Moral Hazard



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Menyambung tentang Kultus Individu, dalam dimensi kekinian, kultus individu dapat ditandai pada gejala ketika sekelompok orang menggunakan media massa, propaganda, atau metode lain untuk menciptakan figur ideal bagai pahlawan. Mereka dipromosikan dengan memakai frasa - frasa hiperbola yang sering kali tidak mewakili substansi. Akhirnya tokoh – tokoh yang diorbitkan tersebut muncul sebagai pemimpin tanpa melewati proses seleksi ilmiah.

Metode ini akan sangat efektif apabila didemonstrasikan kepada khalayak yang tak punya kemandirian berpikir analitis lalu terhipnotis kepada sesosok figur yang mereka percayai setelah melihat tontonan, bacaan atau bualan. Lalu mereka menumpukan diri sebagai pembela paling depan atas koreksi apapun yang datang dari pihak lawan. 

Maka, siapa yang menegur, mengritik atau meluruskan sang kultus akan dianggap sebagai penghujat kebenaran dan, karena itu, harus dilawan. Jika perlu sampai berkalang tanah. Inilah bahaya dari sebuah kultus individu.

Penyakit kultus individu juga muncul karena manusia merebahkan dirinya menjadi penghamba. Yang apabila mereka sudah jatuh hati kepada satu jenis manusia, mati pun olehnya tak mengapa. Sifat rendah diri – ineriority complex, malas berpikir, mudah tercengang – terkagum, tidak bersyukur sudah dijadikan manusia “juara satu” dan seterusnya adalah hal – hal yang menyuburkan kultus individu. Maka nabi – nabi palsu, sekte – sekte sesat, bedebah pengganda uang, selebriti penjahat kelamin sampai pemimpin bermulut horor akan ada saja pemujanya. 

****

Menjadi bencana kepada sebuah negeri bila pemimpin dinaikkan atas popularitas kultus individu bukan pada kecakapannya dalam mengendalikan pemerintahan. Pemimpin yang menang atas pencitraan diri yang efektif namun tidak cakap secara multidimensional akan mudah dikendalikan oleh banyak kepentingan, salah satunya oleh penganut moral hazard.

Moral hazard atau perilaku jahat dalam ekonomi adalah tindakan yang menimbulkan kemudharatan baik untuk diri sendiri terutama orang lain. Untuk menjustifikasi apakah suatu tindakan ekonomi merupakan moral hazard atau bukan, perlu dipelajari melalui prinsip keadilan, tidak koruptif dan menzalimi lingkungan serta menabrak tata nilai lainnya secara universal.

Dalam menjalankan roda ekonominya, secara normatif Indonesia menggunakan prinsip – prinsip ekonomi campuran - Keynesianisme. Namun dalam praktiknya lebih banyak berpihak ke Laissez-faire, pada kekuatan modal kapitalisme.

Cita – cita dasar Keynesian agar adanya intervensi pemerintah dalam mengatasi kelesuan ekonomi justru hanya dimanfaatkan untuk memberi jalan lapang kepada pasar bebas dengan segala insentif dan regulasi. Sementara rakyat terus ditekan dengan pencabutan subsidi, menaikkan tarif dan menciptakan pajak – pajak baru.

Di lain sisi, sepanjang tahun isu – isu upah minimum selalu memanas lantaran pemerintah tidak pernah sanggup mengendalikan harga kebutuhan pokok masyarakat dari praktik moral hazard yang sudah tersistem di pasar – pasar. Moral hazarddalam bidang pajak pula terjadi karena adanya sistem menghitung sendiri pajak terhutang (self assessment system).

Model seperti ini menjadi penyebab kejahatan pajak sulit dihilangkan baik oleh sektor korporasi maupun oknum pemeriksa pajak. Akibatnya terjadi kerugian sangat besar dan pendapatan negara tidak pernah maksimal seumur Indonesia, laluuntuk menutupi ini pemerintah secara rutin melakukan ekstensifikasi dan intesifikasi pajak hingga menyasar rakyat susah. 

Intervensi pemerintah di bidang moneter justru sudah membangkrutkan Indonesia dengan ribuan triliun cadangan devisa yang dibawa lari oleh penjahat BLBI dan pada kasus bail out Bank Century. Regulasi – regulasi di bidang pertambangan dan konsesi hutan telah mengeringkan sumur – sumur kekayaan negeri ini dan mewariskan kerusakan lingkungan yang parah. Sementara politik anggaran – meski subsidi sudah dicabut – hanya mampu untuk mencicil utang dan melayani tetek bengek aparatus. 

Masih banyak yang ingin disampaikan tapi ruang ini sangat terbatas. Marilah sama – sama kita berkontemplasi, sampai kapan Indonesia akan begini? Tidak adakah cara bijak dalam menemukan pemimpin ideal yang mampu mengurai benang kusut tersebut? Sampai kapan ritual memilih pemimpin harus terus menerus melalui pendekatan kultus individu dan pragmatisme politik absurd? ~MNT


Comments