Sabotase Maya



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Para hacker jauh lebih beruntung dibanding iblis. Dalam sebuah risalah dikisahkan, jika iblis ingin mencuri data langit maka ia segera dipangkah dengan bola api yang berpijar. Tapi para peretas tak usah berpayah – payah, cukup duduk bersilang kaki di depan gawai dengan kecanggihan paket sniffer atau menebar program spyware, trojan, worm maka kita segera telanjang di hadapan mereka.

Dari pengakuan seorang hacker, setiap apapun yang diunduh dari internet, selalu disertai dengan sesuatu yang disebut silent virus. Virus ini telah berkembang hingga kode kesekian ratus. Artinya, setiap minggu, bahkan setiap hari, kemampuan virus diam-diam ini makin canggih. 

Virus ini menyatu dengan berbagai produk di internet. Bisa jadi game, video, lagu, data PDF atau media sosial. Dan yang paling mencengangkan katanya, Indonesia sebagai ladang subur produk bajakan ini adalah habitat membiak paling mudah bagi para silent virus. Setiap produk bajakan yang diunduh dan digunakan, akan menyebarkan virus ini ke dalam sistem. Tanpa sadar, semua data penting dan rahasia pribadi sudah terbang kemana - mana.

Para peretas mampu menembus data kartu kredit, jumlah dan jenis barang belanja termasuk di pasar mana kita belanja, semua ada di data yang didapat silent virus. Mereka juga mampu membuat situs phising, yaitu situs samaran atau kelihatan sama seperti situs aslinya. Juga menjebol situs e-commerce dan langsung mencuri semua data para pelanggan. 

Dalam praktiknya, pemindahtanganan data pribadi seseorang tanpa sepengetahuan dari pemilik data marak terjadi, khususnya yang ‘diduga’ dilakukan oleh provider jasa telekomunikasi, maupun perbankan atau pihak lain yang melakukan penyimpanan data pribadi konsumen.

Imbasnya, konsumen diteror penawaran bermacam produk, dari properti, asuransi sampai kartu kredit. Padahal mereka sama sekali belum pernah menyerahkan data pribadinya pada produsen produk bersangkutan. Ketidakjelasan pelaku pembocoran atau jual beli data pribadi serta ketidakjelasan mekanisme hukum yang disediakan oleh undang-undang, menjadikan sulitnya komplain atas kerugian yang diderita.

Di luar masalah pribadi yang timbul seperti carding yang membobol kartu kredit misalnya, secara bangsa dan kedaulatan negara kita sudah sangat ‘terancam’. Para peretas bisa mengantongi data dan kekuatan militer serta titik lemah sebuah negara. 

****

Ancaman penyalahgunaan data pribadi di Indonesia menjadi kian mengemuka, terutama sejak Pemerintah menggulirkan program KTP elektronik (e-KTP). Seluruh informasi pribadi warga negara direkam, termasuk identitas dan ciri fisik, talian darah dan catatan peristiwa penting. Khusus perekaman ciri fisik, dilakukan dengan pemindaian sidik jari dan retina mata, yang akan digunakan untuk validasi biometrik pemegang KTP.

Jika hacker mampu menembus informasi kekuatan militer sebuah bangsa atau meretas rencana kudeta padaErdogan termasuk langkah antisipasinya, bukan tidak mungkin mereka juga akan atau sudah meretas semua informasi pribadi bangsa Indonesia. Kita hanya bisa berharap ketelanjangan ini tidak dipergunakan untuk hal – hal yang buruk. 

Aspek hukum yang tidak tuntas untuk dapat mengeliminasi kejahatan siber seperti hacking, cracking, phising, identity theft dan seterusnya akan tetap menjadi ancaman di masa depan. Ketentuan mengenai perlindungan data pribadi hanya diatur secara terbatas di dalam Pasal 26 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, itu pun sebatas yang masuk kualifikasi data elektronik. 

Bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya, khususnya di kawasan Asia Tenggara, Indonesia dianggap paling ketinggalan dalam menyiapkan perangkat perlindungan privasi bagi warganya. Baik dari segi waktu maupun variasi perlindungannya. Cakupan perlindungan privasi tentu tidak hanya terkait dengan data pribadi, tetapi juga aspek kehidupan pribadi lainnya. 

Westin (1967) secara sederhana mendefinisikan hak atas privasi sebagai: klaim dari individu, kelompok, atau lembaga untuk menentukan sendiri kapan, bagaimana, dan sampai sejauh mana informasi tentang mereka dikomunikasikan kepada orang lain. Dari definisi ini, sabotase maya terhadap data pribadi dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak atas privasi.

****

Google sudah mengantongi peta permukaan bumi secara real timemeski tidak dipublikasikan, sehingga dengan leluasa mereka bisa mendeteksi di mana kita berada serta menge-zoom bangunan – bangunan hingga ke tingkat kandang ayam. Dalam artikel berjudul Enam Dosa Besar Google Terhadap Bangsa Indonesia yang ditulis Wientor Rah Mada, dipaparkan tentang bahaya Google Maps. Pejabat tinggi negara, lokasi instalasi militer sampai dengan lokasi rahasia akan terkuak dengan mudah. Padahal berdasarkan undang-undang kita, peta dasar sebuah wilayah hanya bisa disediakan oleh negara. 

Google sudah melanggar ini dengan menyediakan peta dasar setiap inci bumi pertiwi. Dengan demikian bisa jadi Google mampu menghitung berapa banyak tank atau pesawat tempur kita yang diparkir di outdoor. Atau berapa banyak anggota dan mobilitas militer kita dengan mengidentifikasi sejumlah markas atau barak militer yang kita miliki.

Bagaimana dengan istana negara, yakinkah kalau presiden terbebas dari ancaman? Secara keluar masuknya kendaraan di istana negara dapat diketahui Google dengan siaran langsung.

Paling tidak China sudah membaca bahaya yang mengancam di balik kedigdayaan Google. Negara ini telah menolak mentah-mentah Google dan men-support habis mesin pencari domestik Baidu. Tindakan yang dahulu dikecam banyak orang dunia dengan dalih menghalangi globalisasi informasi, sekarang justru menuai pujian. 

Apa yang terjadi pada Palestina saat ini dianggap sebagian kalangan sebagai penghinaan yang pedih. Google baru saja menghapus Palestina dari Google Maps. Palestina menuding Google telahtunduk pada skema Israel. Ratusan ribu orang telah menandatangani petisi yang berjudul “Google: Masukkan Palestina pada peta Anda”. Petisi ini menuduh Google telah terlibat dalam pembersihan etnis yang dilakukan Israel terhadap Palestina baik sengaja atau tidak.

Google bisa saja berdalih bahwa mereka mendadak mengacu kepada PBB yang meletakkan Palestina sebagai observer, bukan anggota penuh. Padahal dengan menghapus Palestina dari peta dunia, Google sudah memvonis di awal. Sergey Brin pendiri Google yang tercatat sebagai salah satu dari enam keturunan Yahudi yang menguasai dunia teknologi, mungkin adalah jawabannya. ~MNT

Comments