Vox Populi






Oleh Muhammad Natsir Tahar


Ibarat telepon genggam, demokrasi kita sebatas demokrasi casing, tapi prosesor dan fitur – fiturnya adalah aristokrasi. Ini akibat rakyat tak pernah ingin membongkar kebiasaan berpikirnya, bahwa merekalah sebenarnya kendali utama negeri ini.

Sedangkan aparatus adalah perkakas. Demokrasi adalah kepura-puraan yang berulang. Demokrasi diterjemahkan hanya sebatas: mulut bebas mengata – ngatai pemerintah dan membeku dalam kotak – kotak politik.

Rakyat selalu ingin berada pada posisi yang inferior untuk menaruh hajat hidupnya kepada pemimpin dan elitis. Rakyat kastanya turun drastis sebatas juru sorak demokrasi dalam ritual pemilu. Menjadi pembela paling taat atau pembenci paling depan. 

Rakyat berada dalam kotak – kotak berseberangan yang di dalamnya ada figur yang mereka elukan seumpama orang suci. Setiap kotak memiliki kecenderungan untuk memonopoli kebenaran. Jika satu kotak muncul sebagai pemenang dalam Pemilu maka rakyat dalam kotak itu lantas merasa sebagai the winner takes all. Dan yang kalah membekukan diri menjadi barisan sakit hati.

Rakyat akan selalu lupa bahkan alfa bahwa figur yang mereka usung sebagai pemimpin hanyalah perkakas. Perwakilan politik bersifat sementara, sedangkan kedaulatan rakyat itu permanen. Memilih demokrasi sebagai sistem politik berarti menerima pandangan filosofis bahwa manusia adalah makhluk yang terus menerus berbuat salah dan dalam waktu bersamaan demokrasi adalah satu – satunya sistem politik yang menyediakan fasilitas untuk mengoreksi dirinya sendiri demi perkembangan kemanusiaan yang lebih baik. Namun jika pemimpin itu telah melaksanakan kebenaran, baiknya diberi apresiasi dan dukungan oleh semesta rakyat meski dia berasal dari kotak lawan.

Rakyat adalah mereka yang mendudukkan seseorang atas rembukan analitis intelektual sehingga nama yang diusung adalah dia – setidaknya - yang paling terbaik. Lalu membiarkan etika demokrasi bekerja setara dengan kejujuran intelektual, yaitu terbuka untuk diperiksa, diuji, dikritik dan bahkan dipenjara, demi perbaikan negeri ini. Siapapun itu apakah di kotak lawan atau kotak sendiri.

Sedangkan mereka yang memilih, memihak dan mengelukan satu figur atas prinsip dan keyakinan sendiri dan menjadi pembela sampai mati dengan pengabaian logika, bersikap denial dan menyumbat netralitas ruang publik, dalam logika demokrasi mereka ini tidak pantas disebut rakyat, lebih tepatnya hanyalah budak demokrasi.

Mental budak dalam demokrasi yang payah akan tetap dipelihara sehingga rakyat – dalam tanda petik – fungsinya akan berbalik justru menjadi perkakas untuk menjalankan fungsi pengumpulan kepentingan dan seleksi politik dalam demokrasi perwakilan (representative democracy).

Rakyat mesti membangun ulang pikirannya kembali bahwa demokrasi – itupun jika kita masih ingin menggunakan sistem ini dengan ikhlas dan on the track – harus hidup melalui partisipasi rasional dari seluruh warga negara.

Ini berarti bahwa demokrasi harus selalu bersifat pembelajaran publik (public learning). Dengan pembelajaran publik itu, artinya cara berpikir dengan demokrasi adalah melepaskan diri dari ketergantungan dan keterkaguman tanpa henti kepada satu dua figur yang kita idolakan dengan cara – cara melindas logika dan prinsip keilmuan.

Rasionalitas adalah tema yang amat penting bagi demokrasi. Bahwa demokrasi membutuhkan prasyarat – prasyarat sosio-ekonomi yang dalam perkembangannya perlu disusun berdasarkan peta kemungkinan dan peluang sejarah bagi suatu negara agar dapat menjadi demokratis secara ideal formal.

Hal yang sangat jarang ditajamkan oleh para pengelu – elu figur adalah bahwa demokrasi sangat bergantung kepada bekerjanya rasionalitas. Tanpa ini cara berpikir kita akan lebih kuno dari masyarakat Athena yang hidup 2.500 tahun lalu, ketika mereka mulai mengabaikan para pendaku ‘titisan dewa’ untuk merebut tampuk kekuasaan. Ketika itu demokrasi sudah menjadi gaya hidup masyarakat city state di Yunani kuno, lalu kita kapan?

Vox populi vox dei atau “suara rakyat adalah suara Tuhan” yang dipopulerkan oleh William of Malmesbury (abad 12) dan surat Alcuin of York kepada Charlemagne pada tahun 798 M menjadi wajar jika dianggap berlebih – lebihan, karena di dalam rakyat itu banyak yang menerjunkan kastanya menjadi hanya sebatas budak (demokrasi). ~MNT


Comments