Wasiat Sang Pemisah


Ilustrasi: https://eatdosirak.files.wordpress.com



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Ia adalah kultus kepahlawanan. Penghunus pedang paling mematikan dan Singa Padang Pasir paling dihormati sekaligus peminum anggur paling berat.  Ia terlahir dari kelas menengah yang pandai baca tulis. Selain menyandang pedang dan membela berhala dengan sengit, ia juga berbicara dalam bahasa sastra yang indah khas padang pasir.

Umar bin Khattab adalah jawara tanah Arab. Sudah banyak yang ia bunuh atau terputus anggota tubuhnya. Di satu sisi ia adalah sastrawan paling indah frasanya. Orang Padang Pasir bicara dengan lantunan kalimat mengagumkan dan rumit yang sebagian dipetik dan disebarkan secara lisan dari bacaan – bacaan epik misalnya sastra kepahlawanan perang antarsuku yang haru biru. Mereka tidak berbicara kecuali di dalamnya ada sastra. Setara zaman, di masa itu hanya seujung kuku orang di jazirah Arab yang mengenal literasi, salah satunya adalah Umar.

Di sinilah kemahaindahan sastra Alquran memainkan perannya. Umar yang sudah maestro dan mengenal segala lekuk keindahan prosa Arab tersimpuh berlinang air mata ketika ia merampas dan membaca potongan surat Thoha ayat 1 sampai 8 dari adik perempuannya, Fatimah binti Khattab. Seumur hidup ia belum pernah membaca lantunan kalimah seindah itu. Umar terguncang, padahal beberapa jam sebelum itu ia telah mengumumkan untuk membunuh Nabi Muhammad.

Doa Baginda Rasulullah terkabul. Muhammad SAW berdoa kepada Rabb-nya, jika bukan Abu Jahal pamannya yang akan memperkuat Islam maka berikan hidayah itu kepada Umar bin Khattab. Umar masuk Islam sedang Abu Jahal menjadi penentang yang nyata.

Sejak Umar memeluk Islam maka segalanya berubah. Dia tidak hanya memperkuat sendi dakwah Rasulullah, tapi tabiatnya berubah total. Umar kemudian dikenal sebagai sahabat nabi yang memiliki reputasi sangat baik dalam strategi perang. Rasulullah pun menganugerahinya gelar Al Faruq yang berarti orang yang mampu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.

Ketika menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar Asshiddiq, Umar semakin menampakkan kualitas pribadinya. Imperium Islam tumbuh pesat. Umar mengambil alih Mesopotomia dan sebagian Persia dari tangan Dinasti Sassanid kemudian Mesir, Palestina, Syiria, Afrika Utara dan Romania dari kekaisaran Romawi (Byzantium).

Saat itu ada dua negara adidaya yakni Persia dan Romawi, tapi keduanya berhasil ditundukkan Umar. Michael H Hart menempatkan Umar pada urutan ke 51 dari 100 tokoh paling berpengaruh dalam Sejarah. Urutan pertamanya adalah Muhammad Rasulullah.

Dengan cahaya Islam, negeri – negeri di bawah kepemimpinan Umar diperlakukan sangat adil. Muslim memperoleh haknya demikian pula bagi non muslim. Saat yang lain sedang mendengkur, ia merayap malam – malam untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya.

Jika ada yang kelaparan, secepat kilat Umar mengantar sekarung gandum tanpa saksi mata. Blusukan zaman sekarang jangan pernah disebut - sebut untuk setanding dengan Umar, apalagi jika tidak ikhlas hanya untuk memburu sorot kamera.

Umar adalah sosok pemimpin teladan sepanjang masa. Ia adalah Sang Pemisah, yang mempu memisahkan yang hak dan yang bathil. Pernah suatu ketika ia melihat kondisi jalan yang rusak, Umar berkata, “Aku akan segera perbaiki jalan itu. Sebab aku takut dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah nanti, hanya karena ada unta yang terjungkal”.

Umar adalah Sang Pemisah antara yang hak dan yang bathil, antara yang benar dan yang salah, dan terus menerus menjadi wacana kekaguman publik, tapi hampir tidak pernah ditiru.

Semenjak menjadi Islam, sastra tutur Umar semakin halus dan berkelas. Tidak memaki dan mencela. Tidak meninggikan suara dan memotong bicara. Sebagaimana wasiatnya: Jika engkau ingin mencela seseorang maka celalah dirimu sendiri. Karena sesungguhnya engkau tidak mengetahui kekurangan seseorang yang terbanyak melebihi dirimu.

Sebagai pemimpin sebuah imperium besar, Umar selalu dapat mempertahankan kesederhanaannya. Tidak bermewah – mewah apalagi menggunakan fasilitas itu melebihi dari apa yang harusnya ia peroleh.

Wasiat Umar lainnya yang cukup terkenal adalah: Bila kalian ingin memusuhi seseorang atau sesuatu, maka musuhilah perut kalian, maka tidak ada musuh yang lebih berbahaya bagi kalian selain perut kalian sendiri.


****

Mari kita tilik praktik birokrasi dan administrasi publik zaman sekarang dibanding masa Umar, 1.400 tahun yang lalu. Administrasi Publik telah dikenal sejak mulai adanya sistem politik di suatu negara. Fungsinya adalah untuk mencapai tujuan para pembuat kebijaksanaan politik. Studi mengenai aktivitas administrasi publik dimulai melalui pendekatan yang berasal dari satu disiplin ilmu tertentu yang kemudian dikenal dengan nama birokrasi.

Pada abad ke-18 di Eropa Barat sudah dilakukan studi terhadap birokrasi pemerintahan yang ditinjau dari segi hukum dan politik seperti yang dilakukan oleh de Gurnay. Sedangkan pada abad ke-19, mulai dikembangkan pendekatan sosiologis terhadap birokrasi misalnya oleh H Spencer dan Deplay (Albrow, 1970).

Di Amerika Serikat sendiri, studi terhadap administrasi publik dimulai pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Wodrow Wilson dengan tulisan berjudul The Study of Administration.
Semenjak itu administrasi publik mulai diakui sebagai spesialisasi baik sebagai subfield daripada Ilmu Politik atau sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Hal ini kemudian disempurnakan oleh Max Weber yang menulis tentang konsep-konsep Birokrasi Patrimonial dengan Birokrasi Modern. 

Seperti yang diuraikan oleh Tjahya Supriatna dalam Administrasi, Birokrasi dan Pelayanan Publik, konsep yang dituliskan Max Weber tersebut menjelaskan bahwa Birokrasi Patrimonial berfungsi berdasarkan nilai-nilai tradisional (menurut ukuran Weber) yang tidak mampu memisahkan antara tugas, wewenang dan tanggungjawab resmi kedinasan dengan urusan pribadi pejabat yang mengelola birokrasi.

Sementara Birokrasi Modern didefenisikan dengan ciri-ciri tertentu seperti adanya spesialisasi, berdasarkan pola hukum, serta adanya pemisahan yang tegas dengan urusan pribadi pejabat. Max Weber mengidentifikasikan ciri-ciri birokrasi modern dalam bentuk yang ideal (ideal type) dan menyebut birokrasi tersebut sebagai birokrasi yang rasional dan berdasarkan pada hukum rational legal bureaucracy.

Sedangkan studi yang sistematis terhadap administrasi bisnis dimulai pada awal abad ke-20 dengan pendekatan yang dikenal sebagai manajemen ilmiah (scientific management) yang kemudian disusul oleh gerakan human relation, pendekatan kontingensi dan pendekatan prilaku. Yang menarik dari batasan tentang birokrasi modern tersebut adalah, bagaimana attitude para penyelenggara birokrasi publik dapat beradaptasi pada model Birokrasi Modern yang sangat menekankan profesionalitas?.

Studi kasus tentang model pelayanan publik di Tanah Air belum begitu banyak beranjak dari Birokrasi Patrimonial yang berfungsi berdasarkan nilai-nilai tradisional. Gejala ini dapat dilihat secara kasat mata pada proses penempatan jabatan struktural yang masih berdasarkan rumus like and dislike, hubungan kekerabatan atau tekanan politik tertentu.

Pelayanan administrasi publik kemudian makin dikacaukan dengan pencampuradukan tanggung jawab resmi dengan kepentingan pribadi pejabat. Ini tentunya sangat berpengaruh pada kualitas pelayanan dan biaya.

Efesiensi waktu dan finansial bagi masyarakat pengguna pelayanan administrasi publik hampir tidak bisa diharapkan. Meski telah dilakukan pengetatan misalnya dengan menaruh Closed Circuit Televison (CCTV) di ruang pelayanan untuk mendeteksi amplop yang wara wiri, para pelayan publik yang memiliki moral cacat akan mengatur pertemuan di alam bebas atas suatu deal tertentu. 

Profesionalisasi administrasi publik antara lain dapat dilakukan dengan membiarkan pelayanan administrasi dikelola melalui manajemen ilmiah sehingga dapat diterapkan prinsip-prinsip efisiensi. Makanya, berpuluh-puluh tahun yang lalu Wilson sudah mengantisipasi adanya dikotomi antara rentetan politik dan administrasi publik. Wilson menghendaki agar administrasi publik harus dikelola secara ilmiah.

Di Indonesia hal ini menjadi sulit karena dimensi politik sudah mengakar dan bebas nilai. Spirit otonomi daerah juga telah memberi kewenangan kepada legislator di daerah untuk mengatur “orang dalam” atas nama rakyat, namun kemudian sulit dibedakan mana kepentingan rakyat, mana kepentingan politik komunal.

Perlu komitmen bersama untuk menerapkan pola birokrasi modern yang diinginkan setiap individu. Birokrasi harus dapat dicegah dari prilaku sewenang-wenang. Birokrasi dalam bentuk yang ideal harus diatur dalam prinsip-prinsip hukum dan bersifat rasional (rational legal bureaucracy).

Ciri-cirinya adalah pengaturan terhadap tugas-tugas pejabat agar bersifat impersonal, dalam artian memberikan pelayanan yang sama kualitasnya tanpa melihat strata sosial atau sesuatu di balik itu, kemudian adanya kecenderungan untuk menjadikan administrasi publik lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Kemudian secara berkala dilakukan evaluasi program mencakup proses pengumpulan, analisis dan interprestasi informasi tentang kebutuhan terhadap program, serta efisiensi dan efektivitas pencapaian hasil program yang diinginkan. Hal ini sejatinya dapat dipantau secara terang oleh publik.

Manajemen ilmiah dengan pola birokrasi modern yang dicanangkan Max Weber sebenarnya telah dipraktikkan dengan sangat mengagum di zaman penerus Rasulullah oleh Sang Pemisah, Umar bin Khattab. ~MNT






Comments