Ada Florence di Jantung Melayu



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Negeri ini tidak terlalu Timur, bahkan tidak Timur tidak Barat. Sehingga ia diletakkan di luar Trilogi Kopi dalam kolom ini. Ia pula berbeda dengan peradaban Gurun Sahara, tempat memancarnya Zamzam, sungai minyak, kopi pubawi, dan suluh ilmu bagi dunia Barat.

Kota ini berada di persimpangan netral tempat dunia – dunia paralel bertemu. Ia adalah Kolkata, kota malam yang menyedihkan di India sana. Negeri yang menautkan tiga simbol agama berdekat – dekat, Kristen, Islam, Hindu secara ajaib. Terpasang berjajar seakan sudah diatur oleh tangan – tangan tak kentara, Adam Smith.

Sepanjang antara 1840 dan 1920, Kolkata adalah salah satu ibukota intelektual hebat dunia, jantung perkembangan kreatif yang menyangkut seni, sastra, sains dan agama. Kota ini mempersembahkan kepada dunia seorang pemenang Nobel – orang Asia pertama - Academy Award, dunia sastra yang bukan Timur atau Barat, tapi sedikit mengagumkan dibandingkan keduanya. Lebih banyak buku yang diterbitkan di Kolkata dari penjuru dunia manapun di masa lalu, kecuali London.

Cahaya terang zaman keemasan di Kolkata telah dipancarkan dari sederet nama seperti Penulis Bankim Chattopadyay, Henry Derozio, kemudian mistikus Swami Vivekananda yang pada 1893 memperkenalkan tradisi spiritual ke Chicago, ahli fisika Jagadish Bose yang mencengangkan, dan yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Kesemuanya diwakili oleh nama besar Rabindranath Tagore, seorang penyair, penulis esai, pengubah drama dan pemenang Nobel.

Dari segi teritorial, India hampir serupa dengan negeri Khatulistiwa Indonesia. Sama – sama berada di persimpangan tiga peradaban dunia sekaligus pernah mendapat stigma keji sebagai negara pinggiran, Dunia Ketiga. Indonesia dan India sekarang lebih banyak ditautkan oleh ketertarikan absurd, pada satu jenis sinema, yang salah satu adegannya: pantang melihat pohon, langsung bernyanyi.

Semuanya sudah terjadi di Kolkata, dan itu adalah puncak kekaguman. Tugas kita – meminjam Rida K Liamsi – adalah bagaimana mengheret (drag) keelokan nan rupawan itu ke bumi Melayu.

Selintas kita pernah mendengar tentang Florence, sebuah kota Renaisans – kebangkitan kembali setelah Yunani kuno padam – di Italia. Kota tua ini adalah tempat benak – benak hebat berlainan namun saling tertarik. Bayangkan pertemuan menakjubkan yang berlangsung dalam satu ruangan di Florence pada 25 Januari 1504.

Lebih dari dua lusin seniman Renaisans terhebat – zaman apapun – hadir di sana. Leonardo Davinci berkesempatan hadir, begitu pula Michelangelo, pemahat patung raksasa David, disusul Botticelli, Roselli, Filippino Lippi, Piero di Casimo dan banyak lagi. Dalam ruangan tersebut pada hari itu, terdapat 29 versi kejeniusan yang bergelora.

Gabungan karya mereka bisa memenuhi museum, dan itu memang terjadi. Saat ini galeri Museum Uffizi nan lagendaris itu hanya terletak beberapa meter dari aula tempat pertemuan berlangsung. Tujuan pertemuan itu antara lain memilih lokasi yang pantas dan “berani”, untuk menampilkan semua mahakarya terbaru mereka.

Namun karakter seniman nan egois akan sulit dihindari. Pertemuan ini juga diselingi oleh persaingan dan permusuhan yang menggelegak bagai sepanci saus pasta. Sebagai catatan:  Leonardo Davinci dan Michelangelo musuh bebuyutan. Pendek cerita, mereka menemukan tujuan semula: sebuah bengkel kerja yang disebut Bottega.

Akankah gugus Bintan, utamanya kota tua Tanjungpinang dapat diserupakan dengan Florence. Mari kita patut – patut kepingan emas mozaik sejarah yang pernah terbentang. Bintan adalah titik persinggahan Sang Sapurba bersama Putra Mahkotanya Sang Nila Utama. Mereka dipercaya sebagai zuriat Alexander Agung dari Macedonia, murid Aristoteles, sekaligus pendiri imperium Melayu.

Pulau Penyengat pada abad ke-19 adalah pusat Kesultanan Riau Lingga, taman bermain para penulis Rusdiyah Club dan Raja Ali Haji adalah salah satu jeniusnya dengan mahakarya Gurindam XII. Ketika Eropa sedang merayakan kebangkitan kembali – renaisans – kota ini baru memulainya.

Tapi, jika aksioma Sang Sapurba sebagai keturunan Yunani adalah fakta di masa lalu, maka kemunculan jenius – jenius Penyengat adalah renaisans itu sendiri, dengan catatan Dinasti Sang Sapurba sudah terputus pada peristiwa Sultan Mahmood Mangkat Dijulang (1699 M). Apakah ini terkesan hiperbola? Itu soal persepsi individu.

Tanjungpinang sendiri adalah kota yang lahir pada abad pertengahan, telah pula banyak melahirkan seniman, penyair dan penulis. Bahwa apa yang disebut dengan Siklus 20 Tahunan – meminjam Ramon Damora - dalam setiap 20 tahun kota ini melahirkan secara serentak seniman – seniman baru.

Bayangkan Florence pada 25 Januari 1504, dua lusin seniman hebat berkumpul di satu tempat untuk memilih taman bermain mereka. Dan lihat fakta ini: genius - genius lintas generasi Siklus 20 Tahunan itu yang disimbolkan kepada Rida K Liamsi, Husnizar Hood dan Ramon Damora berkumpul di Gedung Gonggong pada malam 11 Maret 2017 demi mengukuhkan bengkel seni mereka sendiri, dengan keahlian yang berbagai - bagai.

Jika di Florence ada Bottega, maka di Tanjungpinang ada Jantung Melayu. Jika Florence merayakan renaisans-nya hanya sekali, maka Tanjungpinang sudah berkali – kali. Apakah ini semua serba kebetulan? Bahkan untuk menemukan setiap kebetulan, adalah kegeniusan itu sendiri. ~MNT


Comments