Mendebat Raja Singapura Tua

Sumber Grafis: www.seaarchaeology.com



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Lagenda Sang Nila Utama adalah bauran fiksi, mitos dan sejarah yang dipaksakan. Saya menyarankan untuk tidak sering -sering membaca alkisah tokoh yang satu ini, jika tidak ingin secara kompulsif mengulang aksi #TepokJidat. Bingung level dewa adalah efek sampingnya, kecuali tujuan membacanya hanya sebatas hiburan.
Sang Nila Utama tercatat dengan tinta emas dalam sejarah imperium Melayu sebagai pendiri Kerajaan Singapura Tua. Ketika didaulat menjadi Raja Kerajaan Singapura ia bergelar Sri Tri Buana (1299 M – 1347 M). Namun riwayat hidupnya diselimuti kabut misteri, aksioma dan dongeng orang tua-tua dulu. Jika kita sepakat bahwa Sang Nila Utama adalah bagian dari Sejarah Melayu, maka sejarah itu sendiri wajib memenuhi tahapan uji ganda (dual test), secara empiris dan logis.
Sejarah adalah fakta sampai ia dibelokkan untuk memihak kepada ketidakbenaran atau hayalan. Buku sejarah adalah buku fakta, bukan kronika setengah fiksi. Ini mesti dipahami para penulis sejarah abad ini, jika tak ingin terkategori sebagai penyalin ulang hasil imajinasi purbawi. Namun harus diangkat topi, memetik kata “Sejarah” dalam judul sebuah buku butuh keberanian penuh.
Kronika Melayu macam Sulalatus Salatin (Penurunan Segala Raja-raja) karya Tun Sri Lanang, kemudian sekuelnya Malay Annals versi Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Raffles 18 dan WG Shellabear lalu Tuhfat al Nafis warisan Raja Ali Haji, sampai yang paling kontemporer buku setebal 665 bertitel: Sejarah Melayu yang ditulis Ahmad Dahlan, PhD (edisi revisi) – paling tidak buku - buku ini – hampir tanpa silang sengketa mencoba menyerap popularitas Iskandar Zulkarnain dari Muqaduniah (Macedonia) #bingung – dan atau Alexander the Great dari Macedonia #bingung. Lalu dengan sangat ajaib dinobatkan sebagai: Bapaknya Raja Melayu.
Dalam Mitologi Melayu, adalah Sang Sapurba bersama dua saudara kandungnya Nila Pahlawan dan Krisna Pandita sekonyong – konyong turun dari Bukit Siguntang menuju Palembang menunggangi gajah, bermahkota ratna mutu manikam. Lalu diangkat menjadi raja karena ia mengaku sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain. Sang Sapurba adalah ayahnda dari Sang Nila Utama.
Jika dihadapkan pada dua pilihan: kepala dibenamkan selama lima menit ke dalam kolam lele atau percaya begitu saja bahwa Sang Sapurba adalah keturunan sahih dari Iskandar Zulkarnain, maka dengan terpaksa saya akan menjawab, bahwa Sang Sapurba benarlah keturunan Iskandar Zulkarnain. Sejak awal saya sudah dibingungkan tentang sosok Iskandar Zulkarnain dengan Alexander the Great dari Macedonia yang lahir ribuan tahun sebelumnya (Alexander hidup 356 SM – 323 SM sedangkan Sang Sapurba ada pada tahun 1.200-an Masehi).
Hampir semua orang yang punya atensi pada sejarah Melayu menyebut – nyebut cikal bakal Raja Melayu turun dari Bukit Siguntang, tapi kemudian alis mereka berkernyit untuk menjelaskan bagaimana ia bisa naik ke bukit itu dengan mengabaikan dimensi ruang dan waktu. Sementara itu,Tambo Minangkabau juga menyebut, embrio raja Minangkabau, Maharajo Dirajo dan asal usul orang Minangkabau sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain merujuk kepada Sang Sapurba.
Kronik dalam Salalatus Salatin maupun Malay Annals dengan penuh anomali mencoba mengurai silsilah Sang Sapurba untuk mengaitkannya dengan Iskandar Zulkarnain. Tapi upaya ini menyelisihi syarat sebuah sejarah yang dipaksa melewati dual test (empiris dan logis).
Syahdan, Raja Culan- entah keturunan ke berapa dari Iskandar Zulkarnain - diceritakan turun ke dasar laut tempat berdirinya sebuah kerajaan bernama Alam Dika, lalu menikah dengan Puteri Mathab al-Bahri anak kepada Raja Alam Dika bernama Raja Aftab al-Ard. Dari pernikahan itu lahirlah tiga putera yakni Sang Sapurba adik beradik. Kisah ini lebih mirip dongeng ketimbang fakta sejarah, sampai ada bukti empiris tentang manusia aquatic yang membina kerajaan di bawah laut mirip ikan duyung, dengan nama Arab pula.
Penulis Hikayat Melayu juga gagal mengurai bentang konstelasi ribuan tahun antara Iskandar Zulkarnain sampai ke cikal bakal raja Melayu, kecuali beberapa nama yang dikait-kaitkan sebagai zuriat, yang makin lama dipelototi makin membuat kita mengulang laku #TepokJidat.
Tun Sri Lanang sebagai penulis Sulalatus Salatin agaknya terobsesi pada Iskandar Zulkarnain seumpama nabi sebagaimana yang termaktub dalam Alquran (QS. Al-Kahfi: 83-98). Bahkan menyebutnya sebagai keturunan Nabi Sulaiman. Tapi ia memiliki kecondongan yang kuat untuk membenarkan bahwa Iskandar Zulkarnain itu adalah Alexander the Great dari Macedonia dengan menulisnya sebagai anak raja Darab dari Muqaduniah (istilah Arab Melayu untuk Macedonia).
Alquran hanya menyebut Zulkarnain tanpa Iskandar (Alexander) di depannya. Sosok Zulkarnain memantik kontradiksi sepanjang masa. Apakah Iskandar Zulkarnain sama dengan Alexander the Great dari Macedonia, dekat Yunani? #TepokJidatMassal.
Membaca perkara ini, Raja Ali Haji mungkin saja sudah lebih dahulu menepuk jidatnya, sehingga ia merefleksikan kebimbangannya dengan frasa “konon”. Sedangkan Ahmad Dahlan memaparkan antitesa dalam bahasan khusus untuk menempatkannya sosok Iskandar Zulkarnain berada di tengah – tengah antara sejarah dan mitos. Sedangkan Hasan Yunus memposisikan diri sebagai ahli tafsir, ia lebih banyak menjelaskan yang tersirat di balik yang tersurat.
Zulkarnain dalam versi Islam adalah maharaja soleh yang harum namanya. Beliau mengajak umat manusia sebentang taklukannya antara Barat dan Timur untuk memeluk agama Tauhid. Lalu ia pula yang membentengi Yajud wa Ma’jud, makhluk yang akan muncul menjelang kiamat.
Lalu siapa Alexander the Great? Izinkan saya untuk menyebutnya sebagai bule gila yang mati muda. Ia kehabisan nafas sebab tenggelam dalam lautan daulat seluas separuh dunia. Mata kakinya dipenuhi genangan darah hasil pembantaian umat manusia, sejauh ia berjalan. Celakanya ia adalah murid filsuf moralis dan pejuang dogma, Aristoteles.
Monsanto Luka dalam 100 Tiran Penguasa Dunia secara satire menstigma Alexander sebagai tiran haus darah. Ia membuat diskripsi singkat tentang Alexander begini: Selama berkuasa sebagai Raja Macedonia, Alexander melancarkan serangkaian tindakan brutal, menghancurkan Maedi, membantai pita sakral Thebes, dituduh terlibat pembunuhan ayahnya Phillip II, menghancurkan Thebes, menginvasi Asia dan India, membantai ribuan lelaki di Tyre dan Gaza, menjual para wanita dan anak – anak yang masih hidup sebagai budak, menghancurkan Samaria, membungihanguskan Persepolis saat mabuk, membunuh sejumlah pengikut ayahnya, membantai siapapun yang menentangnya dan yang paling brutal: menyatakan dirinya sebagai Tuhan. 

Ia pun mengoleksi 365 wanita cantik di Asia sebagai selir, yang jika diumpamakan, sepanjang tahun Alexander bermalam dengan wanita yang berbeda. #AmponTuanku. Lupakan kisah horor Alexander the Great. Taruhlah kita sepakat Sang Sapurba adalah keturunan Nabi Zulkarnain versi Alquran (juga diceritakan dalam Injil pada Kitab Daniel), tapi mengapa pula ia tak beragama Islam? atau paling tidak memeluk salah satu agama Samawi.

Sang Sapurba dan keturunannya sepertinya menganut Hindu, seumpama raja – raja purba Nusantara, namun situs Budha juga terdapat di Taman Purbakala Bukit Siguntang. (Raja Melayu yang pertama sekali memeluk Islam adalah Parameswara yang kemudian bergelar Raja Iskandar Syah , hidup 1388 M – 1392 M).
Kembali ke Sang Sapurba, bila sampai di Palembang, ia dinobatkan sebagai raja oleh raja sebelumnya yakni Demang Lebar Daun. Mendengar Sang Sapurba sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain, Demang Lebar Daun dengan gemetar serta merta melepas tahta dan menikahkan puterinya Wan Sendari dengan Sang Sapurba. Dari Wan Sendari, Sang Sapurba memiliki empat anak bernama Puteri Seri Dewi, Puteri Cendana Dewi, Sang Maniaka dan Sang Nila Utama.
Menghiliri Sungai Musi, menyusuri gugus pulau, Sang Sapurba beserta keluarga dan rombongan istana akhirnya sampai ke Pulau Bintan. Singkat cerita ia menetap di Kerajaan Bentan yang terletak di kaki Gunung Bintan atas jemputan Permaisuri Iskandar Syah. Sang Nila Utama lalu dinikahkan dengan Wan Seri Beni, puteri mendiang Raja Iskandar Syah kemudian meneruskan tahta Kerajaan Bentan.
Selimut Misteri Pantai Temasik
Dalam masa bulan madu, Sang Nila Utama berniat bertamasya ke Pulau Batam tepatnya di Tanjung Bemban dekat Kampung Batu Besar yang sudah tersohor akan keindahan pasir putihnya. Di Bemban, rombongan Sang Nila Utama juga berburu rusa (dalam versi lain disebut pelanduk), hingga ia tiba di sebuah batu besar.
Batu besar itu diyakini adalah sebuah batu berukuran raksasa setinggi 15 meter yang terletak sekitar 800 meter dari bibir pantai. Batu raksasa ini menjadi cikal bakal penamaan Kampung Batu Besar. Di atas batu besar inilah konon dalam Malay Annals, disebutkan Sang Nila Utama melihat hamparan pasir di tepian pantai Temasik (Singapura), lalu memutuskan untuk menyeberang ke sana dan mendirikan Kerajaan Singapura.
Apakah benar dari atas batu tersebut Sang Nila Utama dan pengawalnya Indra Bupala dapat melihat daratan Temasik? Kisah ini benar – benar diliputi kabut misteri, karena faktanya, ketika itu sangat sulit melihat daratan Temasik dari wilayah Bemban. Dari atas batu apa saja.
Di atas peta, Pantai Bemban menghadap ke Timur Laut sedangkan Temasik berada di Barat Laut. Jika saat berdiri di atas batu besar itu, ia menoleh ke Barat Laut sebagaimana disalin dalam buku Sejarah Melayu versi Ahmad Dahlan PhD (dalam caption foto Pantai Tanjung Bemban bahkan tertulis menghadap ke Singapura, hal 89), secara logika tidak mungkin melihat Temasik karena terhalang daratan Batam (Nongsa berbentuk tanjung, menyerupai tangan kanan kala jengking, sedangkan Bemban sedikit ke bawah dekat rusuk).
Singapura di masa lalu hanyalah pulau kosong tanpa gedung – gedung pencakar langit yang bisa dilihat dari Batam seperti sekarang. Hanya pada titik – titik tertentu daratan Singapura akan terlihat karena pengaruh lengkungan permukaan bumi (spheroid), ditambah mungkin ada pengaruh reklamasi seperti saat ini.
Seseorang dari Singapura beberapa bulan yang lalu tepatnya saat puasa Ramadhan, mengontak saya. Namanya Eric Ng Yuan dari Malkin &amp, Moxwell LLP, Singapore. Ia juga adalah member of Mozaic Group Law Practice. Eric meminta saya untuk menjadi narasumber dalam film dokumenter yang sedang mereka produksi sempena Hari Kemerdekaan Singapura.
Film itu mengisahkan tentang napak tilas Sang Nila Utama. Kami berdiskusi untuk membuat script tentang hikayat Kampung Bemban, Batu Besar dan kronologi saat Sang Nila Utama memburu rusa serta melihat daratan Singapura. Eric beserta kru bergegas ke Batu Besar dan Bemban untuk membuktikan apakah Sang Nila Utama benar – benar telah melihat daratan Singapura dari tempat ia berdiri. Ataukah ada tempat lain, tapi di mana? Eric bilang: are there more than one Big Rock in Bemban? I ask because the one at the beach obviously cannot see Temasek. If so, my film documentary can tell my audience that the ancient writer made a mistake?
Akhirnya kami menyimpulkan bahwa penulis Malay Annals memang telah menambah beberapa drama ke dalam lagenda Sang Nila Utama untuk menjaga antusiasme pembaca. Saya pun menepuk jidat untuk yang ke sekian kalinya, disusul Eric. Kata Eric saat itu, film dokumenter meraka akan selesai Oktober 2015. Saya sangat tidak sabar menunggu kabar dari Eric. ~MNT

Comments