Depolitisasi Gubernur



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Fobia dan trauma luar biasa akibat tindihan rezim Orde Baru membuat daerah bergelora. Elit lokal tak ingin lagi menjadi manusia robotik yang kekurangan ruang ekspresi, di bawah kendali istana dan limpahan kekayaan alamnya dihisap aristokrat. Dan tangan – tangan sentralistik yang dikendalikan dari istana dianggap sebagai musuh reformasi.    

Riau sebagai bumi Pertro Dollar adalah contoh nyata. Kongres Rakyat Riau II yang berlangsung di Pekanbaru, 29 Januari sampai 1 Februari 2000 seperti menyalakan api dalam sekam: disintegrasi. Dari tiga opsi yang ditawarkan lewat voting kepada tokoh masyarakat seluruh Riau, 270 suara memilih mardeka, 146 memilih negara federal, 199 otonomi luas dan delapan suara – delegasi Kepulauan Riau yang ingin mendirikan provinsi sendiri – memilih abstain, walk out dari ruang sidang.

Singkat kata, Otonomi Daerah kemudian menjadi jalan tengah. Ia digagas untuk meredupkan bara disintegrasi yang memuncaki isu – isu krusial di ambang reformasi hampir dua dasawarsa lalu. Silakan tiap daerah mengurus rumah tangga mereka sendiri, tapi hal – hal yang menyangkut kepentingan nasional mutlak menjadi urusan pusat. Dengan catatan, sentralisasi dan desentralisasi keduanya kemudian menampilkan potret buram.

Jakarta memandang perlu untuk memata - matai dan membina “raja-raja kecil” di daerah ini agar tak telanjak. Tugas sebagai mata – mata itu diembankan kepada gubernur. Perhatikan semua gubenur hari ini, hampir semua telah “mengkhianati”tugas pokok mereka sebagai orang pusat.

Mari kita bernostalgia sejenak. Fokus dan lokus Otonomi Daerah – Pasal 11 UU Nomor 5 / 1974 - ada di tingkat Kabupaten dan Kota. Walikota dan bupati menyandang derajat desentralisasi yang sudah ditakar sesuai konsep NKRI dan setingkat di bawah federal. Sementara gubernur adalah wakil Pemerintah Pusat yang ditempatkan di daerah. Kepada mereka diberikan fungsi dekonsentrasi. Idealnya gubernur langsung ditunjuk dari istana, untuk tidak mengikuti proses seleksi di tingkat lokal yang selalu riuh.

Para calon gubernur yang pakemnya adalah orang pusat, harus melewati hari – hari berat untuk menjemput suara rakyat. Akibatnya mereka menjadi “genit” dan menyusun janji – janji di atas batas kewenangan. Sebagai pengingat, secara normatif, gubernur tak punya wilayah teritorial, bukan jabatan politis dan hanya mengurus persoalan administrasi. 

Posisi asali seorang gubernur adalah sebagai agen antara (intermediary) antara pusat dengan daerah yang berfungsi menjadi pembina dan pengawas. Berbeda dengan DKI Jakarta dan DI Yogyakarta yang mendapat perlakuan khusus.

Saya sudah lama ingin mengatakan ini. Apakah kita telah lupa tata negara atau sebenarnya tidak mahfum sama sekali sehingga menyeret gubernur terlalu jauh ke dalam pusaran politik lokal. Padahal jika pusat ingin tegas, gubernur yang gagal menjalankan fungsinya sesuai Pasal 91 UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, sebenarnya telah sekaligus mendagradasi dirinya di mata pusat. Hukumannya: jabatan mereka dilepas dan langsung diambil alih oleh Menteri Dalam Negeri.

Gubernur – gubernur lupa diri sehingga bergerak secara artifisial guna memancing reaksi publik boleh saja dikategorikan sebagai gubernur gagal, karena mereka telah lari dari fokus utama sebagai wakil pusat, bukan sebagai pemain politik di tingkat lokal.

Degradasi peran gubernur mencapai klimaks menjelang dilaksanakannya Pilgub di mana mereka tampil sebagai petahana. Selain itu sampai sejauh ini belum ditemukan alasan yang tepat untuk membesar – besarkan figur seorang calon wakil gubernur. Apalagi sampai hiruk pikuk sebegini, sebab itu tidak esensial dan inkonstutisional (tidak tertera dalam pasal 8 ayat 4, Bab IV UUD 1945).

UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur posisi gubernur sebagai wakil dari Pemerintah Pusat di wilayah provinsi. Dibunyikan secara eksplisit dalam Bab VII tentang Penyelenggaraan Pemerintah Daerah di Bab 7 pasal 91 hingga pasal 93.

Posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat seperti dinyatakan oleh regulasi tidak boleh dianggap remeh. Pada saat ini, memang sangat diperlukan adanya revitalisasi terhadap dekonsentrasi dikaitkan regulasi UU Pemerintahan Daerah yang baru. 

Guna merevitalisasi dekonsentrasi, pada saat ini sangat diperlukan adanya suatu regulasi yang menyebutkan secara eksplisit dalam pasalnya tentang dekonsentrasi mutlak dalam arti tidak dibiaskan dengan desentralisasi.

Meskipun dekonsentrasi merupakan kewenangan yang melekat (atributif) pada gubernur, akan tetapi penyebutan secara eksplisit dalam regulasi sangat diperlukan agar dapat memberikan landasan konstitusional terhadap asas dekonsentrasi. Dan tidak kalah pentingnya menghindari adanya multitafsir, ketidakpastian hukum serta adanya banyak penyimpangan.

Menimbang eksistensinya, ada baiknya gubernur langsung ditunjuk oleh pusat agar tugas – tugas utama mereka di antaranya mengamankan kepentingan nasional di level lokal serta upaya memastikan agar tidak terjadi gap yang dalam antar daerah akan lebih optimal. Depolitisasi semacam ini membuat gubernur dapat lebih berkonsentrasi menjalankan fungsinya dan terhindar dari gangguan kebisingan politik lokal.

Dengan demikian parlemen di tingkat provinsi dapat menajamkan fungsinya secara maksimal, karena sudah terlepas dari beban politik yang diturunkan oleh dinamika dukung mendukung waktu pilkada. Gubernur tersebut tentunya sudah terukur dan melalui skala fit and profer test.

Politik yang esensial mestinya melewati jalan sunyi dan miskin pujian. Politik bukanlah kerja – kerja selebratikal yang haus tepuk tangan. Politik adalah kerja pakai hati untuk memastikan rakyat tetap sejahtera.

Pemerintahan yang terbaik adalah pemerintahan yang membosankan, bekerja dengan teratur dan bertahap. Pemerintahan yang baik adalah perbaikan berkelanjutan, bukan perubahan yang mendadak dan spektakuler - (Brooks, 2013). Sepertinya kerja – kerja politik justru lebih mungkin dilakukan oleh orang yang tidak tersandera oleh kepentingan politik apapun, khususnya di tingkat lokal. ~MNT




Comments