Topeng Malaikat Neolib



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Pekikan para anti Neoliberalisme atau Neolib jamak dianggap sebagai dendang lama yang diputar dengan kaset kusut. Siapa peduli dengan suara kresek – kresek yang membuat telinga gatal. Sekarang – sekarang ini anti neolib makin ditaruh di sudut, dianggap tidak move on, terlalu terobsesi dengan Sukarno atau Tan Malaka, beraliran kiri dan seterusnya.

Orang – orang lebih percaya kepada sistem ekonomi yang memakai logika neoliberalisme. Karena tangan para kapitalis asing mengenggam sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dan negara - yang selalu diilusikan akan tenggelam seperti kita. Mereka mengulurkan bantuan hutang, aneka pekerjaan dan sedikit setoran bagi hasil sebelum mencengkeram kuat – kuat. Sedangkan konsep ekonomi selain itu terlihat terlalu utopis, mengada – ada dan tidak bersifat segera. Mitos – mitos yang dihembuskan oleh kaum neolib, mampu merubuhkan akal sehat sehingga penentangnya dianggap kolot oleh khalayak.

Agen Neolib selalu datang pada hari kelaparan dengan wajah malaikat. Mereka memberi makan, memberi pekerjaan dan membangun tugu – tugu. Lalu kita terpana bukan buatan, kita ternganga sampai lupa mengelap air liur, lalu kita dijadikan budak. Kita menganggap pembangunan telah berjalan dan semua akan baik – baik saja, sepanjang kita diberi upah. Topeng malaikat yang dipakai neolib memang rupawan. Di balik topeng terpampang wajah garong yang penuh bopeng.

Penjajah dulu juga begitu, mereka datang membawa misi bisnis penuh gairah, membeli rempah – rempah. Kongsi dagang Perusahaan Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang kita eja di sekolah dasar dahulu, itu tidak ada bedanya dengan perusahaan konsorsium milik asing sekarang. Bahkan mereka lebih identik dengan Kamar Dagang dan Industri. Bedanya kemudian mereka menggandeng tentara – tentara haus darah yang membawa bedil dan mesiu. Mereka tidak lagi membeli rempah, tapi menodongkan senjata, melancarkan tanam paksa dan merampas begitu saja.

Liberalisme disebut neo karena mereka baharu. Bernegosiasi tidak lagi dengan desingan peluru tapi lewat propaganda – propaganda yang lembut, hingga kita berkelahi sesama sendiri. Devide et impera juga neo sampai kita tidak melihat ada tangan – tangan tak kentara. Kita bermusuh dengan saudara kandung sendiri, saling memburuk – burukkan. Di atas sana, dari kejauhan mereka bertepuk tangan.

Bayangkan sebuah kebun luas nan subur milik ayah kita. Lalu seseorang atau sekelompok orang datang membawa tawaran untuk bercocok tanam di atas kebun tersebut. Dengan sedikit perundingan mereka sudah berlagak sebagai pemilik sebenarnya, lalu menawarkan kepada kita, anak – anak ayah untuk menjadi pengusir hama atau penyiram tanaman dengan upah secukup makan. 

Pada musim panen mereka mengantongi seluruh penjualan dari hasil kebun, melirik ayah sebentar lalu memberi uang receh agar ayah nyenyak tidur siang sampai musim panen berikutnya. Ayah kemudian diberi pinjaman uang untuk memastikan asap dapur tetap mengepul dan anak – anaknya tetap bisa sekolah. Dengan hutang itu ayah dicengkeram, tapi ayah santai saja, karena yang membayar hutang tersebut adalah anak keturunan kita kelak. Selama masih berhutang selama itu pula kerah baju ayah akan diangkat tinggi - tinggi jika ayah mulai mempertanyakan bagaimana nasib kebunnya nanti.

Yang lebih dahsyat dari itu. Ayah bahkan punya kebun lain yang buahnya sudah ranum. Hasil kebun itu mampu menghidupkan rumah tangga ayah hingga tujuh generasi. Tapi ayah ditakut – takuti dan diejek – ejak bahwa ayah tidak mungkin sanggup memetik buah – buah tersebut. Ayah yang hanya memiliki perkakas kuno mengangguk saja ketika mereka mempresentasikan bagaimana tata cara memetik buah ranum dengan teknologi super mutakhir. 

Maka ayah membungkuk, membuka pintu pagar kebunnya luas – luas. Lalu gerombolan garong neolib dengan tangkas berlari secepat bajingan untuk berpesta pora dan menjarah buah – buah ranum milik ayah sampai tidak ada lagi yang bisa dipetik. Seperti biasa kita anak – anak ayah mengantre untuk mengemis pekerjaan menjadi tukang pikul atau pemetik buah yang diupah. Dasar kita, mentang – mentang sudah ada sandaran hidup, kita lupa tentang kisah pilu kebun ayah yang dijarah.

“Aku tinggalkan kekayaan alam Indonesia, biar semua negara besar dunia iri dengan Indonesia. Dan aku tinggalkan hingga bangsa Indonesia sendiri yang mengolahnya,” demikian Sukarno. Ayah pasti lupa, lupa dengan ini. Sedangkan sebagian kita sudah lena, begitu dompet kita terisi. Persetan dengan Sukarno yang sudah mendiang, bukankah kita kini punya kedudukan prestisius sebagai: pengusir hama di kebun ayah. 

Ayah memang hobinya berunding meneruskan kelakuan ayahnya pula. Dengan menonton ayah berunding di televisi, kita melihat rumah tangga ayah, Indonesia Raya akan selalu benderang. Biarpun ayah sedang berunding dengan garong yang sedang menjerat ayah dan hutang baru. Oh ayah, jika ada waktu kenanglah Tan Malaka yang berucap: “Tuan rumah tidak berunding dengan maling yang menjarah rumahnya”. Renungkanlah nasib apa yang menimpa anak cucu kita kelak, bahu mereka terlalu ringkih untuk memikul beban hutan dan bunga ribuan triliun itu.

“Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan meminta – minta, apalagi jika bantuan – bantuan itu diembel – embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, daripada makan bestik tapi budak” – Bung Karno dalam Pidato HUT Proklamasi. 

**** 

Neoliberalisme amat dekat dengan neokolonialisasi yang bertujuan mencengkeram ekonomi dunia dengan modus penjajahan gaya baru yang lebih laten dan multidimensi. Kebijakan-kebijakan yang didorong oleh kaum neolib secara umum meliputi kebijakan penghapusan subsidi, deregulasi, privatisasi, liberalisasi sektor keuangan, perdagangan bebas, gerakan modal bebas dan investasi bebas. Promotor neolib juga menawarkan apa yang disebut dengan structural adjusment program (SAP) yaitu berbagai bentuk ‘bantuan’ pemikiran dan konsep dengan regulasi.

Dengan Washington Consensus para pembela ekonomi privat terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar multinasional telah menjebak berbagai negara berkembang termasuk Indonesia sebagai ‘tanah jajahan yang empuk’ melalui instrumen Bank Dunia (World Bank), International Monetary Fund (IMF), World Trade Organization (WTO), Asian Development Bank (ADB) dan Transnational Companies (TNCs). Yang terakhir dan paling agresif adalah lembaga keuangan dari negeri China. 

Terminologi Batam Bonded Zone, Special Economic Zone (SEZ), Free Trade Area (FTA), Free Trade Zone (FTZ) Batam, Bintan dan Karimun (BBK) dan belakangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah bagian dari skenario tersebut. 

Penganut neolib yang mewarisi “dosa turunan” dari pencetus teori Neoklasik, Adam Smith (1723-1790) telah merusak kemandirian ekonomi nasional dan menghasut oknum pemerintah yang oportunis sekaligus tak berdaya dalam tekanan utang untuk mengkhianati konstitusi, utamanya yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 yang dirumuskan untuk membendung berbagai ekses negatif mekanisme pasar dan liberalisasi mutlak. 

Kita warga Kepri dan para pengampu kebijakan sepertinya sedang terlelap oleh senandung merdu neolib yang pada awalnya memang terlihat memesona dengan terbukanya akses lapangan kerja yang luas. Seolah tidak pernah berkaca kepada sejarah bagaimana nenek moyang kita dulu tersenyum lebar-lebar kepada para saudagar Belanda yang tergabung VOC sebelum dihisap dengan cara tak beradab. 

Hingga kinipun perusahaan perminyakan dan pertambangan asing yang tergabung dalam TNCs (antek neolib) masih terus menguras habis kekayaan bumi Indonesia termasuk Blok Natuna D-Alpha yang pernah dikelola Exxon Mobil. Menjadi ironi ketika perusahaan negara PT Antam di Bintan dan PT Timah di Singkep memiliki tabiat yang hampir mirip kolonial. Setelah puas menghisap sampai kerontang lalu angkat koper meninggalkan kerusakan lingkungan, sedikit aset usang dan penduduk setempat yang miskin.

Agenda-agenda kaum neolib sudahpun berjalan di Indonesia yakni penghapusan subsidi misalnya BBM, deregulasi sejumlah kebijakan penting menyangkut ekonomi dan investasi, kebijakan perburuhan yang memihak sektor korporat, privatisasi BUMN atas tekanan IMF (2002-2003) termasuk sektor strategis yang diamanatkan konstitusi seperti industri-industri vital, telekomunikasi, pelabuhan, perbankan, PLN, universitas dan air minum kemudian liberalisasi serta regulasi sektor keuangan yang memakan triliunan uang rakyat untuk penyelamatan bank-bank collapse. Kemudian masifnya perdagangan bebas, gerakan modal bebas dan investasi bebas, inilah yang telah dan sedang terjadi di Kepri khususnya zona BBK. 

Untuk memantapkan kebijakan pasar bebas, neolib telah memproduksi mitos-mitos yang bertujuan untuk mempengaruhi opini publik dan secara perlahan memaksa pemerintah untuk tidak ikut campur dalam urusan ekonomi yang tujuan akhirnya adalah: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh asing/privat dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran mereka (plesetan dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945).

Rakyat hanya diikutkan dalam mobilisasi tenaga kerja berbiaya murah yang sewaktu-waktu bisa diancam hengkang jika menuntut kenaikan upah di atas batas toleransi mereka. Pekerja pula kerap diperlakukan sebagai asset yang dihegemoni demi sebesar-besarnya benefit perusahaan.

Gejala-gejala penjajahan sektor ekonomi di Batam misalnya sudah lama tampak dengan komposisi kepemilikan lahan industri yang hampir 80 persen dikuasai asing. Setelah sebelumnya di-service dengan tax holidays, sistem pelayanan cepat saji dan sejumlah insentif. Sementara di sektor properti dan perdagangan sangat banyak ditemukan kepemilikan asing dengan meminjam nama lokal. 

Baru – baru ini Pusat datang untuk menancapkan kuku neolibnya lebih dalam yakni dengan mengunci kapitalis asing di ruang VIP KEK dengan surga investasi yang makin menarik, kemudian membiarkan rakyat Batam babak belur di luar KEK dengan segala pungutan baru yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dan Bea Masuk (BM). Segala kemudahan dari fasiltas FTZ seolah – olah haram diberikan kepada rakyat, karena itu sejatinya adalah milik tuan mereka, para kapitalis asing. 

**** 

Agen-agen neolib di Batam dengan suksesnya telah mengubah mental oknum birokrat untuk menutup mata atas bahaya laten yang akan timbul di kemudian hari. Bahwa keuntungan yang didapat dari penguasaan lokasi-lokasi strategis akan langsung dibawa ke luar negeri dengan hanya menyisakan sedikit (mungkin berupa pajak yang bisa dimanipulasi, setoran UWTO, penyerapan tenaga kerja murah dan sedikit imbas ekonomi berupa trickle down effect, serta lebih banyak menyumbang kerusakan ekosistem dan limbah industri).

Badan Pengusahaan (BP) Batam atau penggantinya kelak harus membuat langkah antisipasi dengan cara land reform yang transparan pada kepemilikan lahan tidur untuk dapat dimanfaatkan oleh pengusaha lokal, menciptakan kemandirian ekonomi domestik serta mewajibkan employee stock exchange program (semacam pembagian saham kepada karyawan) oleh perusahaan. 

Di samping itu institusi ini perlu membersihkan diri dengan mengganti atau memecat pejabat korup yang saat ini ditenggarai sudah kenyang oleh success fee pengalokasian lahan. Termasuk menghentikan dan memutus mata rantai kebrutalan orang-orang pusat dan beberapa elite lokal yang ikut ‘bermain’ lahan di Batam.

Sementara pemerintah daerah perlu menggiatkan sektor mikro dan unit ekonomi berbasis syariah, menciptakan entrepreneurships yang kemudian bertugas menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya dan membangkitkan sektor riil sambil memangkas anggaran rutin. Jadi siapapun tidak perlu lagi tersenyum lebar-lebar dan menggelar karpet merah sambil membungkuk jika ada VOC model baru yang menunggu di pintu gerbang.

Apalagi mengumumkan dengan bangga setiap detil rencana investasi kapitalis yang masuk tanpa sebelumnya memperhitungkan dengan jelas juntrungannya bagi peningkatan taraf hidup masyarakat lokal yang terinvasi secara ekonomi. Delegasi dagang luar negeri disambut dengan sorak sorai, sembari memicingkan mata kepada pelaku UKM yang baru saja belajar membuat proposal bisnis. Itulah mental kacung para petinggi negeri ini yang siapa tahu di dalam tubuhnya mengalir “DNA terjajah” dari nenek moyang yang terlalu lama diinjak Belanda. 

Apalah arti seribu tenaga kerja yang akan diserap jika tidak ada jaminan profit sharing yang bermartabat untuk kepentingan rakyat. Apalah arti pertumbuhan ekonomi yang diproyeksi meningkat tajam, tetapi yang dibutuhkan rakyat sebenarnya adalah pemerataan ekonomi. 

Sebagai catatan, Indonesia adalah negara terkaya dengan Gross Domestic Product (GDP) nomor 15 di dunia yang tergabung dalam G20 (kelompok negara yang menguasai 81 % kekayaan dunia), namun rata-rata penghasilan perorang (perkapita) 2011 justru tercampak jauh ke urutan 108 ($3,700), berada di antara negara miskin dan primitif di Afrika, Congo dan negara penuh konflik bersenjata, Irak. 

Padahal kekayaan domestik yang dikuasai mayoritas oleh sektor industri neolib di Indonesia melebihi 60 % dari gabungan kekayaan seluruh GDP anggota Asean. Inilah bukti dari gagalnya pemerataan ekonomi yang sangat menyesakkan dada.

Naifnya, pertumbuhan ekonomi (sebuah jargon jebakan) kemudian didewa-dewakan sebagai parameter keberhasilan pembangunan oleh pemerintah setempat. Sedangkan yang pasti pertumbuhan ekonomi hanyalah milik agen neolib yang terdiri dari segelintir borjuis dengan panji-panji laissez faire. Mereka kemudian berpesta pora bersama oknum birokrat yang mungkin sudah dibeli untuk menipu rakyat, atau memang karena tidak tahu apa-apa dari sananya. ~MNT

Comments