Kuda Barang dan Bajingan Tengik




Oleh Muhammad Natsir Tahar

Tulisan ini dimulai dari nada satire penuh lagak seorang penyair komedi Lysippus namanya: Jika belum melihat Athena, kau seorang yang bodoh. Jika sudah melihatnya dan tidak terpesona, kau seorang bajingan. Dan jika kau memilih untuk pergi, kau tidak lain hanyalah kuda barang.

Kenapa terus menerus Yunani, karena bangsa ini telah melahirkan para filsuf yang kalimat filosofisnya paling banyak dikutip oleh para pemikir sepanjang 2.500 tahun. Sengaja atau tidak. Dan di Yunani satu pohon anggur kebijakan tumbuh tanpa tandingan: Athena. Kota ini telah banyak melahirkan ‘dewa’ pemikir di mana pun yang pernah dilihat dunia sebelum maupun sesudahnya. Hanya Florence di zaman Renaisans yang mendekatinya.

Maka maafkanlah Lysippus atas kesombongan, atau balaslah dia dengan mengungkap kenyataan pahit ini, darah kental Yunani nan jenius itu telah lama mengencer, kawan!. Seorang antroplog Australia membocorkan bahwa Yunani modern bukanlah anak cucu Socrates dan Plato, melainkan keturunan bangsa Slavia dan Albania yang bermigrasi ke Yunani berabad setelahnya.

Sepertinya kabar perih yang membungkam Lysippus ini ada benarnya. Dibanding Sparta yang garang dan memagari kotanya dengan tembok tinggi, Athena adalah polis – kota - di Yunani yang paling terpapar. Setelah trio Socrates, Plato, Aristoteles selesai, Athena adalah embrio globalisasi sekaligus pengemis intelektual yang hebat. Mereka meminjam alfabet dari Funisia, obat – obatan dan seni pahat dari bangsa Mesir, matematika dari Babilonia dan literatur dari Sumeria.

Yunani kuno bukanlah pencipta alat – alat, mereka adalah bangsa pemikir dengan sesi duduk paling lama dan hampir tidak menutup hari tanpa bersyair. Dahulunya orang kuno ini berbicara dengan sastra monolog, mereka bercakap dengan diri sendiri atau kepada Tuhan. Sampai datang pria kumal dengan wajah tanpa ekspresi ini. Socrates mengajak manusia bercakap – cakap, berdialog dan karena inilah ia dihukum meminum racun.

Para penyair dan penulis kreatif ketika itu lebih banyak berbicara kepada Dewi Seni mereka bernama Muse. Ia adalah “penentu” kapan penyair mulai menulis dan apa yang akan ditulis. Homer adalah penulis pertama dunia dan sekaligus sebagai penulis pertama yang mengalami kebuntuan ide. Dia memulai Odyssey dan memohon ampun kepada dewa seni, jika ada salah – salah kata. Dan sebagaimana penulis lainnya, Homer mendambakan legitimasi. Pantang karyanya digugat.

Penyair akan mempertahankan karya – karyanya, membuat legitimasi dan membentenginya seperti Spartan. Sekuat tenaga mereka akan membelanya seperti  Lysippus membela Athena: Jika belum membaca karya saya, kau seorang yang bodoh. Jika sudah membacanya dan tidak terpesona, kau seorang bajingan. Dan jika kau memilih untuk pergi, kau tidak lain hanyalah kuda barang.

Sekarang ini kondisinya sudah sangat membaik, kotak dialog tersedia di mana – mana, di masa lalu Socrates harus membayarnya dengan menenggak racun. Dan tetiba saja penyair muda ini – jika ia kemudian menua dan mempertahankan wajah penuh bulu, maka ia sedang meniru Socrates, sedangkan tubuh tambun telah pun ia dapatkan – memanfaatkan kotak dialog ini.

Dalam laman bermain sastra Jembia, edisi 5 Februari 2017, Fatih Muftih menyigih buku Gurindam Mutiara Hidup (GMH) milik Rendra Setyadiharja (2010). Rendra adalah seorang pensyarah klimis dan penyair dalam kemasan kekinian tapi dekat ke lorong masa lalu. Ia hampir serupa pria Yunani modern dalam kumpulan pria – pria paling bangkrut di Eropa untuk mengingatkan, Yunani telah dan masih tertimpa krisis moneter.

Fatih telah membuka kotak Pandora dan menuangkannya ke buku GMH sehingga yang tampak adalah keburukan semata, sebagai omong kosong. Fatih agak melanggar adat istiadat resensi, adanya plus dan minus. Ada kritik konstruktif tapi selipkan apresiasi. Pisau bedah Fatih cukup tajam, sehingga semua syaraf – syaraf Rendra lumpuh seketika. Fatih cerdas, tapi darah mudanya penuh gelegak. Seketika pula Group WhatsApp “Negeri Katakata” tempat berhimpunnya sejumlah penyair itu gempar.

Sedangkan Rendra bukan Homer yang menghiba dan memohon Dewi Muse untuk membela syairnya yang telah dibedah dengan kejam oleh Fatih. Meminjam Lysippus, Fatih di mata Rendra tak lain hanyalah bajingan yang numpang lewat. Bukan bajingan konsevatif, tapi bajingan tengik: sudahlah tidak terpesona, mengkritik pula.

Maka pledoi Rendra, tepatnya pembalasan yang dimuat di edisi berikutnya tak kalah sengit, bukan hanya membasuh coreng arang yang dibuat Fatih di mukanya, tapi Rendra dengan cerdas membuat penegasan bahwa GMH adalah keberanian nyata sebuah karya. Pledoinya disusun oleh frasa – frasa pedas yang ia sangka pantas dihujamkan kepada seorang bajingan tengik.

Fenomena ini menarik disimak di tengah sunyi sepinya dialog, dan debat literasi di tanah air khususnya Kepulauan Riau. Fatih dan Rendra telah menghangatkan tungku perapian bagi budaya literasi berbalas kritik, yang jarang dibawa ke permukaan, meski minus kasih sayang. Paling tidak ini akan memancing sebarisan kuda barang untuk menegakkan telinga: ada apa dengan sastra rupanya?

Sebagai penutup mari simak tutur mendidik dari Kepala Suku Negeri Katakata ini: Aku dulu, 40 tahun lalu berdebat dengan (alm) Rofii Syafei dan Eddy Mawuntu di Majalah Sempena. Pagi ngopi bersama, besok berantam di majalah, ada juga yang jadi batu api. Kami tumbuh bersama, besar bersama dan mengangap debat via literasi membuat kami matang (Rida K Liamsi). Ayo giliran siapa berikutnya? ~MNT


Comments