Mafia Barkeley





Oleh Muhammad Natsir Tahar

Apa yang terjadi di Indonesia sejak Tugu Monas berdiri adalah riwayat membayar utang – utang lama dan melakukan penumpukan utang baru. Silakan terperanjat jika utang kita sudah 4.000 triliun dan terus merangkak naik tanpa ada yang sanggup menghentikan. Negara ini dibangun dengan cara yang mengerikan: kekayaan alam dihisap habis, tapi kita membentangkan jalan dan jembatan dengan utang. Utang lama dibayar dengan utang baru atau menjual harta benda negara. Harta benda yang juga didapat dari utang.

David Ransom, seorang penulis muda Amerika Serikat tidak sedang mengigau ketika menyebut di Indonesia sudah tertanam sebuah organisasi rahasia bernama Mafia Barkeley. Mereka nyata meski tidak berkelindan dengan La Cosa Nostra dari Sisilia yang bersenjata api. 

Para mafioso Barkeley itu adalah pria – pria berdasi lulusan University of California, Barkeley yang setia mendampingi Soeharto muda untuk menyembuhkan penyakit ekonomi warisan Soekarno. Ransom melalui majalah Ramparts (edisi 4 tahun 1970)menuduh mereka terhubung ke CIA dengan cara pikir yang paralel dengan target AS untuk menjadikan Indonesia sebagai boneka.

Inflasi empat digit yang membubung dan tumpukan utang Soekarno untuk membangun tugu serta menutup defisit segera dibereskan. Soeharto muda begitu terkesima dengan para mafioso (baca: pria terhormat) sehingga kepada mereka dibentangkan karpet merah menuju istana, menjadi menteri di Kabinet Sang Jenderal Besar.

Sebagian besar dari menteri yang dituduh sebagai Mafia Berkeley adalah doktor atau master lulusan Berkeley pada tahun 1960-an atas bantuan Ford Foundation. Para menteri tersebut sekembalinya dari ASsegera menurunkan ilmunya di Universitas Indonesia (UI). 

Pemimpin tidak resmi dari kelompok ini ialah Widjojo Nitisastro. Para anggotanya antara lain Emil Salim, Sumitro Djojohadikusumo, Ali Wardhana, dan J.B. Soemarlin. Dorodjatun Koentjoro Jakti yang lulus belakangan dari Berkeley kadang-kadang juga dimasukkan sebagai anggota kelompok ini.

Generasi penerus dari Mafia Berkeley yang masuk ke dalam kabinet rezim reformasi di antaranya Boediono, Sri Mulyani Purnomo Yusgiantoro, Marie Pangestu, Rini Suwandi. Mereka tidak mesti lulusan Barkeley, bisa juga berasal dari lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), saat dipimpin oleh Sumitro Djojohadikusumo, seorang ekonom yang pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri serta Menteri Keuangan.

Di masa Orde Baru kelompok ini menghadapi perlawanan dari para Jenderal seperti Ali Murtopo, Ibnu Sutowo dan Ali Sadikin yang mengharapkan pendekatan ekonomi lebih nasionalistik. Sementara di masa reformasi sejumlah ekonom anti neolib melakukan pengecaman di antaranya Ichsanuddin Noorsy, Kwik Kian Gie, Sri Edi Swasono,  Rizal Ramli, Sri Bintang Pamungkas.

Para Mafia Barkeley telah menyuntikkan pemahaman dan menyusun sketsa ekonometrik sehingga muncul mitos bahwa Indonesia tidak akan selamat tanpa adanya pendekatan liberal seperti deregulasi, privatisasi dan penghapusan subsidi sebagaimana yang termaktub dalam Konsensus Washington.

Sebagai agen hegemoni global AS, mereka sudah menargetkan diri untuk bercokol di sektor – sektor vital di bidang ekonomi dan sumber daya. Selalu patuh pada perintah IMF dan Bank Dunia serta akan terus menerus memberikan kemudahan kepada arus modal asing untuk menguras Indonesia. Proses kaderisasi Mafia Barkeley dilakukan secara sistematis dengan bantuan asing. Silakan di-googling bagaimana riawayat cara kerja mereka untuk memastikan Indonesia tetap membayar utang – utangnya dengan terus menciptakan utang baru.

Pada ujung rezim Soekarno, ekonomi Indonesia memang kusut masai, tapi sumber daya alam relatif utuh. Bandingkan sekarang, ekonomi terancam, hutang makin membubung dan sumber daya alam sudah terkuras habis. Kita hampir tidak punya agenda terstruktur dan simultan untuk menghentikan hegemoni yang mereka ciptakan.

Jangankan sekadar membangun opini publik untuk penyadaran, kita yang labil dan plastis, harus terkecoh kagum dengan “pengorbanan” Sri Mulyani yang meninggalkan gaji miliaran setahun di Bank Dunia demi memenuhi “panggilan nurani” sebagai Menteri Keuangan lagi.

****

John Perkins telah membuat pengakuan dosa. Dalam bukunya Confession of Economic Hitman ia menyatakan bahwa korporasi Amerika melalui Economic Hitman yang di-back up CIA telah lama menjadikan negara-negara dunia ketiga yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) sebagai  target “perampokan” dan “susu perahan utang”.

Di era 1960-an, para Economic Hitman mendatangi negara seperti Equator, Indonesia, Panama, Uruguay, Iran, Argentina, Brazil, Chili, dan negara-negara yang kaya dengan SDA lainnya.
Seperti pengakuan Perkins, tugas ia yang pertama kali adalah menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk korporasi Amerika. John Perkins bekerja di MAIN, sebuah perusahaan konsultan yang populer didekade 1960 hingga 1980-an bagi korporasi Amerika seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan lainnya.

“Pekerjaan yang paling utama  kami sebagai Economic Hitmanadalah: membangun imperium global (global empire). Grup elit kami terrdiri dari pria wanita yang memanfaatkan organisasi keuangan internasional untuk menjadikan negara-negara lain seperti Indonesia sebagai negeri jajahan atau pelayan korpotokrasi dari perusahaan-perusahaan kami, pemerintah kami, dan bank-bank kami,” paparnya.

Seperti para mafia, Economic Hitman berpura-pura menjadi pihak baik yang bermurah hati dengan memfasilitasi pinjaman melalui bank rekanan MAIN untuk membangun infrastruktur, pembangkit listrik, jalan raya, pelabuhan, bandara, atau kawasan industri.

Namun, semua pinjaman proyek tersebut memiliki syarat bahwa perusahaan rekayasa dan konstruksi untuk mengerjakan semua proyek tersebut haruslah berasal dari AS. Intinya, sebagian besar uang pinjaman tersebut tidak pernah keluar dari AS, sebuah mekanisme sederhana dimana uang tersebut hanya berpindah dari kantor kas Bank di Washington ke kantor bidang rekayasa di New York, Houston atau San Fransico.

****

Di mata kapitalis dunia, Indonesia sangat seksi juga genit. Selain sumber daya alam yang masih bisa dikeruk, Indonesia dengan populasi konsumtif terbesar kelima dunia, sekaligus pasar besar atas produk apapun. Dua gigantis AS dan China masih sangat berhasrat terhadap bumi Indonesia. Setelah AS menghisap sumur minyak dan meruntuhkan gunung emas di Papua, kini China pula melirik Ladang Gas Tangguh di Teluk Bentini, Papua Barat, di samping merancang sejumlah proyek infrastruktur dengan memobilisasi buruh kasar dari negara mereka.

Episode Indonesia sulit diprediksi secara optimistik. Kita hanya bisa menyelipkan doa – doa pada setiap sembahyang agar komponen bangsa ini tetap utuh. Sanggupkah pemimpin bangsa ini lepas dan cengkeraman konspirasi global dengan cara membanggakan? Sebagai sumber inspirasi mari kita baca kembali kisah sukses Argentina sehingga lepas dari jeratan utang.

Dapat dibayangkan bagaimana kondisi perekonomian Argentina pasca dua tahun krisis. Inflasi yang tinggi, modal yang lari, utang yang besar, pengangguran tinggi, stagnansi pertumbuhan ekonomi (bahkan stagflasi) serta ketergantungan asing yang masih tinggi. Semua kehancuran ekonomi rupanya dapat bangkit dan bahkan tumbuh berjalan dengan cepat pasca terpilihnya Néstor Kirchner. Kirchner merupakan sosok anti program IMF karena menganggap lembaga ini bersama lembaga keuangan lain telah menyebabkan kehancuran negara-negara kaya di Amerika Latin.

Dengan melaksanakan kebijakan-kebijakan revolusioner dalam hukum, perpajakan dan ekonomi kerakyatan, Sang Presiden mampu membawa cepat kebangkitan ekonomi Argentina. Dari stagflasi di tahun 2001-2002, Argentina dibawah Kirchner rupanya mampu mengubah situasi sosio-ekonomik dan ekonomi terus tumbuh dengan angka rata-rata mencapai 9% selama kurun 2003-2007.

Keberanian pemimpin Argentina dari segala bentuk ancaman ternyata berhasil membawa keadilan bagi rakyatnya. Utang yang selama ini dirancang untuk membangkrutkan perekonomian negara seperti John Perkins akui ternyata dapat dimenangkan oleh rakyat Argentina. Baik utang korup dan manipulatif dari Utang Luar Negeri maupun utang dalam negeri yang diciptakan dari utang swasta jelas adalah utang najis (odious debt).

Rakyat tidak merasakan utang tersebut, justru segelintir orang dan korporasi yang merasakan nikmat utang tersebut. Mengapa rakyat harus membayarnya? Mengapa para pemimpin kita justru dengan sangat setia membayar utang tersebut dengan cara meningkatkan utang luar negeri, mengurangi subsidi, serta terus menambah utang dalam negeri?  Ratusan bahkan triliuan rupiah uang rakyat telah digunakan untuk membayar jebakan utang najis (odious debt trap).

Kesempatan besar bangsa Indonesia untuk menghapus sebagian utang najisnya pada tahun 2005 lalu tidak dimanfaatkan oleh pemimpin negeri ini. Dalam sidang CGI 19-20 Januari 2005, Soesilo Bambang Yudhoyono menolak tawaran  ekstra  dari Paris Club untuk memoratorium dan pemotongan utang Indonesia, yang mana kurang lebih 30% utang luar negeri Indonesia adalah utang najis. Alasannya hanya satu, gengsi disebut miskin. Karena demi penghapusan utang itu, Bank Dunia akan mengategorikan Indonesia sebagai severely indebted low income country (SILIC).~MNT


Comments