Welfare State





Oleh Muhammad Natsir Tahar

Dahulu kala, para tiran naik tahta dengan pembantaian berdarah dan mencengkam kekuasaannya kuat – kuat selama hidup. Seorang tiran bahkan mencekik sampai mati siapa saja yang berani mengusik tahtanya. Lelaku merebut dan mempertahankan kekuasaan menjadi ritus kematian, kecuali para kaisar dari titisan dewa dewi dalam mitologi Yunani Kuna atau semacamnya. Sejahat apapun raja – raja “titisan” langit ini, legitimasi mitos yang mereka genggam tak tergoyahkan turun temurun, sampai rakyat menggerakkan revolusi.

Selama perang, Diktator Paraguay, Francisco Solano Lopez (1827 – 1870) dan isterinya Eliza Lync telah menguras habis kekayaan negeri itu. Ia kirimkan semua cadangan kekayaan negara ke luar negeri, merampok perhiasan para wanita desa, mencaplok tanah lalu menjarah rumah dan gereja.

Presiden Republik Afrika Tengah, Jean Bedel Bokassa (1921 – 1996) bahkan dinobatkan sebagai salah satu tiran paling kejam di abad modern. Ratusan anak sekolah dibunuh gegara menolak mengenakan seragam yang dibuat oleh pabrik miliknya. Ia memulai pemerintahan teror, menguasai seluruh jabatan pemerintahan bagi dirinya sendiri. Bahkan ia sendiri yang mengawasi penyiksaan pengadilan.

Pada 1977, untuk menyamai idolanya Napoleon, ia mengangkat diri sendiri sebagai kaisar dariRepublik Afrika Tengah dalam sebuah upacara senilai 200 juta dolar, yang langsung membangkrutkan negara itu. Bakossa menduduki singgasana dengan mahkota berlian seharga 5 juta dollar.

Di luar contoh dua pemimpin paling tiran tersebut, sebenarnya rakyat hampir tak peduli seperti apa reputasi pemimpin mereka dan selama apa sebuah dinasti  memimpin, asal negara mampu menghidangkan paket – paket kesejahteraan sampai tidak ada satu manusia pun yang mati kelaparan atau menjadi pengemis di jalanan.Dengan catatan, tidak ada lagi yang dibunuh tanpa alasan yang kuat.

Konsep negara kesejahteraan (welfare state) mestinya menjadi sebuah kebenaran perenial yang melintasi zaman, agama, peradaban dan kebudayaan, sayangnya hanya sedikit negara di dunia yang mengimaninya. Bahkan beberapa di antaranya menganggap bahwa welfare state  hanyalah negara khayalan (utopia) yang diigaukan para jemaah Platonik.

Dalam perspektif kekinian, negara kesejahteraan didefinsikan sebagai konsep pemerintahan ketika negara mengambil fungsi penting dalam perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya.

Konsep ini didasarkan pada prinsip kesetaraan kesempatan (equal oportunity), distribusi kekayaan yang setara, serta tanggung jawab masyarakat kepada kaum papa untuk memenuhi persyaratan minimal hidup layak. Istilah ini secara umum bisa mencakup berbagai macam organisasi ekonomi dan sosial.

Sosiolog T.H. Marshall mengidentifikasi negara kesejahteraan sebagai gabungandemokrasi, kesejahteraan, dan kapitalisme. Para pakar menaruh perhatian khusus pada cara Jerman, Britania Raya dan negara-negara lain dalam mengembangkan sistem kesejahteraannya secara historis.

Segelintir negara yang menganut konsep welfare state itu meliputi negara Nordik seperti Islandia, Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia (di Asia Tenggara kita mengenal  Brunai Darussalam). Mereka menerapkan sistem yang dikenal dengan istilah model Nordik. Esping-Andersen mengelompokkan sistem negara kesejahteraan paling maju menjadi tiga kategori: Demokratik Sosial, Konservatif, dan Liberal.

Salah satu metode yang digunakan negara kesejahteraan sebagaimana terdapat dalam laman Wikipedia  adalah transfer danadari negara ke jasa-jasa yang disediakan misalnya layanan kesehatan dan pendidikan serta perorangan (dalam bentuk tunjangan). Dana tersebut berasal dari sistem pajak redistribusionis dan sering disebut sebagai contoh ekonomi campuran.

Perpajakan semacam itu biasanya meliputi pajak pendapatan yang lebih besar bagi orang-orang berpendapatan tinggi, yaitu pajak progresif. Ini dapat membantu mengurangi kesenjangan pendapatan antara penduduk kaya dan miskin.

****

Indonesia sebelumnya memiliki ideologi dasar yang menganut paham welfare state sebagaimana sudah tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33. Namun sayangnya landasan ini hanya bersifat teoritis - utopis karena semua bunyi ayat dalam pasal tersebut telah dikangkangi bahkan telah diamandemen. Alhasil tujuan bernegara kita untuk mensejahterakan seluruh tumpah darah Indonesia tidak tercapai.

Dalam logika liberalisasi ekonomi yang oleh Indonesia bahkan dianggap common sense, penerapan konsep – konsep negara kesejahteraan menjadi jauh panggang dari api alias kontraproduktif. Jangankan untuk mensubsidi warga negara tidak mampu, negara bahkan telah mencabut hampir semua subsidi yang selama ini diberikan utamanya BBM dan listrik seraya meningkatkan pajak pada jelata.

Jangankan untuk memikirkan kesejahteraan rakyat, bahkan politik anggaran memberikan ruang yang terlalu sempit untuk dana pembangunan dan kesejahteraan publik. Rerata 70 persen dari postur anggaran negara dan daerah dihabiskan hanya untuk ritual seremonial penyelenggaraan pemerintah besertagaji dan tunjangan bagi segenap pamong. Sisanya yang 30 persen terdistribusi ke masyarakat berupa remah – remah bahkan ampas karena disalurkan dengan cara – cara akrobatik.

Lalu apa alasan bagi para pemimpin di negeriini untuk terus berpidato dengan kepala tegak, jika cukai yang ditarik dari keringat rakyat lebih banyakdigunakan untuk membayar ongkos pidato itu, lalu dengannya pula mereka mengumumkan faktatentang mesin – mesin pembangunan yang terus bergerak. Padahal hampir semuanya didapatkan dari utang yang menjadi legasi abadi untuk anak cucu kita di masa depan.

Sebagai bangsa yang pandai bersyukur kita hanya bisa mengurut dada, setidaknya Francisco Solano Lopez dan  Jean Bedel Bokassa tidak sedang hidup di Indonesia. ~MNT




Comments