Tanah Air Bahasa



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Pers Indonesia lahir dalam bentangan panjang pada upaya untuk menubuhkan bahasa secara terus menerus sekaligus memahat kesatuan tanah dan air dalam upaya membangun kesadaran berbangsa. Jalan itu telah pun melahirkan ribuan media massa sekait dengan berbaris - baris tokoh penting di dalamnya.

Berbanggalah wartawan Indonesia karena sederet pelaku sejarah di negeri ini sebelumnya adalah para pewarta. Antara lain untuk tidak menyebut keseluruhan: Soekarno, Hatta, DR Soetomo, Ahmad Dahlan, Muhammad Natsir, Dowes Deker, Hos Tjokroaminoto, Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, Sutan Takdir Alisjahbana, Adam Malik, Hamka, Pramoedya Ananta Toer, Harmoko, Rosihan Anwar, Muktar Lubis dan seterusnya.

Berdukalah wartawan Indonesia ketika mengenang sejarah pers Indonesia sebagai sejarah pelanggaran terhadap kebebasan pers. Bisa demikian, karena sejak pers itu lahir hingga di ambang reformasi adalah zaman pemasungan kemerdekaan menyiarkan berita.

Pada 1856, oleh kolonial Belanda, sudah muncul peraturan pertama mengenai pers sebagai sensor preventif terhadap gerakan media massa. Masa 1906 Belanda makin keras, dari preventif menjadi represif. Kemudian pada 1931 lahirlah Persbreidel Ordonnantie, yang menjadi malaikat maut bagi segala usaha penerbitan pers yang tidak sepihak dengan penguasa.

Persbreidel Ordonnantie ini ditiru oleh Orde Lama dan Orde Baru. Namun di sela – sela itu ada masanya pers Indonesia merasakan bulan madu dengan pemerintah yakni pada zaman liberal (1945 – 1949) dan awal – awal Soeharto berkuasa.

Orde Baru pertamanya memang mengakrabi pers karena butuh penyiaran untuk konsolidasi kekuasaan sampai ketika pers mulai mencium aroma korupsi di tubuh birokrasi. Klimaksnya, pada Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974 meletus, Orde Baru membreidel 12 surat kabar dan ratusan lagi menyusul dalam rentang waktu yang panjang.

Ekspresi muak karena dikontrol terlalu lama oleh Orde Baru, melahirkan pers euforia di era reformasi, yang betul – betul berpesta pora dengan kebebasan. Surat kabar bisa terbit tanpa izin apapun dan menyiarkan berita apa saja. Era ini juga memunculkan pers partisan untuk semata – mata bertujuan politis, pers pornografi dan infotainment yang berprilaku sebagai seolah – olah pers, serta yang mendadak pers: tanpa modal dan kecakapan jurnalisme.

Di masa milenial sekarang, sosial media mengambil alih sebagian atensi publik dari media konvensional ke berita – berita portal atau yang disiarkan oleh netizen dalam kelompok citizen journalism. Sayangnya media – media macam ini di antaranya kerap diboncengi oleh ketidakpatuhan dan ketidaktahuan pada kode etik, standar jurnalistik dan regulasi pers.

Tidak hanya mutu berita yang terabaikan, kelebatan cepat berita murah meriah di dinding sosial media juga intens menyajikan hoax, fake news, foto – foto sadis, pornografi dan konten yang tak mendidik bahkan menjerumuskan pembaca pada lembah kebodohan.

Pemilik portal yang menjalankan bisnis PPC (pay per click) dan konten bersponsor hanya mampu mengumbar judul – judul sensasional demi uang. Sementara, banyak publik yang memukul rata bahwa semua teks dan gambar yang muncul seolah – olah berita itu adalah produk pers an sich.

Kembali ke Tanah Air Bahasa yang sudah dibangun oleh pers Indonesia, yang menyandang misi patriot untuk memahat kesatuan tanah dan air dalam upaya membangun kesadaran berbangsa dan bernegara, tidak merasa dipukul mundur oleh serangan kabar - kabar absurd sebagai keniscayaan sosial media, sebagai kekalutan abad digital.  

Pers Indonesia harus kuat dan sehat untuk berada di shaf terdepan dalam membenahi persoalan ini untuk menyelamatkan peradaban jurnalisme ke depan. Pers Indonesia tentu saja bisa memulihkan dirinya sendiri tanpa perlu melibatkan pihak luar terlalu jauh dengan memperkuat esprit de corp. ~MNT




Comments