Simfoni Hebat Keberantakan



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Sulit menemukan gairah kreatifitas dari zona nyaman. Sesuatu yang stabil bahkan menjadi musuh kegeniusan. Terlalu nestapa dalam jangka panjang atau terlalu nyaman, tidak menyebabkan para pesohor muncul dari sana. Mereka hidup dari kilasan cepat di antara keduanya. Bahkan yang lebih banyak berselancar dalam sapuan gelombang ganas adalah yang terbaik dari semua.

Banyak orang hebat yang menderita penyakit dan kecacatan. Edison setengah tuli, Aldous Huxley setengah buta, Alexander Graham Bell dan Picaso disleksia. Michaelangelo, Titian, Goya, dan Monet semuanya menyandang penyakit yang justru jadi pelecut yang menghebatkan karya mereka.

Michaelangelo misalnya, terlalu kesakitan saat melukis Kapel Sistine, yang kemudian melahirkan sosok – sosok yang terpelintir. Itu bahkan menjadi aliran mannerism, aliran seni hebat berikutnya. 

Socrates lain lagi sakitnya, ia memiliki Xanthippe istrinya, wanita paling pemarah di Athena kuna. Semakin banyak Xanthippe meracau, semakin banyak pula Socrates pergi berkutbah. Dan sepertinya selain anak – anak, hampir satu Athena pernah memarahi Socrates.

Dalam ruangan sepi perabotan, sebuah piano kecil seukuran anak – anak telah dijadikan oleh Beethoven untuk menulis opera pertama dan satu – satunya, Fidelio, serta komposisi pendek yang manis berjudul Fur Elise. Dia tahu dia akan tuli dan menderita karena kehilangan satu indera terpenting dalam dunianya. Namun ketulian itu tak menganggu produktifitas kreatif Sang Maestro. 

Wina adalah kota paling musikalitas di abad 18. Padat dan kotor, dengan kereta kuda yang berisik, bunyi kuku kuda yang mengantam jalan batu menciptakan gangguan konstan di samping secara rutin mencipratkan kotoran dan debu.

Para kuli menyemprot jalanan dua kali sehari dalam upaya sia – sia mereka untuk menjaga sanitasi. Tapi kejeniusan musik itu muncul bagai bunga Lotus, di antara kotoran dan kekacauan. Mozart dan Beethoven dua komposer hebat – keduanya terpaut 15 tahun - muncul dari sana. Joseph Haydn, Bach dan Handel juga tentunya.

Di masa itu para komposer saling berpantulan dan tubruk – tubrukan yang kemudian mengubah arah kecepatan dan lintasan mereka. Mozart dan Bethoven, kedua raksasa musik ini hanya berpapasan satu kali, pada tahun 1787.

Bethoven baru 16 tahun tapi sudah sombong, dia mendengar Mozart bermain piano lalu mengatakan gayanya zerhackt, tersentak – sentak. Dua kutub pada medan magnet memang jangan dihadap – hadapkan. Serupa pula dengan Leonardo da Vinci dan Michelangelo yang saling mendengus.

Mozart penyuka uang. Ia mendapat banyak uang tapi membelanjakannya lebih banyak lagi untuk pakaian, hidangan mewah, dan terutama judi. Hingga ia mendapati dirinya berutang 1.500 florin, senilai lebih dari setahun penghasilan layak ketika itu.

Hingga utang – utang tersebut menjadi sumber kesengsaraan, yang mendorongnya untuk menulis musik lebih banyak. Tanpa kegetiran ini, dunia tidak akan berterima kasih kepadanya atas begitu banyaknya keindahan musik yang ia persembahkan.

Mozart menyusun simfoni seperti Pixar menyusun filmnya: dirancang untuk penonton yang berbeda pada saat yang sama. Namun sayangnya ia musisi dunia paruh waktu. Ketidakpastian penghasilan dan impitan utang menyebabkan banyak kesedihan dan mungkin mempercepat kematiannya dalam usia 35 tahun. 

Mozart pernah mencipta kuartet aneh dan menyentak. Itu hasil ketika ia menulisnya tepat saat istrinya berjuang dengan maut untuk melahirkan anak pertama mereka. Segala sesuatu yang tidak nyaman terhimpun di sana ketika musik itu lahir susul menyusul dengan anak pertamanya.

Seorang pemerhati musik Constanze belakangan membenarkan bahwa kuartet itu mengandung beberapa bagian yang merefleksikan kesakitannya, terutama pada bagian minuet. 

Sepanjang hidupnya, Beethoven selalu sulit menghalau kegelisahan. Ia mencipta dalam ruangan berantakan. Seorang tamu terhormat dari Perancis menggambarkannya sebagai tempat paling kotor dan brengsek yang dapat dibayangkan.

Bercak – bercak lembab menutupi langit – langit, piano tua yang dilapisi debu di antara lembaran cetakan musik, setumpuk pulpen dengan tinta yang mengeras, kursi – kursi yang tertutupi piring kotor dan sisa makanan semalam. Atau sesekali ia mandi di ruang tamu, membasahkan apa saja.

Tapi simfoni hebat telah muncul dari situasi serba keberantakan itu. Di sebuah kota yang sangat beriya-iya dengan musik dalam penghormatan yang tinggi dan kekaguman yang bisa ditularkan pada setiap zaman.

Mereka bahkan saling menulis satu sama lain, Mozart menulis untuk Haydn, mentor sekaligus ayah angkatnya. Haydn mengajari Beethoven kemudian terpengaruh olehnya. Beethoven menulis untuk mendiang Mozart, bersusah payah agar tidak menirunya, sampai – sampai upayanya itu malah menjadi semacam peniruan.

Einstein memuji Mozart seperti sesuatu yang murni terlahir dari alam. Meminjam filsafat Zen, sesuatu itu yang muncul dan mencengangkan dunia adalah harmoni, ia akan muncul secara berulang dari segala masa dan tempat yang lain.

Ingat bahwa ketiganya atau siapapun di masa itu tidak pernah menulis musik klasik, mereka justru berpacu untuk menampilkan simfoni paling spektakuler pada masanya. Kitalah yang menyebut itu sebagai musik klasik, karena kita mengidap pemahaman waktu monokronik linier. 

****

Adalah Wage Roedolf Soepratman – simfoni yang muncul dari keberantakan – situasi zaman kolonial yang sulit. Ketika Indonesia Raya digubah dan pertama sekali dikumandangkan, ia diburu polisi Hindia Belanda, sampai jatuh sakit di Surabaya. 

Dan saat ia menyiarkan lagu terakhirnya Matahari Terbit pada awal Agustus 1938, ia ditangkap bersama pandu-pandu di Malang, kemudian ditahan dan dipenjara di Kalisosok. Soepratman meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938, tepat tujuh tahun sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945.

Tak sempat ia menyaksikan Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan. Sebagaimana Mozart juga tak sempat melihat Beethoven menjadi besar untuk disandingkan dengan namanya di kemudian hari. Kawan, tetaplah bertahan di zona nyaman, atau lahirkan masterpiece-mu dan apapaun yang akan menghebatkanmu.! ~MNT


Comments