akan adu pintar untuk saling menipu. Caleg yang dari hatinya tidak berniat benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat jika terpilih kelak, akan menemukan lawan (kawan) seimbang dari kelompok masyarakat yang dalam dirinya sudah tertanam sosialitas untuk saling mengerkah, memanfaatkan dan mendendam. Pameo Homo Homini Lupus (manusia adalah srigala bagi sesamanya) akan terlihat dalam gelanggang politik macam ini meski dengan lelaku yang tampak sopan.
Dalam kultur politik dan demokrasi apapun hasilnya, uang berada pada posisi yang sangat dominan. Tidak ada makan siang gratis (there is no free lunch) untuk para caleg sepertinya benar-benar fakta. Soal uang yang sudah memasuki semua ruang kehidupan masyarakat termasuk untuk membeli idealisme para pemilih sudah jauh ditelaah oleh Michael Sandel, filsuf dari Havard University.

Saking frustasinya ia berkata bahwa uang – sebagai ukuran nilai pasar – sudah mendesak nilai non pasar di semua aspek kehidupan. Sandel menulis What Money Can’t Buy? (2012), Apa yang Tidak Bisa Dibeli dengan Uang?
Sandel ingin menunjukkan bahwa saat ini hampir tidak ada ruang yang tidak dijejali nilai pasar (baca: uang), sehingga tanpa disadari ekonomi pasar (market economy) sudah menjelma menjadi masyarakat pasar (market society). 

Dalam bukunya itu, Sandel memaparkan banyak contoh kasus bagaimana ginjal dan kantung darah bisa diperebutkan dengan harga lebih tinggi, masa hukuman penjara bisa dikorting dengan traveller’s cheque, pabrik punya hak menumpuk polutan asal memberi upeti sekian ribu dollar, dan suksesi bagi anggota parlemen bisa ditransaksikan. Tanpa perlu paham istilah demokrasi transaksional, berbagai elemen di daerah ini sudah lama memainkannya dalam peran sebagai market society.
Sebagai pribadi saya menaruh rasa hormat dan apresiasi yang tinggi pada tidak banyak caleg yang berangkat dengan niat tulus melakukan perbaikan, menjadi anggota parlemen yang arif tanpa tendensi menjadikan jabatannya sebagai sumber uang pula. Apalagi untuk membalas dendam, mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk jatah satu kursi. Idealnya mereka sudah dicirikan dengan berbagai kemapanan, baik spritual, emosional, intelektual dan tentunya finansial.
Kemapanan finansial - demi melihat kultur masyarakat yang sudah terkontaminasi dengan uang atau turunannya – menjadi suatu prasyarat untuk bisa masuk ke hati rakyat. Mereka boleh bertingkah seperti malaikat dan berhati seperti nabi, namun jika datang ke masyarakat tanpa membawa oleh-oleh maka sabda politiknya hanya akan masuk ke telinga kiri lalu melompat dari telinga kanan.

Masyarakat pasar tidak akan bergeming dan melihat sebelah mata pada caleg yang turun tanpa meninggalkan sebarang kesan. Itulah faktanya, bahkan saya bisa menebak sepertinya seorang nabi sekalipun harus membayar untuk dipilih.
Kecuali jika masing-masing partai politik mampu dan cerdas dalam merekrut, menyeleksi dan menggali potensi-potensi caleg sampai ke tingkat akar rumput, jika perlu membiayai caleg yang benar-benar “berhati nabi” namun tak punya dana untuk dijual ke masyakat. Maka jika demikian adanya, siapapun yang mendapat kursi di legislatif pastilah benar-benar orang yang tepat. Sayangnya hal itu tidak terjadi. 

Partai jamak mengedepankan aspek popularitas ketimbang kualitas caleg sehingga menarik kuat-kuat partisipasi politik rakyat ke dalam siklus lima tahunan yang absurd. Akibatnya beberapa orang “nabi” harus merogoh kantong dalam-dalam untuk bersaing bersama para begundal politik.

Titik fokus caleg pun bergeser dari menjadi seorang yang kapabel (cakap) menjadi seorang yang akseptabel (diterima) dengan cara apapun. Pemilih yang telah menjual suaranya kepada caleg yang “membayar” lebih mahal, sebenarnya sedang menanggalkan hak-haknya untuk mengoreksi dan menagih janji, karena sang caleg sudah merasa membayarnya di muka.
Sikap apatis kacamata kuda dari uraian di atas tidak ditujukan kepada seluruh elemen masyarakat, karena masih banyak pemilih cerdas yang mampu menimang dan membedah siapa yang benar-benar pantas mewakili mereka di kursi parlemen. Marilah sama-sama kita mengubah mindset, yang menjadi pemilih cerdas dan tidak goyang karena berbagai tawaran. Ungkapan satire: ambil uangnya, jangan pilih orangnya, meski klise tapi sangat berguna sebagai pengingat. ~MNT

Comments