SELUBUNG ILMU



Oleh Muhammad Natsir Tahar 

Begawan Galileo Galilei dipaksa lari terbirit – birit karena hendak dibunuh hanya gara – gara mengatakan bumi ini bulat dan berputar. Jauh sebelum itu Socrates dihukum minum racun sebab ia mendebatkan ilmu fisafat kepada orang awam.

Ketika langit Eropa masih diselimuti kabut hitam kebodohan, ketika itu pula segala hal yang ingin meruntuhkan keyakinan akan cepat dipatahkan. Ilmuan dituduh tukang sihir, penyelidikan – penyelidikan ilmu dianggap pekerjaan setan. Ketiadaanilmu adalah salah satu sisi gelapkehidupan, tapi terlalu lama bertahan di sana dan tak hendak membuka diri, adalah persoalan lain yang lebih menyedihkan.
Tanpa ilmu kita adalah jelata sangat biasa yang ditipu tiap sebentar. Dijemput dengan lori bekas pasir pada saat pemilihan umum, bersorak – sorai waktu kampanye kemudian diupah nasi bungkus. Tanpa ilmu, anak gadis kita dijual seperti sapi, dirayu dengan rupa – rupa janji.

Yang bujang diselundupkan ke negeri jiran, entahlah sekarang, dulunya dipulangkan lagi dengan kepala botak dan disuntik gila. Tanpa ilmu kita bukan siapa – siapa. Dikenal mungkin jika terpaksa diliput media untuk jadi saksi penemu mayat bayi yang dicampak ke tepi parit, atau korban tabrak lari. Itu saja. Kapan orang tak berilmu dicari - cari, nanti dekat – dekat pemilu.
Kita dijajah ratusan tahun, itu semata – mata karena kebodohan. Tidak banyak raja berhati pahlawan karena umumnya raja – raja berlakupongah. Mereka meletakkan otaknya di ujung senjata dan hatinya dijadikan alas duduk singgasana. Mereka bahkan meminjam meriam Belanda untuk menembak bangsa sendiri dari kerajaan tetangga.

Ketiadaan ilmu membuat mereka tidak peka pada taktik pecah belah kolonial. Sedangkan orang – orang tak berilmu di zaman kerajaan adalah prajurit – prajurit siap mati muda demi mempertahankan singgasana sang raja. Yang wanita begitu bangga menjadi selir – selir.
Untuk sementara bolehlah kita terpesona dengan bangsa Eropa dan berkiblat kepada keagungan peradaban Barat, tapi nanti di ujung tulisan ini akan lain ceritanya. Dibanding orang Timur terutama Timur Tengah, Eropa dulu masih bebal dan ketinggalan 600 tahun. Begitu masuk era pencerahan yang disebut renaissance,mereka langsung menjajah.
Orang – orang berilmulah yang mengatur strategi untuk mengusir penjajah serta terus menerus memutar otak. Yang tak berilmu berjalan dengan langkah gontai lalu dengan pasrah menganggap yang memerintah negeri inisampai kapan - kapan adalah orang Belanda. Pemikiran semacam ini yang mungkin merasuk ke seorang murid wanita.

Ketika Bung Karno mengajar saat dibuang ke Bengkulu ia pernah bertanya, “Kenapa kita menuntut kemerdekaan, sedangkan kita sekarang sudah enak di bawah Pemerintah Hindia Belanda?”. Model – model seperti itu masih sangat banyak sekarang. Sedikit saja sudah merasa berada di zona nyaman, langit mau terbalik ya terbalik lah.
Itulah sebab mengapa menuntut ilmu dalam agama wajib hukumnya. Mohon dikesampingkan bahwa ilmu itu adalah rupa – rupa gelar, tapi lebih dari itu adalah semacam taman pikiran yang senantiasa hidup dan tumbuh. Hidup ini adalah pengembaraan hikmah hingga batas liang kubur dan alam terkembang jadi guru.
Kecuali pendebat tersesat yang hatinya sudah tertutup tembok tebal, orang – orang berilmu akan semakin merunduk seperti padi. Mereka mengamati dari kejauhan, akan bicara apalagi orang – orang bodoh hari ini. Pekerjaan mereka adalah mendalami dan mendalami, bukan berkoar kegirangan begitu mendapat satutetes ilmu yang dia pikir hanya dialah yang tahu.
****
Sayangnya orang – orang berilmu selalu tidak muncul pada tempat dan waktu yang tepat. Karena masing – masing ditutupi selubung – selubung. Setelah tamat menuntut ilmu, mereka sibuk bekerja dari pagi hingga ke petang. Meski sudah strata satu, dua dan tiga, tapi ilmu yang bisa diaplikasikan adalah sebatas yang dibutuhkan perusahaan. Hingga kemudian, sebagian besar ilmu yang diperoleh mati – matian di kampus, menguap sampai ke tua.
Orang – orang meniti ilmu untuk meningkatkan jenjang karir pribadi dan performa semata sehingga ilmunya tidak turun ke mana – mana, tidak dipakai lebih lebar. Yang menuntut ilmu di luar negeri bahkan lupa jalan pulang, ilmunya dipakai orang luar. Juga berapa banyak jenius kitayang tidak mendapat tempat di negeri sendiri sehingga memilih berkarir untuk membesarkan negara lain.
Para akademisi asyik masyuk dalam dahaga sendiri, menghisapkuntum - kuntum ilmu hingga bergelar guru besar. Ilmu – ilmu yang mereka punya lalu diturunkan kepada mahasiswa – mahasiswi sampaimendapat toga. Slogan agent of change sepertinya tidak akan banyak membuat perubahan, karena sejatinya mereka memproduksi hanya pekerja pagi ke petang yang ilmunya menguap. Pelajaran ilmu murni seperti humaniora tersia – sia begitu saja.
Orang – orang berilmu pada sebuah negara kapitalis maju - dan Indonesia menuju ke situ –mayoritas adalah economic animalsyang individual dan egosentris. Mereka tidak tertarik dengan pemilihan umum dan akan dipimpin siapa negeri ini, terserah. Kecamuk politik dan segala hiruk pikuknya bagi mereka adalah sesuatu yang menganggu kenyamanan. Hal ini dapat terlihat ketika dulu betapa tidak nyamannya warga Hongkong begitu digabungkan dengan China daratan yang lebih terbelakang dan tidak stabil secara politik.
Di negeri kita sendiri Indonesia, ketidakpedulian kaum begawan kepada kerja – kerja politik menjalar dari tingkat pusat hingga ke level lokal. Orang – orang berilmu dari golongan mapan, sebagian terlihat sangat eksklusif dan selfish. Mereka kurang tertarik kegiatan sosial dan politis. Begitu dekat – dekat pemilihan presiden atau kepala daerah , yang muncul sebagai kandidat selalu itu ke itu saja. Padahal ada berjuta – juta orang berilmu yang lebih layak sebenarnya.
Kita menganut demokrasi imajiner atau seolah – olah. Sedangkan demokrasi lebih menyerupai semacam proyek dari segelintir orang yang tertarik politik. Akan menjadi keberuntungan jika yang terjun ke dunia politik adalah mereka – mereka yang berilmu sehingga setiap proses demokrasi dapat diterapkan dengan kompetisi keilmuan dan yang menjadi pemimpin kemudian adalah orang yang benar – benar berilmu, jika tidak itu berarti musibah.
****
Filsuf Eropa Barat bernama Roger Bacon pernah berkata, falsafah Ariestoteles sebagai induk ilmu pengetahuan hingga abad pertengahan tidak dipahami dan diminati bangsa Eropa, sampai Avicenna (Ibnu Sina) dan Averroes (Ibnu Rusyid) kembali membangkitkannya.

Ketika cahaya ilmu sudah menyuluh jazirah Arab enam abad lebih awal, Eropa masih berada di zaman jahiliah. Kitab Ariestoteles bersembunyi entah di mana, Plato tak dikenal, Socrates dan Ptolemeus apalagi.
Ketika zaman renaissance dimulai pada abad 15, dan senjata – senjata diproduksi, orang Eropa yang memiliki sifat penjelajah dan penjajah segera memburu rempah – rempah ke timur (Asia). Penjelajah Eropa yang tersesat di benua Amerika tidak menemukan rempah, tapi sebagai gantinya mereka mendapatkan tembakau. Benua ini kemudian dibangun dengan mengapalkan budak – budak hitam dari Afrika. Pribumi dimatikan dan sejarah diputarbalikkan.
Di Asia mereka mengirimkan delegasi dagang lalu pasukan bersenjata. Tanah koloni dihisap kekayaannya berabad – abad. Secara psikologis, bekas jajahan Eropa begitu membekas di sanubari masyarakat Asia. Begitu lepas dari kebatan imperialis, mereka bangkit mengejar ketertinggalan dengan belajar dan belajar. Kisah paling dramatis adalah Nagasaki dan Hiroshima di Jepang.

Dari titik nadir dan luluh lantak ditimpa bom atom, mereka bangkit untuk mengejar ilmu dan menguasai teknologi. Tapi sepintar – pintarnya orang Asia, DNA terjajah belum sepenuhnya hapus. Di Amerika Serikat, setiap etnik punya stereotype masing-masing.

Ada yang positif, ada pula yang negatif. Khusus untuk Asia, di mata etnik lain dipandang sebagai ras yang berpenghasilan tertinggi karena pintar. Orang Asia lebih banyak memiliki ijazah di bidang medical, hukum dan engineering sehingga gaji mereka melampaui etnik manapun di Amerika Serikat.
Tapi kelemahan merekakurang memiliki kemampuan leadership sehingga posisi eksekutif dan manajer diborong orang - orang kulit putih. Berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Ascend Foundation tahun 2015, kalau ada pelamar, Asia dan kulit putih dengan kualifikasi sama persis atau bahkan kualifikasi Asia lebih unggul, maka yang kulit putih dianggap punya potensi untuk mendapatkan posisi eksekutif, bahkan manajer di kemudian hari. Sedang Asia hanya menjadi kelas pekerja level teknis.
Padahal turunan Asia di sekolah atau kampus selalu unggul dalam nilai dan Indek Prestasi Kumulatif (IPK). Orang Barat tidak lebih pintar, mereka hanya dihebatkan oleh sejarah senjata dan propaganda film dari komik - komik Stan Lee.Tapi kita sudah terlanjur terpana – pana melihat orang Barat. Bahkan lidahpun dibuat cadel dan rambut dicat blonde.
Melihat orang Eropa, mungkin bangsa Asiamerasa kurang percaya diri akibat di alam bawah sadar sudah tersimpan mental terjajah yang diwariskan turun temurun. Pada akhirnya mereka hanya menjadi orang yang hanya dipimpin di lingkup masyarakat Barat.
Titip pesan kepada orang – orang berilmu di negeri ini, singkaplah selubung ilmumu, pedulilah pada sesama dan jadilah pemimpin. Atau paling tidak masuklah ke lingkaran kekuasaan untuk memberi suluh ilmu kepada para pemimpin. Akan berbahaya jika pusat kekuasaan hanya dikelilingi oleh orang bodoh atau sebaliknya. ~MNT

Comments