Mesin Tik Pram dan Yang Dipertuan Besar





Oleh Muhammad Natsir Tahar

Bung Hatta rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku ia bebas. Hatta meletakkan buku pada hakikat pengembaraan diri. Dengan buku ia menembus batas cakrawala, untuk kemudian menuliskan khazanah ilmu.

Sedang Pramoedya Ananta Toer lewat mesin tik usang nan fenomenal itu mengingatkan cerdik cendikia negeri ini. Katanya: seseorang boleh pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. 

Pilihlah secara acak tokoh-tokoh pejuang yang seangkatan Bung Karno atau setingkat di atasnya. Misalnya HOS Cokroaminoto, Ki Hadjar Dewantara, Syahrir, Sutan Takdir Alisjahbana, Ahmad Dahlan, Mochtar Lubis, Buya Hamka, Rosihan Anwar, Muhammad Natsir, SK Trimurti, Sam Ratulangi dan ratusan nama lainnya. Mereka terbaca dalam sejarah sebagai deretan penulis candradimuka. 

Soekarno misalnya, di balik tembok penjara, di bawah tekanan senjata, dalam himpitan ekonomi dan gertakan kolonial serta kelangkaan literatur, mampu melahirkan karya tulis hebat, yang membuat bambu runcing berani menghadang bedil. Lewat buku pula Soekarno menancapkan ideologi yang tak pernah ditepikan dari dirkursus kekinian.

Dengan mengontrak rumah separuh kandang kambing, Tan Malaka sering merenung di danau dekat Rawajati, Kalibata. Lalu ia menulis Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), sebuah mahakarya yang menggemparkan Asia. Tan merinci hakikat gerak alam, ia mengarahkan seluruh situasi pada soal-soal rasional, ia menghantam tahayul dan tanpa referensi apapun ia sudah mencantumkan segala ingatannya di kepala. Pada dasarnya ia bukan saja seorang jenius tapi juga otaknya fotografis. 

Lalu bagaimana dengan kita sekarang? Kita yang hidup dalam ruangan berpendingin, dikelilingi teknologi, gadget super mutakhir dengan referensi sebanyak buih di lautan. Mesin pencari di internet siap mempersembahkan apa saja dan dari belahan bumi mana saja, referensi yang kita perlukan. Namun kita tak jua ingin menulis.

Bagi bangsa Indonesia, tradisi membaca sesungguhnya memiliki legitimasi historis. Para tokoh pendiri Republik ini adalah sosok-sosok yang memiliki kegandrungan luar biasa terhadap buku. Mereka adalah tokoh-tokoh pecandu buku. Mereka besar bukan sekadar karena sejarah pergerakan politiknya, tetapi mereka juga dikenal karena kualitas intelektualnya yang dibangun melalui membaca buku.

Bahwa penulis hebat sekaligus adalah pembaca yang hebat. Namun khalayak tidak serta merta ingin digiring ke arah itu. Kita bisa memulainya melalui kalimat – kalimat orisinil yang menggugah dan memotivasi di dinding Facebook, atau cuitan bernilai di Twitter. Ketimbang menggumbar bahasa alay dan keluh kesah yang tidak penting bagi siapapun. Jika Facebook ditakdirkan tidak tamat riwayat, maka itulah warisan kita kepada anak cucu, kelak.

Mari kita tilik level literasi Indonesia. Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Sementara Vietnam justru menempati urutan ke-20 besar.

Pada penelitian yang sama, PISA juga menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di urutan ke 57 dari 65 negara yang diteliti. PISA menyebutkan, tak ada satu siswa pun di Indonesia yang meraih nilai literasi di tingkat kelima, hanya 0,4 persen siswa yang memiliki kemampuan literasi tingkat empat. Selebihnya di bawah tingkat tiga, bahkan di bawah tingkat satu. 

Data statistik UNESCO 2012 pula memaparkan, Indeks Minat Baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen. 

The Social Progress Imperative memaparkan tiga indeks kemajuan sosial, di antaranya Kebutuhan Dasar Manusia, Fondamen Kesejahteraan, dan Kesempatan. Dalam Indeks Fondamen Kesejahteraan, terdapat penilaian Akses pada Pengetahuan Dasar yang salah satu indikatornya adalah Tingkat Literasi Remaja. Indonesia berada pada tingkat 74 dari 132 negara dengan nilai 90.11.

Perlu diingat bahwa saat ini persoalan lebih penting di Indonesia adalah a-literasi bukan iliterasi. A-literasi adalah ketidakmauan membaca masyarakat, bukannya iliterasi yang berarti ketidakmampuan membaca. Perkembangan teknologi menjadi penyumbang terbesar kemalasan literasi bangsa kita, sehingga bangsa ini dikenal sebagai penonton yang hebat, dan penghuni sosial media yang taat untuk segala hal yang bersifat diri sendiri.

Sebagai bahan renungan, mari kita baca sepotong kisah tentang filsuf purba, Socrates. Tulisan ini diambil dari Kompasiana dan blog penulis dengan judul “Wasiat dari Athena”. Mulanya Socrates menjadi filsuf atas “hasutan” seorang teman lamanya dari Oracle Delphi, sebuah kota di zaman Yunani Kuno.

Socrates memulai pengajaran filsafatnya tentang esensi manusia. Kenapa manusia lahir? Lalu Socrates mengambil cerita dari ibunya Phainarete, seorang bidan dari Athena yang ternama. Ia menamakan metode filsafatnya dengan cara kebidanan untuk menjelaskan tentang eksistensi manusia. Lalu ia mengejar definisi absolut tentang satu masalah kepada orang-orang yang dianggap bijak meskipun kerap kali orang yang diberi pertanyaan gagal melahirkan definisi tersebut.

Ia merekrut banyak murid belia setelah itu. Cara berfilsafatnya ini kemudian memunculkan rasa sakit hati mereka karena setelah penyelidikan itu tampak perbedaan nyata orang bijak dan tidak. Rasa sakit hati ini kemudian berujung pada kematian Socrates.

Melalui peradilan dengan tuduhan resmi merusak generasi muda, sebuah tuduhan yang sebenarnya dengan gampang ia patahkan melalui pembelaannya sebagaimana tertulis dalam Apologi karya murid emasnya, Plato. Socrates harus menemui ajal dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang ia terima dari pengadilan dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya.

Socrates sebenarnya dapat saja lari dari penjara, sebagaimana ditulis dalam Krito, dengan bantuan para sahabatnya namun ia menolak atas dasar kepatuhannya pada satu “kontrak” yang telah ia jalani dengan hukum di kota Athena. Keberaniannya dalam menghadapi maut digambarkan dengan indah dalam Phaedo karya Plato.

Kematiannya dalam ketidakadilan peradilan menjadi salah satu peristiwa peradilan paling bersejarah dalam masyarakat Barat. Andai Socrates mau menulis, semua tudingan itu akan terbantahkan secara sistemik. Dialektika yang ia ajarkan tidak membuktikan apa-apa sampai Plato menulisnya. 

Plato meminjam mulutnya untuk tulisan-tulisannya yang fenomenal itu. Pastinya pikiran Socrates dan pikiran Plato telah bercampur aduk dalam Politeia, karya agung Plato. Renungkanlah bahwa: Socrates meninggal karena meminum racun, namun Plato meninggal ketika sedang menulis. Plato scribend est mortuus. Socrates mati dengan malang sedangkan Plato tidak, karena ia menulis. Dan Socrates akan lebih mati lagi jika Plato tidak menyertakan Socrates dalam tulisan-tulisannya.

Kisah ini hampir setara dengan riwayat Pulau Penyengat. Yang Dipertuan Besar agaknya terlalu asyik masyuk duduk di singgasana bertahta regalia. Sehingga kisah – kisah sastrawi ditulis Yang Dipertuan Muda Riau. Maka yang muncul dalam sejarah nasional adalah Raja Ali Haji lewat nukilan indah sebagai Gurindam 12 atau Tuhfat al Nafis.

Jika boleh sedikit curiga, bahwa sekehendak Raji Ali Haji pula sejarah akan terbaca untuk kepentingan kabilah yang mana. Sejarah adalah milik Raja Ali Haji dan penulis pada zamannya. Sedangkan mesin tik usang Pram tidak mungkin mengada-ada.~MNT

Comments