Wasiat dari Athena



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Anakku dengarlah ceritaku kali ini. Cerita dari dimensi masa – terlalu – silam yang tak pernah kau kira-kira seutuhnya. Aku pastikan, kau hanya mendengar sepotong kecil kisahku sebelum ini. Aku mulanya memang hanya lelaki tua tanpa alas kaki dan berjalan terseok-seok. Kain wol khiton yang kulilitkan begitu saja di bahu sampai pinggang sebagai busana sehari-hari pria di kota kami, mulai kusam dan mengeras terpapar debu.

Aku tidak menggantinya kecuali dengan terpaksa. Aku tidak ingin lebih banyak domba tersakiti. Jika dilihat dari raut wajahku yang tidak tampan dan penuh bulu dengan ukuran kening yang terlalu luas, maka wajah dan busanaku adalah perpaduan sempurna untuk memberikan alasan yang cukup kenapa orang tidak begitu hormat pada keadaanku.
Pagi itu aku kedatangan sahabat lama dari Oracle Delphi. Ia menatapku tajam dengan sorot mata yang tampak hormat, lebih dari biasanya. Kami bersila di atas setumpuk batu besar yang pada bagian atasnya adalah bidang datar yang nyaman. “Tuan Socrates, andalah pria itu. Suara gaib yang belakangan ini mengusikku memberi kalimat penutup.

Tidak ada yang lebih bijak di negeri ini selain Socrates. Dan aku percaya itu. Ayolah kawan! Jadilah guru kepada mereka yang bodoh. Jadilah penyuluh kepada jiwa-jiwa yang pekat,”. Dia tidak bergeming lagi setelah itu, karena aku lekas-lekas menyuruhnya menghabiskan susu segar yang disuguhkan Xantippe isteriku, agar ia segera menjauh.
Sahabatku telah membuat hari-hariku galau. Menjadi guru, menjadi penyuluh kepada jiwa-jiwa yang pekat, katanya. Oh, ia telah sangat mengada-ada. Secara penduduk kota ini tidak menyapaku kecuali terpaksa. Mereka gila strata dan silau oleh rupa. Mereka tidak hirau dengan ocehan filosofisku yang dianggap cemerlang pada zamanmu. Mereka tidak menjangkau alam pikirku, sehingga menyebut aku hanya mengoceh. Celakanya, diam-diam aku hampir percaya bahwa aku adalah pengoceh tua bangka tak berguna. Dan teman Oracle ku harus segera dibalas jika terbukti dia telah mempermainkanku.
Kenapa tidak kubuktikan saja! Baiklah, aku akan mendatangi cerdik pandai di kotaku satu demi satu. Aku tidak mengetuk pintu, anakku. Kami tidak memiliku pintu-pintu kayu yang dapat didengar jika diketuk, seperti pada zamanmu sekarang. Rumah di kota kami adalah tumpukan batu besar yang disusun kokoh. Maka aku berteriak sampai mereka berhamburan keluar. Itulah tradisi kami. Tradisi dari kota kuno yang memasak ayam kalkun dengan terlebih dahulu memantik batu sampai berapi, untuk sekali-kali tidak makan hewan mentah.
Anakku, aku memulai pengajaran filsafatku tentang esensi manusia. Kenapa manusia lahir? Lalu aku mengambil cerita dari ibuku Phainarete, seorang bidan dari Athena yang ternama. Aku menamakan metode filsafatku dengan cara kebidanan untuk menjelaskan tentang eksistensi manusia. Lalu aku mengejar definisi absolut tentang satu masalah kepada orang-orang yang kuanggap bijak meskipun kerap kali orang yang diberi pertanyaan gagal melahirkan definisi tersebut.
Sampai pada akhirnya aku membenarkan suara gaib yang diceritakan sahabatku itu berdasar satu pengertian bahwa aku adalah yang paling bijak karena aku tahu bahwa aku tidak bijaksana, sedangkan mereka yang merasa bijak pada dasarnya adalah tidak bijak, karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana.
Aku merekrut banyak murid-murid belia setelah itu. Cara berfilsafatku ini kemudian memunculkan rasa sakit hati mereka karena setelah penyelidikan itu maka akan tampak bahwa mereka yang dianggap bijak oleh masyarakat ternyata tidak mengetahui apa yang sesungguhnya mereka duga mereka ketahui. Rasa sakit hati inilah yang nantinya akan berujung pada kematianku.

Melalui peradilan dengan tuduhan resmi merusak generasi muda, sebuah tuduhan yang sebenarnya dengan gampang aku patahkan melalui pembelaanku sebagaimana tertulis dalam Apologi karya murid emasku, Plato. Anakku dengan linangan air mata harus kukatakan. Kutinggalkan jua kefanaan dunia ini tepat pada usiaku yang ke tujuh puluh tahun. Aku harus menemui ajal dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang aku terima dari pengadilan dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya.
Padahal akulah yang “melahirkan” Plato dan Ariestoteles termasuk mempengaruhi filsafat Averroes dan Avicenna , intelektual Muslim yang seagama denganmu. Averroes dan Avicenna adalah penerusku ketika tiba-tiba cahaya ilmu dari langit Eropa meredup. Oya, kau menyebut kedua orang alim ini sebagai Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Sampaikan salam takzimku pada mereka.

Filsafatku baru sebatas mencari Tuhan, sedang mereka sudah sampai. Ingatkan kembali, sehidupku, aku hanya dipandang sebagai lelaki tua brewokan tanpa alas kaki dan mati dari racun kenaifan umat manusia. Tapi aku tidak menyesal. Dari sisi batinku yang lain, aku menganggap aku pantas menerima hukuman itu. Nanti di ujung kisahku ini, kau akan tahu mengapa.
Anakku, inilah inti dari wasiatku padamu. Wasiat tua dari kota kuno ribuan generasi terdahulu. Tetaplah kau menulis. Kurung rasa malasmu. Ingatkah kau? Beberapa tahun yang lalu ketika kau masih bujang, aku diam-diam mengunci pintu kamar kosmu. Aku mengurungmu karena aku ingin kau berkontemplasi, agar kau tidak terlalu liar di jalanan jurnalistik yang pragmatif.

Aku ingin kau mulai memikirkan tentang apa yang dapat kau wariskan kepada anak cucumu. Aku yakin, seukuranmu kau tak mungkin mewariskan Borobudur, Taj Mahal, Disney Land, Menara Pisa, atau Tugu Monas. Kau juga bukan maestro seperti Mozart, atau penyair nomor wahid macam Kahlil Gibran. Perbaiki saja cara hidupmu dan menulislah.
Sekali lagi, peninggalan pemikiranku yang paling penting adalah cara berfilsafat dengan mengejar satu definisi absolut atas beragam permasalahan melalui suatu dialektika . Tapi aku tidak menulisnya. Aku gagap menulis dan aku hanya berbicara. Kau dengan pribadimu janganlah seperti itu.
Aku sebenarnya dapat lari dari penjara , sebagaimana ditulis dalam Krito, dengan bantuan para sahabatku namun aku menolak atas dasar kepatuhanku pada satu “kontrak” yang telah aku jalani dengan hukum di kota Athena. Keberanianku dalam menghadapi maut digambarkan dengan indah dalam Phaedo karya Plato.

Kematianku dalam ketidakadilan peradilan menjadi salah satu peristiwa peradilan paling bersejarah dalam masyarakat Barat. Andai aku bisa menulis, semua tudingan itu akan terbantahkan secara sistemik. Dialektika yang kuajarkan tidak membuktikan apa-apa sampai Plato menulisnya. Aku tidak memarahamimu jika kemudian kau katakan, ketika meminum racun sebenarnya aku sekalian menghukum diriku sendiri yang tak pandai menulis.
Kau pun tahu, Plato meminjam mulutku untuk tulisan-tulisannya yang fenomenal itu. Pastinya pikiranku dan pikiran orisinilnya telah bercampur aduk dalam Politeia, karya agungnya. Maka sekali lagi anakku, menulislah. Agar kau lain dari yang lain. Lahirkan pikiran-pikiran orisinilmu tanpa perlu takut adanya campur aduk. Tulislah kerisauan tentang bangsamu, tentang kotamu. Tentang apa saja yang mengusik nuranimu. Aku dengar bangsamu kini lebih banyak berjoget ketimbang membaca. Lebih banyak menonton acara TV murahan ketimbang menulis. 

Ajaklah mereka untuk menggoreskan karya tulis apa saja. Entah itu hanya di blog, dinding facebook atau berkicau di twitter, apa itu?. Ajari mereka berbahasa yang baik warisan luhur bangsamu, bukan bahasa alay jalanan sosial media. Ingatlah bahasa menunjukkan bangsa. Jangan biarkan bahasa bangsamu punah.

Renungkanlah bahwa: Socrates meninggal karena meminum racun, namun Plato meninggal ketika sedang menulis, Plato scribend est mortuus. Aku mati dengan malang sedangkan Plato tidak, karena ia menulis.Dan aku akan lebih mati lagi jika Plato tidak menyertakan aku dalam tulisan-tulisannya. ~MNT

Comments