Tentang Moza




Oleh Muhammad Natsir Tahar
Kami menemukannya di sudut pasar ikan dalam keadaan kurus tak berbaju. Ia tak kenal bapaknya dan baru saja dibuang ke sembarang tempat begitu masa menyusuinya habis. Air mukanya runtuh, matanya keruh, kotor dan gemetar lapar. Kami segera memutuskan untuk mengadopsinya atau ia akan mati terjerembab ke pelimbahan, memandang kaki – kaki kecilnya sangat rapuh.
Gadis kecil ini tidak bicara dan tidak dibekali uang. Bahkan ia sama sekali tak punya nama. Bismillah, kami hadiahkan kepadanya sebuah nickname cantik: Moza. Moza dibersihkan, diberi susu, makanan hangat dan butuh dua hari untuk terlihat hidup. Mata keruhnya pelan – pelan membinar, ia ingin mengucapkan terimakasih, tapi ia tidak bisa bicara. 

Sebagai gantinya Moza mempersembahkan tarian berupa lompatan – lompatan aneh menggemaskan sebagai tanda terimakasih. Kami bahagia melihat Moza selamat dan ia resmi menjadi bagian dari keluarga kecil kami.
Pasar itu begitu kejam pada Moza. Tanpa uang Moza tidak akan pernah mendapat makanan layak apapun, kecuali sisa kepala ikan busuk atau perut ayam yang tercecer. Bahkan mungkin pada suatu saat Moza hanya bisa mengunyah lipas atau jangkrik yang sedang sial jika usus ayam, atau kepala ikan dan segala limbah pasar lainnya makin dianggap punya nilai ekonomis untuk ditukar dengan uang sebagai makanan lele atau itik.
Untunglah sejauh ini ada pedagang mulia yang memberikan makanan sisa, atau remah – remah pasar yang tak punya nilai uang, sama seperti dirinya yang tak bisa dikalkulasi dengan nominal. Benar, Moza tak punya nilai pasar. Sebuah label keji telah ditancapkan kepada makhluk pemburu yang dianggap memiliki kasta terendah ini: kucing kampung.
Nama Moza kami temukan dari sepetik sejarah Nabi Muhammad yang sangat menyayangi kucing bernama “Mueeza”. Moza hanyalah kucing biasa yang jarang dilirik Cat Lovers. Sebagai kucing domestik khas Indonesia, jenis Moza terlalu banyak merayap di jalan – jalan dengan rupa alakadar dan bau amis abadi. 

Padahal dari segala jenis kucing, Moza termasuk predator paling mematikan. Ia sangat dapat diandalkan untuk menghabisi semua makhluk pengerat berpenyakit itu dalam sekejap. Moza adalah saingan sengit bagi industri lem, racun dan perangkap tikus.
Kucing – kucing bermata malas dan penidur macam Anggora, Persia atau Russian Blue yang hanya mengandalkan keindahan bulu, itulah yang justru dipeluk paling banyak. Kepada Moza yang enerjik dan gesit berlaku kutukan Supply and Demand. Terlalu melimpah, tanpa permintaan pasar dan menyentuh level nol rupiah setara limbah.
Moza memikul aib kucing kebanyakan yang leceh. Padahal jika diamati, jenis kucing ini memiliki bentuk hidung dan mata berwarna yang sempurna. Bulu – bulunya bisa mengkilap dan tebal jika diberi makanan yang tepat. Bahkan Moza jauh lebih jelita dibanding Persia Peaknose bermuka masam yang hidungnya terlihat seperti ujung helm tentara Nazi saat tiarap di dalam lumpur.
Puluhan hingga mungkin ratusan juta rupiah telah dihabiskan oleh pecinta kucing, mulai makanan, vitamin, vaksin, perawatan, kandang dan mainan. Ini adalah semacam permainan kepercayaan, bahwa dalil – dalil tentang kasta kucing dan harga yang pantas untuk dibayar dan jika semua sudah percaya, berapapun itu, dianggap lumrah. 

 Yang untung besar dalam hal ini adalah industri perkucingan. Merekalah yang membangun imej dan membentuk harga. Tidak akan ada yang berani membantah. Pemilik kucing – kucing mahal ini hanya mendapati masa – masa indah fatamorgana sampai makhluk berumur pendek tersebut menua dan mati, lalu ditukar lagi dengan kucing – kucing muda, yang semakin lama harga dan perawatannya semakin mahal saja. Meeoonng..!
****
Tak ada yang mampu menundukkan pasar. Pasar tak bisa ditaklukkan dengan palu Thor, panah - panah Spartan atau mata laser Superman. Ia selalu perkasa dan pejal. Jika Pemerintah mengumumkan harga bahan bakar atau gaji pegawai naik, maka pasar akan bergerak secepat bajingan untuk menaikkan harga. Jika sudah naik jangan berharap bisa turun, biarpun dewa petir Zeus ikut berteriak.
Jika kemudian turun sebentar karena efek lips service operasi pasar dari Pemerintah, pasar mengendalikan dirinya seperti pegas, turun jika ditekan sebentar tapi segera melonjak bagai sedia kala. Anehnya, penyandang kerah biru lebih senang memekakkan telinga pemerintah untuk kenaikan upah saban tahun ketimbang mengarahkan orasi toanya ke pasar, padahal sumber utama penyebab merosotnya angka kebutuhan hidup layak adalah pasar.
Pasar dikendalikan oleh mafia yang mengatur jalur distribusi, menimbun dan memalsukan perspektif di mata konsumen hingga menciptakan panic buying. Di luar itu, devaluasi, inflasi dan nilai tukar mata uang adalah di antara penyakit – penyakit yang membuat satuan harga menjadi liar. 

Pasar juga menjadi pembenaran terhadap diktum Latin klasik,Homo Homini Lupus. Manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya, bahkan tak memberi ampun kepada kawanan kucing pasar sekelas Moza. Pasar yang dimaksud adalah sistem kendali, yang di dalamnya juga terdapat pedagang – pedagang mulia dan tak berdaya melawan arus.
****
Uang kertas (Fiat Money) yang kita pegang hari ini adalah sebuah kebingungan sejarah. Bagaimana mungkin selembar kertas kecil dengan biaya produksi hanya sekian rupiah bisa mengandung nominal seratus ribu dan bisa ditukar banyak hal. Bank sentral di negara manapun, dalam kondisi tertentu bisa mencetak uang kertas berapa saja yang mereka kehendaki atas dasar kepercayaan yang ditanamkan kepada warga negara.
Dengan demikian uang yang dominan beredar saat ini adalah anak haram dari nenek moyang mereka yakni emas dan perak. Dilahirkan begitu saja tanpa ada ijab kabul dengan salah satu logam mulia ini. Dalam sejarahnya, sebelum diciptakan uang kertas untuk meringkaskan kerja – kerja manusia, uang logam dari emas dan perak adalah alat tukar yang paling sah setelah habisnya zaman barter.
Uang logam emas dan perak memiliki nilai instrinsik yang setara dengan nilai pasarnya. Sedangkan penggantinya hanya kertas biasa bermodalkan benang pengaman yang diciptakan negara. Jika sebuah negara bubar, maka mata uangnya tak bernilai apa – apa lagi.
Mengapa hingga akhirnya uang kertas tidak lagi mewakili atau setara banyaknya dengan cadangan emas dan perak, yang mestinya disimpan dalam bank sentral, itulah sejarah keluguan umat manusia yang terhuyung-huyung karena tidak bisa mengontrol diri. 

Makin terlihat naif ketika kita menyaksikan kenyataan nilai tukar untuk satu Dolar Amerika atau Euro harus ditebus dengan belasan ribu rupiah, sedangkan nenek moyang mereka sudahpasti sama, yakni emas dan perak.
Begitu pula ketika ekonomi kapitalis yang dimotori riba sebagai dasarnya. Ketika pertumbuhan semu tercipta, ia tinggal menunggu waktu kapan meledak, berantakan dan menyisakan penderitaan panjang bagi manusia. Namun dasar manusia tempatnya lupa, peringatan yang sudah beradab-abad itu mereka lupakan. 

Krisis moneter 1997 adalah bukti pahit dari sistem keuangan yang diciptakan para penganutmazhab Keynesianisme yang taklid buta. Recovery atas krisis tersebut dengan menggunakan cara pandang ini (intervensi pemerintah untuk menyelamatkan bank – bank collapse) bahkan lebih pahit lagi.
A. Riawan Amin dalam Satanic Finance (True Conspiracies) menjelaskan panjang lebar tentang keburukan Bunga (interest). Bunga selalu dianggap semacam charge yang wajar. Instrumen bunga muncul dan semakin mengambil peranan dalam ekonomi ketika manusia melakukan revolusi moneter. Sebut saja begitu, karena transaksi manusia yang biasanya diwakili dengan logam berharga, sekonyong - konyong diganti dengan secarik kertas tiada harga.
Namun, sebetulnya bunga tidak berdiri sendiri. Sistem ini semakin lengkap ketika kita mulai mengenal apa yang disebut sebagai persyaratan cadangan wajib (fractional reserve requirement) dan puncaknya, kita menerima berlakunya sistem bunga yang sudah dilarang oleh semua agama samawi dan disebutkan secara jelas pula dalam Taurat (Exodus 22:25) dan Injil (Leviticus 25:36).
Hal - hal ini bersama-sama saling berkelindan menciptakan sistem ekonomi yang rentan. Mereka membentuk pilar setan yang mengancam kestabilan ekonomi jangka panjang.
Kita menyangka ekonomi akan terus tumbuh. Padahal, kemampuan sektor riil untuk tumbuh ada batasnya. Sementara sektor moneter yang setiap saat bisa menggandakan uang jauh meninggalkan sektor riil. Ketidakseimbangan inilah yang akhirnya bisa meletup setiap saat. 

 Ketika gelembung balon ekonomi yang terus dipompa itu tidak lagi kuat menahan beban, letupan besar pun terjadi. ltulah krisis ekonomi. Itulah huru-hara yang dampaknya bisa jauh menyengsarakan dari perang. Al Quran pada 14 abad yang lalu telah memperingatkan manusia tentang fenomena ini. ~MNT

Comments