HIERODOULI - Potret Hitam Prostitusi Batam

Oleh Muhammad Natsir Tahar
Bunga melewati hari – hari tersulit. Langit Batam dalam pandangannya begitu pekat, bianglala menghitam dan horizon berwarna merah saga. Bunga adalah gadis hampir empat belas tahun yang berhenti sekolah. Ia baru saja ditarik dari kantong kemiskinan dengan muslihat terjahat untuk dikirim ke Pulau Batam. Ibunya menyangka Bunga sedang menjalankan misi suci: menjadi pekerja restoran berseragam celemek dan segera menegakkan gubuk mereka yang hampir tumbang.
Bunga baru saja ditindih oleh seekor germo bernafas kerbau. Benar – benar kerbau, ia tersengal sedang Bunga menggigil menahan perih. Gadis sekecil ini terenggut oleh kebiadaban metropolis. Ini adalah sebuah ritual lucah penanda bahwa Bunga akan segera menjadi komoditas dalam industri jasa paling purba di dunia: prostitusi.
Bunga tidak selamat, karena ia bukan Loise Lane yang punya Superman, makhluk Krypton adidaya. Ia juga bukan si beauty Belle yang selalu dilindungi oleh The Beast yang buruk rupa. Bunga hanya gadis kecil bau kencur dari kampung. Aroma gadis kampung yang terpancar dari tubuh Bunga menjadi aphrodiziac bagi sang germo sehingga ia semakin beringas seperti kerbau gila.
Tak sudi Bunga melihat hidung kerbau terpampang di wajahnya yang kuyup oleh air mata, ia membuang mukanya jauh – jauh, jauh sekali. Bunga sedu sedan, ia tak menyangka kiamat datang secepat itu. Ia merasakan, apa yang menimpa tubuh mungilnya lebih brutal dari penghancuran peradaban oleh pasukan perang Genghis Khan yang pernah ia baca pada buku sejarah dahulu. Bunga hancur, bayangan imaji tentang pangeran tampan yang akan menjemputnya dengan kereta kencana pada hari mengantar cincin pupus seperti ditelan kepulan asap putih.
Begitu ujung jari tengah tangan kanannya berhasil menyentuh telinga sebelah kiri, Bunga diantar ke sekolah. Bu guru bertanya apa cita – cita Bunga. Dengan keyakinan penuh Bunga menjawab, ia akan menjadi dokter hewan. Ibunya sampai sakit pinggang memikirkan dengan cara apa anak gadis sulungnya akan menjadi seperti cita – citanya.
Sedang bapaknya hampir tidak bisa diajak berpikir karena punggungnya sudah legam dan segera rapuh untuk memastikan Bunga dan adik – adiknya yang bersusun lima itu dapat makan nasi dua kali sehari. Bagi bapaknya, sekolah dan cita – cita adalah tentang keajaiban. Hanya Tuhan dan Malaikat Pengantar Rezeki lah yang tahu.
Keajaiban itu tidak datang. Setelah menamatkan SMP tidak ada yang bisa dilakukan kecuali segera mendapatkan pekerjaan. Hingga seseorang dari kampung sebelah menawari Bunga untuk bekerja di sebuah restoran di Pulau Batam. Ibu Bunga menyangka “Malaikat Pengantar Rezeki” yang mereka tunggu – tunggu benar – benar menepati janji. Dengan harapan dapat menjadi tulang punggung keluarga, calon dokter hewan yang gagal itu dilepas dengan deraian air mata.
Setahun telah berlalu sejak Bunga ditindih kerbau, tubuh belianya sudah digilir oleh seribu lelaki pemetik bunga dari berbagai bangsa di dunia. Bunga yang menyangka dirinya sudah kotor menemukan alasan pembenaran. Yang menjadi penanggung jawab jika kelak ia menjadi penghuni neraka adalah: “Malaikat Pengantar Rezeki”, seekor kerbau dungu dengan kawanan bodyguard-nya serta tentu saja seribu lelaki pemetik bunga tadi.
The show must go on. Demi mewujudkan cita – cita ibunya yang mendambakan sebuah rumah semi permanen, Bunga menjelma menjadi Hierodouli – sebutan untuk pelacur zaman Yunani kuna yang menyumbangkan uang dari tetesan peluh mereka untuk membangun Kuil Aphrodite, demi mendapatkan berkah anugerah para dewi.
Tak perlu sedu sedan lagi. Kini Bunga adalah binatang jalang dari kumpulan yang terbuang. Bunga hanya dihadapkan pada dua kemungkinan, menjadi Hierodouli atau mati muda dan tampak tak berguna di hadapan keluarga. Kini ibu Bunga sumringah. Kiriman tiap bulan dari puteri sulungnya lebih dari cukup untuk sekadar menegakkan rumah mereka yang sudah condong. Ia bahkan mengira Bunga sudah menjadi kepala juru masak restoran setingkat Farah Quinn. Jangan sampai berita sebenarnya tentang Bunga sampai ke kampung, mati ibunya nanti.
Bunga tidak hanya dilanda pertempuran batin yang dahsyat, namun juga tekanan sosial tak hingga dari semua sisi. Hanya keganjilan peradaban yang menempatkan wanita seperti Bunga pada posisi mulia. Pada zaman Babilonia, pelacur dikenal dengan julukan Kizrete yang disanjung-sanjung sebagai profesi terhormat. Kemudian masyarakat Athena purba menyebut mereka Hetaerae yang diperebutkan para bangsawan. Bangsa Jepang mendudukkan kaum pelacur pada strata sosial tinggi sebagai seniman penghibur dengan label Geisha.
Di luar keganjilan peradaban itu, pelacur dianggap makhluk hina dina. Pada zaman Dinasti Han, wanita penghibur dikelompokkan bersama penjahat, tahanan perang dan budak. India kuno memberi dua pilihan kepada wanita golongan rendah, menikah atau menjadi pelacur. Sedangkan Romawi menganggap pelacur sebagai penjahat dan penganggu anak – anak. Di zaman ini hampir semua orang menempatkan Bunga sebagai wanita malam dari lembah kegelapan.
Para agen surga ingin meludah muka Bunga dan tak sabar supaya dunia cepat kiamat biar Bunga segera diseret ke jurang neraka berdasarkan dalil – dalil yang mereka hapal. Kemana saja mereka ketika Bunga ditindih, ketika alat reproduksinya diruda paksa dan diempaskan ke dalam palung kenistaan?
Aktivis, sosialita, pejuang feminisme, aparat dan orang – orang yang merasa penting lainnya tidak sanggup melakukan apapun kecuali memastikan Bunga nyaman di lokalisasi atau tempat hiburan tertentu sehingga tidak menganggu peradaban yang lebih tampak mulia di atasnya.

Sedangkan Bunga tidak sendiri, ada ribuan bahkan puluhan ribu gadis belia seperti dirinya yang terjerat kejahatan human trafficking sejak industri hiburan di Batam mulai menggelinjang. Mereka dikandangkan, mereka divaksin rutin seperti hewan ternak atau dibunuh penyakit kelamin, mereka dipajang dalam akuarium dan disiksa oleh penderita sadomasokis.
Negara tidak hadir dalam setiap rentetan nestapa yang menimpa Bunga dan ribuan Bunga lainnya yang telah dijemput dengan muslihat licik dari kampung – kampung paceklik, dari halaman – halaman mereka yang tandus, dari sudut terpencil yang sepi lowongan kerja, dari tanah – tanah pertanian yang sudah terampas oleh mesin industri, dari kekayaan hutan yang telah diserahkan negara kepada kapitalis asing.
Konsep Negara Kesejahteraan (welfare state) meski telah diamanatkan dalam UUD Pasal 33 tidak pernah sanggup diselenggarakan oleh pemimpin negeri ini sejak zaman Orde Baru. Keniscayaan hasutan kaum neoliberalisme telah memeluk erat para petinggi puncak hingga deposit kekayaan alam yang melimpah ruah itu tergadai dan tak mampu lagi memberi jaminan agar setiap anak bangsa ini bisa sekolah dari keluarga – keluarga yang tercukupkan. Sampai kapanpun dan di manapun konsep neolib tidak akan pernah bisa memberi keadilan kepada kaum marjinal.
Selain itu, politik anggaran yang selalu gemuk pada sektor belanja rutin dan gairah korupsi yang sulit diredam, menyisakan terlalu sedikit kue pembangunan yang bisa dinikmati oleh jelata untuk mengangkat harkat mereka dari kemiskinan absolut.
Sebagai catatan, Indonesia adalah negara terkaya dengan Gross Domestic Product (GDP) nomor 15 di dunia yang tergabung dalam G20 (kelompok negara yang menguasai 81 % kekayaan dunia), namun rata-rata penghasilan perorang (perkapita) pernah tercampak jauh ke urutan 108 ($3,700), berada di antara negara miskin dan primitif di Afrika, Congo dan negara penuh konflik bersenjata, Irak.
Padahal kekayaan domestik yang dikuasai mayoritas oleh sektor industri neolib di Indonesia melebihi 60 % dari gabungan kekayaan seluruh GDP anggota Asean. Inilah bukti dari gagalnya pemerataan dan ketidakadilan ekonomi tak tanggung – tanggung, yang sangat menyesakkan dada.
****
Bisnis prostitusi selain sebagai industri paling tua di dunia, ia juga paling perkasa. Ketika sektor ekonomi lain mengalami turbulensi, transaksi syahwat di Batam tak pernah sepi peminat. Bahkan ia mampu menopang secara multiplier effect sektor bisnis lainnya seperti hotel, entertainment, transportasi, perdagangan dan seterusnya. Tanpa percikan api cinta dari para wanita penghibur, maka dunia malam di Batam atau ceruk metropolis manapun akan gulita.
Secara “tersistem” bunga – bunga yang baru terus mengalir dari kantong – kantong kemiskinan, menggantikan bunga yang sudah layu dan tercampakkan. Jika tidak ada upaya preventif untuk mencegah hal ini, maka sepanjang hari kita akan terus menyumpah Bunga yang melenggang di jalan – jalan, di ruang – ruang publik. Mulailah terus bertanya ke dalam batin, anak gadis mana yang pernah bercita – cita menjadi pelacur?
Pengecualian dari Bunga adalah gadis hedonis yang tak pernah tercukupkan. Tuntutan gaya hidup membuat mereka dengan sukarela terjun ke bisnis prostitusi. Atau wanita nymphomaniac yang sengaja berselancar dalam dunia syahwat berbayar. Sambil menyelam, minum air.
Kaum penjaja seks high class dari kalangan artis yang tertangkap tangan menjadi preseden buruk dan trendsetter bagi para wanita muda yang melirik peluang untuk memenuhi tuntutan hidup dengan bisnis ini. Tidak sedikit dari wanita belia di Batam melakukan swakelola bisnis prostitusi dengan memajang foto mereka di daring sosial yang langsung terhubung ke smartphone siapa saja, melalui teknologi people nearby.
Lalu bagaimana kita menyikapi fenomena dilematis ini? Adakah yang bisa dilakukan untuk menumbangkan bisnis gergasi tertua lagi perkasa ini? Sedangkan Daud sudahpun melawan Jalut. ~MNT

Comments