SWOT Bonus Demografi

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Kapten Edward Smith dan anak buahnya tak hirau oleh peringatan tentang gunung es yang berada dalam jalur yang dilalui Titanic. Malahan, atas perintah Joseph Bruce Ismay, Direktur White Star Line, Titanic semakin mempercepat lajunya meskipun langit sedang gelap gulita.

Pada malam 14 April 1912, dua orang pengawas kapal melihat bongkahan gunung es besar persis di depan jalur Titanic dan memberitahu anjungan. First Officer William Murdoch memerintahkan kapal dibelokkan dan mesin dimundurkan, tetapi sudah terlambat, sisi kanan Titanic menabrak gunung es.

Gunung es adalah fenomena pecahan gletser yang mengagumkan dan di sisi lain juga merisaukan. Apa yang tampak sebagai tip of the iceberg lebih sering dibunyikan sebagai makna konotatif. Ada sesuatu yang besar dan berbahaya lagi tersembunyi di balik keindahannya. Gunung es itu adalah Bonus Demografi.

Bonus Demografi manisdi lidah dan indah pula di telinga. Siapa yang tak riang gembira mendengar kata bonus, sebagai sesuatu yang bernilai ekonomis. Ini lips service yang paling meninabobokan dan Indonesia Raya sedang bersiap – siap menghadapinya. Empat tahun dari sekarang, tepatnya tahun 2020 akan terjadi ledakan dahsyat jumlah usia produktif di Indonesia. 

Bonus Demografi adalah suatu keadaan di mana usia produktif (15 – 64 tahun) mendominasi komposisi penduduk sebuah negara. Jika kita bicara tentang sosio-kultural Indonesia, bonus demografi tidaklah mengembirakan sebagaimana yang sudah dilewati oleh Jepang dan Korea Selatan. Berkaca dari fakta yang ada sekarang, Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) Indonesia masih saja rendah. Dari 187 negara di dunia, Indonesia berada di urutan 121.Jika tidak ada upaya efektif dari Pemerintah menghadapi ledakan ini, makaBonus Demografi akan menjadi klimaks bagi Indonesia.

Diperkirakan 180 juta orang Indonesia akan saling berebutan dalam bursa kerja selama rentang waktu 10 tahun hingga tahun 2030. Ini sudah menjadi tantangan terbesar bagi nasib bangsa ini ke depan, apatah lagi jika kita menambah beban itu dengan adanya isu mobilisasi pekerja asing dan keniscayaan globalisasi MEA (dengan satu fakta sakit: HDI Indonesia paling rendah dibandingkan negara-negara anggota ASEAN lainnya).

Dalam ruang terbatas ini saya ingin memaksakan untuk mengelaborasi problema ini dalam analisis SWOT (Strenght, Weaknesses, Opportunities dan Threats). Strenght (kekuatan): Indonesia adalah negara yang kaya dalam segala bentuk, lautan bagai kolam susu dan tongkat kayu jadi tanaman. Indonesia adalah zambrut khatulistiwa, primadona tropis juga lumbung logam mulia, minyak dan gas. 

Hitunglah nikmat Tuhan ini sampai berurai air mata. Mestinya anugerah laksana sekeping surga ini sudah lebih dari cukup untuk mengisi periuk nasibagi 180 juta orang ditambah berkapal – kapal lainnya yang datang dari empat penjuru mata angin dunia.

Weaknesses (kelemahan): Inilah Indonesia, sebuah negara hegemonik. Kekayaan alam sudah digenggam oleh konspirasi global, namun dicicipi oleh anak bangsa ini hanya berupa tetesan kecil secara trickle down effect. Lapangan kerja terus menyempit, sektor fiskal dan moneter yang labil, lemahnya pengendalian populasi penduduk ditambah indeks pembangunan manusia yang tidak progresif.

Opportunities (kesempatan):Seperti menatap oase di terik gurun, tiba – tiba Presiden Jokowi membahanakan kalimat bijak: kita sudah lama memunggungi samudera. Tepat sekali, selama ini warisan kultur kontinental masih melekat kuat pada bangsa ini. Agraris, argo industri dan segala dinamika ekonomi daratan bukan sesuatu yang sepele, tapi dengan melupakan potensi terpendam pada laut yang secara historikal telah memegahkan Nusantara, kita seolah sudah menjadi bangsa yang tak sadar di untung.

Visi untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu poros maritim dunia patut diapresiasi dengan banyak catatan. Budayawan dan Chairman Riau Pos Group, Rida K Liamsi dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan PWI Kepri menegaskan bahwa kebijakan ini dapat terlaksana jika pendekatan pembangunan nasional berubah haluan dari populis sentris ke potensi wilayah sentris.

Kemudian secara implisit Rida mengingatkan agar proyek poros maritim tidak menjadi kebijakan populis-propaganga sebuah rezim, tapi ditingkatkan secara jangka panjang dalam skema garis besar haluan negara. Dengan demikian arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang ingin kembali berkiblat pada kekuatan laut, harus menjadi solusi untuk menyerap bonus demografi yang tentunya denganmemberi stimulus pada peningkatan SDM bidang maritim.

Threats (ancaman): Poros Maritim dengan Tol Laut sebagai agenda nasional masih berupa embrio. Banyak tahapan yang harus dilewati dalam pembangunan infrastruktur dan berbagai macam lompatan kebijakan baik secara sosial, politik, kapital dan konsistensi. Meski tampak lebih masuk akal, namun pembangunan ekonomi berbasis maritim bukanlah satu – satunya cara untuk mengerkah dampak bonus demografi. Apalagi diskursus Poros Maritim tidak secara kongkrit membicarakan tentang penyerapan tenaga kerja.

Bahkan untuk wilayah Kepulauan Riau, Poros Maritim mendapat cobaan berat karena menghadapi tekanan politik regional Singapura dan minimnya pendanaan dari pusat. Poros Maritim juga terancam hanya semata menjadi proyek kapitalisme global serta tidak mampu mendongkrak perdapatan per kapita masyarakat setempat. 

Dampak bonus demografi mau tidak mau harus dihadapi bersama oleh komponen bangsa ini. Pemimpin negeri ini harus terus diingatkan, bahwa kapal besar bernama Indonesia tidak sedang menghadapi persoalan lain yang lebih besar kecuali bonus demografi. Sedikit saja terlambat kita akan karam. 

Solusinya selain “terjun ke laut” adalah semua kebijakan yang dibuat harus selalu mengarah kepada peningkatan lapangan kerja dan menumbuhkan jiwa enterpreneurship, pengendalian pertumbuhan dan menekan sentralisasi usia produktif di zona urban serta peningkatan kualitas manusia Indonesia dalam segala bidang. ~MNT


Comments