Budaya High Context


Ilustrasi Foto: https://static.eina.cat


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Di tengah dunia serat optik yang serba instans dan tergesa - gesa sekarang ini, cara – cara berkomunikasi konteks tinggi (high context communication) telah banyak dihilangkan dari kultur Indonesia. Manusia membutuhkan interaksi yang bersifat segera dan efektif, yang hanya didapat dalam pembicaraan konteks rendah (low context). Ekses negatifnya adalah, komunikasi yang terlalu lugas (direct verbal mode) bisa memicu konflik di sana sini.

Meski dinilai tidak efisien, komunikasi konteks tinggi tetap harus dipelihara untuk dikombinasikan dalam cara tutur sehari – hari guna menghindari kesan penyerangan verbal kepada lawan bicara. Komunikasi konteks tinggi memang implisit dan terdengar ambigu, bersifat tidak langsung dan pesan yang ingin disampaikan tersemat pada aspek non verbal. Ciri – cirinya adalah singkat, penuh arti dan puitis namun cenderung berputar – putar dan membiarkan audiens membuat penafsiran sendiri.

Komunikasi konteks tinggi sangat mungkin dipahami jika digunakan di dalam kelompok sendiri (in group), tidak untuk pihak luar (outsiders). Komunikasi konteks tinggi bertipikal sedikit berbicara, tersirat dan sastrawi bahkan mengandung joke.

Orang berbudaya konteks tinggi menekankan isyarat kontekstual, sehingga ekspresi wajah, tensi, gerakan, kecepatan interaksi dan lokasi interaksi lebih bermakna. Orang dalam budaya ini mengharapkan orang lain memahami suasana kebatinan yang tak terucapkan, isyarat halus dan isyarat lingkungan.

Budaya komunikasi konteks tinggi ditemukan dalam sistem sosial tertutup (closed system), seperti sistem sosial masyarakat Indonesia.   Sulitnya untuk mengatakan tidak, bagi orang Indonesia – dulu - bukan sekadar basa-basi, situasi demikian benar-benar ada apa adanya di lingkungan kita sehari-hari, yang oleh Edward T. Hall dikatakan sebagai places cultures along a continuum (bersemi ada dalam budayanya). Orang Indonesia lebih memilih diam daripada mengucapkan kata yang tidak secara langsung. Tapi itu dulu.

Bangsa Skandinavia dan Jerman tergolong dalam budaya bertipikal konteks rendah, dan Amerika, terutama yang berkulit putih – Anglo Saxon - mempunyai tipikal konteks yang lebih tinggi dibanding Skandinavia dan Jerman, meskipun masih tergolong dalam budaya konteks rendah. Sedangkan bangsa Asia dan suku Indian Amerika tergolong dalam budaya bertipikal konteks tinggi.

Menurut Hall, dalam situasi tertentu dapat saja seseorang berkomunikasi dengan gaya komunikasi konteks tinggi dan di situasi lainnya bergaya komunikasi konteks rendah. Contohnya adalah orang Jepang yang dalam berbincang dengan keluarga cenderung berkonteks tinggi, sedangkan jika berdiskusi dengan orang luar atau orang asing, mereka lebih memilih berkonteks rendah.

Selain itu, dalam suatu budaya bertipikal konteks tertentu bisa saja terdapat subkultur yang relatif berkonteks tinggi atau relatif berkonteks rendah. Misalnya, di Indonesia yang berbudaya relatif berkonteks tinggi, meski sebenarnya budaya konteks tinggi sudah sangat jarang ditemukan.

Pada rezim Soeharto, media massa cenderung berkonteks tinggi, memakai bahasa eufemisme yang halus untuk tetap mempertahan fungsi sosial kontrol. Namun media massa di era reformasi justru menjadi salah satu penyebab yang membawa bangsa Indonesia dari budaya konteks tinggi menuju konteks rendah yang eksplisit dan komunikatif.

Media massa berpretensi mengarahkan orang untuk menganut waktu monokronik yang berjalan secara linear. Waktu linear dianggap bergerak dari masa lalu ke masa depan, seperti garis lurus, dan tidak pernah kembali. Waktu dianggap objektif, dapat dihitung, dihemat, dihabiskan, dan dibuang.

Di sosial media misalnya, respon dan kritik terhadap suatu fenomena bisa berlangsung secara real time dan timpa menimpa. Dan sekelompok orang yang terlibat di dalamnya cenderung tidak ingin membuang waktu untuk berbelok – belok, sindir menyindir, atau sibuk memilih frasa halus dan puitis, tapi langsung menohok kepada inti. Biasanya saklak dan penuh dengan ujaran kebencian. Hal ini sangat kontraproduktif untuk membincangkan topik yang sensitif.

Sehingga menyebabkan konflik melebar dan setiap topik yang dimunculkan selalu menjadi titik panas. Sementara waktu yang sedianya dapat dihemat dalam komunikasi konteks rendah, bahkan menjadi sangat boros, bisa berlangsung berjam – jam, sehari penuh bahkan berhari – hari. Kehilangan budaya konteks tinggi berarti kehilangan budaya leluhur. Waktu linier pada setiap zaman selalu menyisakan banyak paradoks. ~MNT





  

Comments