Penjara Suara Kakaktua




Oleh Muhammad Natsir Tahar

Jamak dari kita mengambil alih pekerjaan burung Kakaktua untuk meniru suara manusia. Karena menganalisis, mencari tahu dalam sebangun dialektika dengan tangga pertama tesis, antitesis lalu sintesis itu melelahkan. Lebih aman ambil, tiru, modifikasi atau langsung seperti Kakaktua, tiru habis. Kena atau tidak pada substansi itu soal nanti, bukan urusan burung.

Burung Kakaktua tidak perlu pemahaman kosa kata apalagi esensi. Mereka hanya mengandalkan syrinx, sebuah rongga ajaib dengan dinding fleksibel seperti membran drum, berada di antara paru-paru dan pipa angin. Kemudian dengan susah payah potongan – potongan kata yang didiktekan kepada mereka berulang - ulang, dikicaukankembali hingga mirip suara manusia.

Kakaktua tidak dipeluk seperti kucing Persia. Mereka terjebak dalam sangkar atau dirantai, dan suara – suara itu mewujudkan metafora sedih untuk penjara jiwa raga.Hanya Kakaktua terpenjara yang meniru suara manusia, yang bebas lepas di hutan, menyenandungkan irama alam. Irama mereka sendiri.

****

Paradoks. Semesta reformasi menyediakan ruang yang lega kepada siapa saja untuk bersuara. Sayangnya yang terdengar hanyalah debat publik tidak bermutu, dangkal dan parsial. Suara – suara yang ditiupkan dari corong konspirasi bernafas propaganda disuarakan kembali secara seragam oleh para Kakaktua tanpa proses dialektik.

Demokrasi laksana jubah kebesaran yang dari jauh terlihat memesona, padahal jubah itu sedang membungkus tubuh kerdil lagi keropos yang ditopang oleh tongkat kenaifan.

Kita telah bebas bersuara, sayangnya kita terpenjara seperti Kakaktua. Kita meniru suara – suara orang, dari media sosial, televisi, radio, koran dan kedai kopi. Terlalu sulit bagi kita untuk menemukan apalagi melontarkan suara – suara sendiri yang orisinil. Sebagaimana kita juga terlalu sulit untuk tidak terperanjat kepada hal – hal baru, yang seksi, yang luar biasa, yang sensasional, yang fenomenal.

Orang – orang partai meniru suara pemimpin puncaknya. Jika hari ini kiblat politiknya menghadap ke timur, maka wajah para aktivis dan simpatisan militan partai itu akan berpaling ke timur. Jika lusa ke tenggara, maka tiada ampun, ke tenggaralah mereka. 

Jika ketua partai menggendong satu figur tertentu dalam sebuah kontestasi politik, maka seluruh kader hingga ke tingkat paling kampung akan menguatkan opini – opini untuk membuat pembelaan – pembelaan. Jika kenyataannya kemudian mereka sedang membela rampok, bandit kerah putih atau hanya orang – orangan sawah yang dikendalikan tauke, itu bukan urusan burung Kakaktua.

Seorang pecinta mati atas seorang tokoh atau pemimpin, akan membuat permusuhan kepada pengkritik. Sebaik atau setulus apapun sumbang saran yang ingin disampaikan kepada kubu mereka,akandituduh sebagai basa basi untuk memulai mencari gara – gara. Demikian pula jika sudah membenci, maka seluruh energi akan dikerahkan untuk meningkatkan derajat kebencian itu.

Sekelompok juru kampanye bisa saja menghapal dan meniru janji – janji kandidat yang ingin mereka menangkan, meski mereka tahu sang kandidat sedang mengucapkan janji palsu, sepalsu – palsunya.

Orang – orang membuat lingkaran untuk mengelilingi pusat kekuasaan. Dengan suatu kontrak politik tak tercatat, mereka dengan sadar merebahkan diri menjadi pasukan pemberani, berani tidak berpikir. Tugas mereka adalah bersuara, tentunya suara yang sudah didiktekan.

Manusia adalah spesies pintar yang dibekali otak seberat 1,4 kilogram. Otak dibentuk dari jutaan neuron yang saling berhubungan sehingga membentuk triliunan sinapsis. Tidak ada beda antara yang satu dengan lainnya. 

Artinya setiap individu diberikan kesempatan yang sama untuk menciptakan letupan – letupan keajaiban dari neuron – neuron yang tersambung. Sayangnya peluang itu dilewatkan begitu saja, lalu menyerahkan persoalan umat manusia ini hanya kepada para filsuf, ilmuan, agamawan sampai paranormal.

Sebagai sebuah bangsa yang – dengan terpaksa - menganut demokrasi, rakyat sebenarnya mutlak menjadi ownership demokrasi itu. Tapi sayangnyakepemilikan penuh itu sejak awal sudah dikacaukan oleh fenomena gagal telaah. Kita telah menempatkan diri sebagai pesuruh demokrasi.

Dalam dimensi utopia, rakyat adalah tuan besar demokrasi. Merekalah yang memilih pemimpin, mengawasi, memberi fasilitas dan kemudian memecatnya jika kurang akalatau membuat kesalahan fatal. Tapi sayangnya, rakyat sudahpun menurunkan derajatnya menjadi sekelas kacung bahkan budak yang menyuburkan feodalisme.

Alih – alih mengkritik atau meluruskan tabiat pemimpin yang melenceng, justru mereka berperan sebagai juru selamat untuk memastikan sang pemimpin tetap bisa kukuh di atas singgasana. Rakyat hanya terlihat garang, jika kebetulan pemimpin yang terpilih bukan dari kubu mereka.

Kita membutuhkan lebih banyak pemilik hati seringan awan yang ilmunya membentang luas dari kedalaman hutan Amazon sampai ke gurun Sahara. Lebih dari itu, mereka adalah orang yang peduli. Bangsa ini akan terus tampak naif, jika orang – orang pandai terus bersembunyi dan sibuk mengurus diri sendiri atau muncul sekali – kali sebagai pengamat paruh waktu. 

Kita tidak mungkin menunggu pahlawan bertopeng atau Dewi Fortuna. Turunlah dari gunung, bebaskan Kakaktua dari penjara – penjara mereka. Bisikkan kepada mereka dengan lembut agar bisa menembus ke lubuk hati bahwa: negeri ini sudah sold out.!

Ajari mereka untuk kembali bersenandung dengan alam. Ingatlah, Kakaktua yang mampu meniru suara manusia akan dipuji dan diberi makan cukup, tapi mereka tetap dikurung atau dirantai seumur hidup.

****

Terlalu lama dan terlalu banyak Kakaktua yang terpenjara, hingga mereka lupa lari ke hutan. Sedangkan hutan itu sudah dirampas, hampir sedikit yang tersisa, itu pun berupa Taman Marga Satwa yang sedang sekarat. Daripada berputih mata, lebih baik berputih tulang.

Perhatikan ini. Sebagaimana ditulis Andrea Baharamin dalam Perang Tanah: Wajah Baru Neoliberalisme di Sektor Pangan dan Energi disebutkan, sejak krisis finansial 2008 mereda, kita menyaksikan fenomena global baru yang disebut dengan perampasan tanah secara luar biasa (massive land grabbing)

Yaitu sebuah model pengambilalihan kepemilikan tanah di negara-negara miskin atau negara berkembang oleh perusahaan-perusahaan multinasional. The Economist dalam laporannya di tahun 2009 mencatat bahwa ada sekitar 37hingga 49 juta hektar yang telah berhasil dirampok sejak tahun 2006. Jumlah itu terus meningkat di tahun-tahun berikutnya paska krisis 2008.

Sebuah laporan di awal November 2014 dari Lund University, Swedia, membenarkan prediksi di atas. Laporan tersebut memberikan gambaran mengerikan tentang ekpansi perampasan tanah. Dari total 195 negara yang diakui PBB, 126 di antaranya terlibat transaksi perdagangan tanah di mana Cina (bertransaksi dengan 33 negara), Inggris (30 negara) dan AS (28 negara). Ketiganya muncul sebagai pemain utama yang rajin membeli tanah dari negara-negara di Afrika dan Asia utamanya Indonesia sebagai destinasi.

Sejumlah negara culun selain Indonesia seperti Ethiopia sebagai contoh, telah menggadaikan tanahnya kepada 21 negara. Filipina dan Madagaskar telah membuka dirinya untuk 18 negara berbeda. Sementara Brazil, Sudan, Mozambique dan Tanzania laris manis menjual tanah kepada investor dari 17 negara berbeda.

Model transaksi macam inilah yang disebut sebagai “perdagangan virtual baru” yang mana membuat sebuah perusahaan dapat mengimpor hal yang seharusnya tidak diperdagangkan. Berbeda dengan bentuk perdagangan virtual lama yang hanya mendefinisikan proses transaksi jual beli di bursa saham, perdagangan bentuk baru ini mengambil langkah maju yang lebih radikal. Hari ini produk-produk seperti sumber air, tanah hingga polusi diperjualbelikan melewati batas-batas negara.

Dukungan untuk perluasan perkebunan-perkebunan yang akan menjadi sumber energi biofuelbelakangan juga dilakukan oleh Inggris dan AS. Mereka mensponsori pembukaan ladang-ladang sawit dan perkebunan tebu skala raksasa menjadi tren baru. Untuk itu, ekspansi kemudian diarahkan ke wilayah Asia Tenggara yang hangat dan masih memiliki banyak lahan. 

Filipina, Malaysia dan tentu saja Indonesia menjadi sasaran empuk. Inggris dan AS bahkan ikut mendukung terbentuknya pakta perdagangan sawit regional antara Indonesia dan Malaysia. Pakta kerjasama ini diharapkan dapat mengurangi kompetisi antar kedua negara penghasil sawit terbesar di dunia untuk kemudian dapat saling membantu dalam ekstensifikasi industri minyak sawit mentah (crude palm oil).

Indonesia adalah kekuatan paling besar di sektor ini dengan luas lahan mencapai 15 juta hektar (per tahun 2014) yang tersebar dari Sumatera, Kalimantan, Papua dan sebagian kecil di Sulawesi. Malaysia berada di posisi kedua dengan luas lahan mencapai hampir 5 juta hektar. Kedua negara ini menyuplai 85% kebutuhan sawit dunia. Menyusul di belakangnya Thailand yang memiliki sekitar 650 ribu hektar sawit.

Di Indonesia, dari luasan bentang lahan perkebunan sawit tersebut, sebagian besarnya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Riset yang dilakukan oleh TuK Indonesia menemukan bahwa 62 persen lahan sawit di Kalimantan dikuasai oleh lima perusahaan besar, yaitu Sinar Mas, Salim, Jardine Matheson, Wilmar dan Surya Dumai. 

Perusahaan-perusahaan ini juga dominan di Sumatera dengan penguasaan yang mencapai 32 persen dari total seluruh perkebunan. Kelima perusahaan rakus inilah yang dominan menyumbang bencana asap kepada Indonesia, Singapura dan Malaysia setiap tahunnya.

Selain industri pangan dan energi yang merupakan ‘perampasan tanah dari luar’ (external land grabbing), negara-negara miskin dan negara berkembang juga akan mendorong dirinya untuk melakukan ‘perampasan tanah ke dalam’ (internal land grabbing)

Jika ‘perampasan dari luar’ berarti tanah akan digunakan sebagai alat tawar hutang dan oleh karenanya harus diagunkan ke investor asing, dalam mekanisme ‘perampasan tanah ke dalam’ negara adalah aktor yang akan melakukan perampasan tanah terhadap warganya. 

Tanah-tanah yang akan dirampas ini kemudian akan dialihfungsikan untuk pembangunan infrastruktur semisal sarana transportasi dan pengembangan jenis-jenis bisnis satelit seperti properti dan waralaba untuk kepentingan segelintir orang.

Jika perampasan tanah dari luar akan marak terjadi di daerah-daerah pedesaan, maka perampasan tanah ke dalam justru akan mengambil lokasi di daerah perkotaan dan atau sub-urban. Kita menyebutnya, penggusuran.

Ada saatnya kita menyambut pemimpin dengan riang gembira. Memberi penghormatan sebagaimana layaknya pemimpin. Namun ada saatnya kita menjadi hakim agung.~MNT



Comments