Oleh Muhammad Natsir Tahar
Para
akademisi dunia sejak tiga dekade lalu mempopulerkan istilah Failed State atau
Negara Gagal. Indikator yang digunakan untuk menyebut sebuah negara telah gagal
adalah tidak bekerjanya tiga fungsi minimal negara yakni keamanan nasional,
pemeliharaan pranata sosial politik masyarakat dan administrasi publik.
Ketika
negara tidak lagi mampu menjalankan fungsi minimalnya, maka dalam rentang
analisis ia dinyatakan telah gagal serta berada dalam skala tertinggi. Di atas
permukaan, Negara Gagal dapat berupa krisis multidimensi di bidang ekonomi,
politik, keamanan, sosial, konstitusi, legitimasi dan seterusnya yang biasanya
berpadu dengan rendahnya kohesivitas di antara elit politik.
Untuk
skala yang lebih rendah, istilah yang biasa digunakan adalah Fragile State atau
Negara Labil dan State in
Crisis/Failing State atau Negara Menuju Gagal. Indikator-indikator
yang digunakan sebenarnya serupa Negara Gagal namun dengan derajat yang
berbeda. Negara disebut labil, ketika persoalan-persoalan serius yang terjadi
selama periode krisis ternyata tidak mampu diatasi oleh pemerintah yang berkuasa.
Sedangkan
Negara Menuju Gagal secara sederhana biasanya ditandai oleh krisis akut pada
kondisi institusi Negara yang harus menghadapi tantangan serius seperti krisis
ekonomi, wabah penyakit, instabilitas nasional dan krisis konstitusi sehingga
penyelenggara negara relatif kurang mampu menghadapi tekanan dari lawan-lawan
politiknya.
Kemudian
apabila kategorisasi tersebut digunakan sebagai acuan analisis, maka terdapat
paling tidak tiga periode dalam rentang sejarah negara Indonesia yang
menunjukkan indikator ke arah negara hampir gagal yaitu pada akhir periode
Demokrasi Terpimpin (1965 – 1966), akhir periode Orde Baru (1997-1998), dan
awal Periode Reformasi (1998-1999). Lalu bagaimana dengan kondisi kekinian?
Untuk
tidak terkesan tendensius, baiknya kita menilik tujuan dan fungsi negara oleh
para ahli yang apabila tujuan dan fungsi itu tidak tercapai maka sebenarnya
sebuah negara telah dinyatakan gagal tanpa perlu melihatnya apakah sudah
dicatat dalam barisan Negara Gagal seperti Somalia, Sudan, Zimbabwe, Chad,
Kongo atau Pantai Gading.
Menurut
Harold J. Laski, tujuan negara adalah menciptakan keadaan yang di dalamnya,
rakyat dapat mencapai keinginan-keinginannya secara maksimal. Tujuan negara
menurut Aristoteles pula adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas
keadilan. Keadilan memerintah harus menjelma di dalam negara, dan hukum
berfungsi memberi kepada setiap manusia apa sebenarnya yang berhak ia terima.
Sementara
dalam teori Walfare
State (Negara Kesejahteraan) yang secara konstitusional Indonesia
adalah penganutnya, tujuan negara adalah mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.
Sepanjang masih ada rakyat yang melarat maka sepanjang itu pula negara telah
gagal.
Kenyataannya
kemudian, peran negara semenjak didirikan - meminjam Immanuel Kant – hanya
sebagai Nachtwakerstaat atau
Negara Penjaga Malam yang tugasnya sebatas menjamin ketertiban dan keamanan
masyarakat di samping tugas rutin sebagai perangkat administrator.
Soal anggaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat posisinya hanyalah sebagai dana sisa dari biaya rutin yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai dirinya sendiri. Yang sedikit itupun, disalurkan dengan cara yang sangat sulit bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta politis. Selebihnya hanyalah retorika atau lips service untuk melanggengkan kekuasaan.
Soal anggaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat posisinya hanyalah sebagai dana sisa dari biaya rutin yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai dirinya sendiri. Yang sedikit itupun, disalurkan dengan cara yang sangat sulit bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta politis. Selebihnya hanyalah retorika atau lips service untuk melanggengkan kekuasaan.
Pemerintah
baik pusat maupun daerah kini hanyalah pemungut pajak yang aktif dan terus
asyik dengan dirinya sendiri bersama orang – orang dalam lingkaran kekuasaan.
Dan rakyat tetaplah rakyat, sebagai syarat yang harus ada demi berdirinya
sebuah negara yang bisa diperas keringatnya atas nama pajak, retribusi dan
segala bentuk pungutan.
Subsidi tidak ada lagi dan rakyat harus berjuang sendiri untuk mengimbangi lajunya kenaikan harga – harga. Atau turun ke jalan dan aktor – aktor politik dalam kekuasaan selalu ingin muncul sebagai pahlawan.
Subsidi tidak ada lagi dan rakyat harus berjuang sendiri untuk mengimbangi lajunya kenaikan harga – harga. Atau turun ke jalan dan aktor – aktor politik dalam kekuasaan selalu ingin muncul sebagai pahlawan.
Adapun
hak-hak rakyat Indonesia yang telah dilalaikan negara dan seperangkat
aparatusnya sekaligus melanggar hukum dan konstitusi negara adalah pertama, fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34, Bab XIV, UUD 1945).
Kedua, rakyat berhak meminta penghidupan yang layak (Pasal 27, Bab X, UUD 1945). Lalu apa yang bisa dilakukan oleh negara untuk mensejahterakan rakyatnya dengan anggaran sisa yang benar - benar sisa. Sisa dari hutang pula? Belum lagi soal kenaikan harga – harga yang hampir tak pernah bisa diatasi oleh negara dan bahkan mereka justru menjadi faktor penyebab. ~MNT
Kedua, rakyat berhak meminta penghidupan yang layak (Pasal 27, Bab X, UUD 1945). Lalu apa yang bisa dilakukan oleh negara untuk mensejahterakan rakyatnya dengan anggaran sisa yang benar - benar sisa. Sisa dari hutang pula? Belum lagi soal kenaikan harga – harga yang hampir tak pernah bisa diatasi oleh negara dan bahkan mereka justru menjadi faktor penyebab. ~MNT
Comments