Batam dan Kisah Epik Pulau Monyet


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Hampir tidak ada hubungan serius antara judul tulisan ini dengan film Hollywood berjudul Rise of the Planet of the Apes yang dirilis Agustus 2011 silam. Kaitan dangkalnya adalah, film besutan Rupert Wyatt ini bercerita perihal sebuah planet dihuni para kera yang dapat berbicara, sedangkan tulisan ini berceloteh tentang Batam yang sempat dituduh sebagai pulau kosong dan hanya dihuni monyet – monyet. 

Frasa “pulau kosong” dan “dihuni monyet” memanggang emosi orang tempatan hingga ke titik didih. Halaman kantor Otorita Batam pada 2001 menjadi episentrum amarah mereka yang merasa eksistensinya dinihilkan. Seseorang dianggap telah menuduh dengan nada sarkastis dan harus ada yang bertanggung jawab. Dari hiruk pikuk ribuan massa yang berkosentrasi di tempat Wan Abud berkantor waktu itu, kata – kata yang dominan terdengar adalah “usir!” dan “bubarkan!”.

Tragedi “Pulau Monyet” yang sudah berlalu belasan tahun itu menjadi entry point bagi sebagian elite lokal melakukan kongsi gelap dengan elite Otorita. Kepada mereka diberikan privilege lalu serta merta mendapat karunia “indera keenam” yang dapat menyingkap tabir misteri di mana saja lahan kosong (belum teralokasikan) dan berapa sin dollar fee yang harus disiapkan oleh cukong. Dalam sekejap orang – orang kaya baru pun bermunculan.

Alkisah Wan Abud memiliki kesaktian mandraguna setingkat Bandung Bondowoso. Beliau mampu menerbitkan berlembar – lembar Izin Prinsip (IP) atas lahan hanya dalam waktu satu malam, dibanding kemarin, bisa tiga bulan atau tujuh bulan atau tak hingga. 

Maka berduyun – duyun pula avonturir dari kalangan politisi, organisasi ini itu, kepala hampir segala suku, tetua adat sampai mantan Ketua OSIS dari antah berantah dan siapapun yang merasa berpangkat, merunduk ke haribaan beliau agar dibukakan hijab “indera keenam” atau paling tidak dapat sepetak tanah. Yang sudah mendapat jatah ada yang dengan sukarela menjadi pasukan berani mati dalam psywar tak terhindarkan antara Otorita versus Pemko Batam yang meletup pasca implementasi otonomi daerah. 

Berbeda ceritanya dengan “orang – orang pusat” yang datang dengan kepala tegak dan ikut berebutan minta jatah lahan di Batam. Energi orang pusat tak banyak terkuras untuk sekadar mendapatkan sepetak dua petak tanah. Menghadapi orang pusat sama susahnya dengan menghadapi ibu – ibu pengendara sepeda motor, yang memasang sign kiri tapi belok ke kanan. Jika terjadi benturan, dia lah yang benar dan kita yang salah.

Otorita yang tegas dan dingin sebelum era Wan Abud meletakkan dasar pembangunan Pulau Batam pada empat fungsi yakni perindustrian, perdagangan, pariwisata dan alih kapal. Wan Abud yang populis menambah satu lagi fungsi yakni social development mirip – mirip dana Bansos. Fungsi terakhir ini kemudian membuatnya basah kuyup disiram hujan puja puji karena begitu mudahnya duit dari lantai delapan mengalir sampai jauh.

Penerus Wan Abud setali tiga uang. Simbiosis mutualisme antara “orang lahan” dengan avonturir tadi sudah kronis. Alih – alih mendisiplinkan izin alokasi lahan yang terlanjur berantakan, penerus Wan Abud yang terkenal safety player ini mendendangkan irama lama dengan tempo slowly. Bedanya Social Development yang boros dihapus, kemudian diganti dengan titik berat kepada kualitas lingkungan hidup, sadar karena banyak hutan lindung yang sudah ompong akibat salah urus.

Tidak cukup waktu semalam suntuk untuk membahas ini ke ini saja apalagi sekarang Badan Pengusahaan (BP) Batam sudah masuk ruang ICU dan sejumlah oknum sedang tersandera kasus pat gulipat lahan. Sementara Orang Pusat datang ujug - ujug, entah apa – apa yang entah apa yang mereka pikirkan. Pokoknya yang mereka tahu lembaga ini harus dibedah daripada tidak melakukan apapun. Pertanyaannya sekarang, hendak dibawa kemana lagi “Pulau Beruk” ini, setelah bertubi – tubi dibuat aturan baru pantang ganti presiden?.

Satu statement yang terdengar populer belakangan ini adalah soal wacana penghapusan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) dari Tuan Ferry Mursyidan Baldan selaku Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). Penghapusan UWTO khusus kepada lahan pemukiman penduduk ini menurut sang menteri guna menghindari dualisme pungutan karena juga ada pungutan atas objek serupa yakni Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Keputusan ini jelas menimbulkan kontradiksi, karena jika UWTO dihapus maka ke depan hampir tidak ada bedanya antara penghuni real estate dengan warga rumah liar (ruli). Sama – sama gratis toh? dan ingat, “ini tanah Tuhan,” kata emak – emak penghuni ruli. Lalu kemudian warga ruli akan menuntut hak yang sama atas legalitas lahan. Benang akan semakin kusut jika masalah batas – batas Kampung Tua juga tidak selesai, dan siapapun atas dalih apapun akan menuntut hak atas tanah yang gratis itu (untuk sementara disebut gratis sampai ada pungutan lain sebagai pengganti UWTO).

Anomali lainnya dari logika Tuan Baldan yang mengaitkan UWTO dengan PBB dapat dijelaskan seperti ini. Dasar hukum pungutan UWTO dari BP Batam yang memiliki otoritas atas tanah Batam sudah terjabar dalam sejumlah dasar hukum mulai dari UU, Kepres, Kepmen, Keputusan Dewan Kawasan serta Keputusan Ketua Otorita Batam / BP Batam. 

Analoginya, BP Batam adalah tuan tanah tunggal di muka bumi Batam ini sedangkan yang lain ngontrak. Kecuali beberapa titik pada tapak Kampung Tua, BP akan menarik uang sewa (UWTO) tersebut untuk jangka waktu 30 tahun atau dicicil beberapa kali. Tak terkecuali jurang, bukit, danau, sungai, jika ada laut yang menjadi tanah karena ditimbun, maka BP akan turun untuk menagih uang sewa. Secara internasional UWTO disebut land lease to Batam Authority yang bermakna: sewa tanah untuk Otorita Batam.

Pertanyaannya kemudian adalah siapa yang diwajibkan membayar PBB, si penyewa atau pemilik? Lain soal kalau BP telah menyerahkan lahan tersebut sebagai Hak Milik (tanpa UWTO) bukan lagi Hak Guna Bangunan. Jika dibolak – balik masalah ini berputar – putar di situ – situ saja seperti roda hamster, seperti makan buah simalakama. 

Di lain sisi, Pusat tidak bisa tergopoh – gopoh mengutak – atik Batam tanpa membaca lini masa sejarah kota ini secara multidimensional. Baldan yang memiliki latar belakang politisi dan organisatoris luar sana, jelas tak memahami filosofi dan kultur kota Batam apalagi head to head dengan visi Habibie yang sudah paripurna sejak awal dalam konteks keistimewaan pulau ini. 

Mengait – ngaitkan UWTO dengan PBB terdengar populis untuk mengambil simpati publik ala politisi tapi dangkal secara substansi. Daripada mendudukkan UWTO dan PBB dalam posisi saling meniadakan, mestinya Tuan Baldan mengibarkan pertanyaan besar: kenapa tanah yang disewa bisa diperjualbelikan di antara para penyewa? Sedangkan di atas lembaran IP tertulis jelas adanya larangan jual beli. 

Kemudian Tuan Darmin Nasution, sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian adalah mantan bankir dan petinggi pajak. Seperti Sri Mulyani beliau juga sangat bernafsu untuk memuluskan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk mengganti Free Trade Zone (FTZ) Batam hanya atas perspektif hilangnya potensi pendapatan pajak, sebagaimana tabiat kolektif para birokrat berkacamata kuda, yang selalu gagal melihat potential gain kemudian menutupi kegagalan intensifikasi pajak dengan ekstensifikasi pajak.

Insentif yang ingin dihapus oleh pemerintah adalah fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn-BM) dan Bea Masuk (BM), yang dinikmati warga masyarakat Batam selama puluhan tahun seperti mobil dan alat elektronika. Yang perlu diingat bahwa selama puluhan tahun itu pula telah terjadi titik keseimbangan (equilibrium) ekonomi masyarakat Batam. Toh barang – barang yang beli dengan fasilitas FTZ juga tidak bisa dibawa kemana – mana? Jika fasilitas ini disentak tiba – tiba, maka akan terjadi chaos sampai ada titik keseimbangan baru.

Sebagai catatan, pembentukan KEK yang bersempadan dengan kawasan Pabean ini adalah lagu lama yang di-aransemen ulang. Resistensi masyarakat Batam begitu kuat untuk menolak pencabutan fasilitas FTZ sehingga selalu gagal diterapkan. Senjata pusat untuk menghapus PPN, PPnBM dan BM di antaranya PP Nomor 39 Tahun 1998 gagal total akibat penolakan yang begitu masif. Kemudian PP Nomor 63 Tahun 2003 dengan jargon FTZ Enclave juga bernasib serupa, sampai kemudian terbit UU Nomor 44 Tahun 2007 tentang FTZ Batam, Bintan dan Karimun (BBK).

Pertanyaan untuk Tuan Darmin, sejauh mana Anda percaya bahwa potential loss yang terselamatkan dari transformasi FTZ ke KEK akan menambah devisa negara jika kemudian muncul persoalan baru yang bertubi – tubi dengan biaya regulasi dan supremasi yang juga tidak sedikit. Dan apakah dengan memasung FTZ, nasib 1,3 juta penduduk Batam akan lebih sejahtera atau justru sebaliknya? ~MNT

Comments