Oleh Muhammad Natsir Tahar
Ketika
melihat sebuah buku lama tentang Barack Obama. Saya berpikir untuk membuat
porak poranda buku – buku ini dan menemukan quote – quote menarik –
justru pada ketika – dia masih Senator Junior dari Illinois atau sedikit
setelahnya. Saya ingin memaksakan agar petikan – petikan ini menemukan
relevansinya pada kekinian kita, dengan problema yang ternyata sama atau
menempelkan sedikit joke kalau
– kalau tujuan awalnya tidak berhasil.
Mungkin
hanya manusia pohon yang tidak tahu kalau Mister Obama ini dilahirkan dengan
lidah setajam Cenayang. Kalimat dan pilihan diksinya seperti sugesti – sugesti
hipnosis. Sang Senator mampu melumpuhkan daya jelajah masyarakat Amerika untuk
menemukan calon penghuni Gedung Putih berikutnya, sebaik dirinya. Begitu
selesai, Obama tidak segera disingkirkan ke keranjang sampah sejarah, ia
sepertinya terus meneror ingatan kolektif dunia.
Pun bukan
cuma karena ia hebat berkata – kata, tapi sosoknya yang setengah hitam adalah
sebuah keajaiban lain di tengah upaya penghilangan sentimen ras pada warga
Amerika masih berjingkat - jingkat di atas wacana. Demikianlah mukaddimah tak
seberapa ini untuk kemudian menikmati quote – quote rancak
yang saya lempar secara acak berikut ini.
Tiga atau
empat tahun yang lalu, kalau sedang berdiri di luar restoran untuk menunggu
mobil saya, orang – orang akan melemparkan kunci mobilnya untuk saya
parkirkan. (Charlie Rose Show, 19 Oktober 2006). Tinggal di
Indonesia membuat saya sadar bahwa rasisme merupakan lanjutan dari berbagai
penyalahgunaan kekuasaan yang lain. Tinggal di sana membuat kita tahu bahwa
orang mencari berbagai dalih selain ras untuk menindas. (Crisis,
Oktober 1995).
Persoalan
ras sekarang ini lebih berkaitan dengan kekayaan dan kelas. Ini bukan berarti
tak ada diskriminasi atau pembiasan. Namun saya berpikir bahwa bila orang
merasa kita dapat membantu mereka, baik dalam bisnis atau politik, mereka mampu
melihat melampaui warna kulit. (Essence, Oktober 2006).
Saya
terlibat dalam politik bukan karena ingin jadi JFK, melainkan karena gerakan
hak – hak sipil. Saya merenungkan para perempuan tanpa nama yang berbaris demi
kemerdekaan, yang tak naik bus usai kerja keras seharian mencuci baju kotor
orang lain. Bagi saya itu menggambarkan semangat Amerika yang paling nyata, dan
itulah standar yang saya gunakan untuk mengukur diri saya. (All Things
Considered, 27 Juli 2004).
Saya
selalu curiga pada kultur selebritas kita. Kini saya menemukan diri saya pada
posisi yang janggal ini: menjadi bagiannya pada saat tertentu dan pada saat
tertentu menjadi biangnya. Kita harus mendaur ulang tokoh baru dan yang lebih
baru, dan menumpuk satu kisah di atas kisah lain, sampai bingung siapa yang
sedang kita bicarakan. Bila Anda terobsesi ke dalam hal itu, Anda akan
kehilangan jejak tentang siapa yang Anda bicarakan. (New York, 30
Oktober 2006).
Saya
adalah menu unik di bulan ini. Ini budaya selebritas, dan selera budaya ini
harus dipuaskan. (San Fransisco Chronical, 26 Oktober 2006). Saya
mendapat status selebritas yang keterlaluan dan agak berlebihan dibandingkan
kekuasaan aktual saya di kota ini. (All Things Considered, 10 Maret
2005).
Saya
tidak tumbuh dalam rumah yang religius. Saya mengenang ibu saya sebagai seorang
antropolog dan, seperti Anda tahu, dia membawa saya ke gereja sesekali, dan
lain kali membawa saya ke vihara Budha, juga membawa saya ke masjid. Sikapnya
menakjubkan dan merupakan ekspresi dari upaya manusia untuk memahami berbagai
misteri kehidupan. (Charlie Rose Show, 19 Oktober 2006).
Saya
merasa yakin bahwa bila Anda menyatukan saya seruangan dengan siapa pun – kulit
hitam, kulit putih, Hispanik, penganut paham Republik, Demokrat – beri saya
waktu setengah jam, dan saya akan berlalu dengan meraih suara mayoritas orang –
orang itu. Saya tidak merasa terbatasi oleh ras, geografi, atau latar belakang
dalam menjalin hubungan dengan manusia. (People Weekly, 25 Desember
2006).
Penting
bagi saya untuk memastikan bahwa bila saya ada di rumah, saya harus merasa ada
di sana. Saya masih saja melupakan banyak hal. Seperti yang selalu Michelle
bilang, “Kamu lelaki baik, tapi tetap saja seorang lelaki”. Saya menaruh kaus
kaki di mana – mana. Saya menggantung celana di daun pintu. Michelle menegur
saya kalau salah bertindak. Setelah 14 tahun, dia sudah melatih saya dengan
sangat baik. (Ebony, Februari 2007).
Kedua
putri saya yang masih kecil bisa membuat saya tersentuh. Mereka bahkan bisa
membuat saya menangis hanya karena melihat mereka mau makan sayur buncis. (Houston
Cronicle, 29 Oktober 2006).
Tentu
saja kulit saya terlalu hitam untuk menyetop taksi di New York City. (Tavis
Smiley, 29 Maret 2004). Saya sudah lama merokok dan pernah berhenti.
Sesekali saya kembali merokok. Ini merupakan perjuangan tiada henti. (Knight
Ridder Tribun, 20 Oktober 2006).
Ada
beberapa oknum di masyarakat African American yang mungkin
telah menyiratkan, “Wah, dia berasal dari Hyde Park atau kuliah di Harvard atau
lahir di Hawaii, jadi mungkin dia tidak terlalu hitam. (Chicago Tribun,
26 Juni 2005).
Ini
adalah politik yang selama 24 jam lempar batu sembunyi tangan, iklan negatif,
debat kusir, dan pemikiran dangkal yang tak sedikitpun akan memajukan
kita. (Milwauke Journal Sentinel, 11 Desember 2006). Politik
di Washington secara intelektual sudah setara dengan gulat WWF: baku hantam,
saling lempar kursi, tetapi tak satupun terselesaikan. (Houston
Chronicle, 29 Oktober 2006).
Sekarang
ini kita menghadapi surplus jumlah rekayasa konflik. Konflik itu
direkayasa dalam framing televisi, lewat cara satu kelompok
menggambarkan kelompok lain. Seolah tiada jeda untuk kempanye itu – itu lagi.
Begitulah kita, tak pernah duduk dan benar – benar mengatur pemerintahan. (Charlie
Rose Show, 19 Oktober 2006). Demikian. ~MNT
Comments