Senjata Bernama Retorika




Oleh Muhammad Natsir Tahar

Kemajuan dunia Barat tidak semata dipicu dari ruang pustaka dan bengkel-bengkel penelitian, tapi lebih dari itu, mereka mengambil alih kembali kultur kuno yang lama terkubur yakni filsafat Yunani yang bersumbu pada retorika.

Abad ini retorika dicemooh bagai bualan kosong bermuatan propaganda, bagus memikat bunyinya, tapi dibimbangkan tujuan akhirnya. Jika retorika benar – benar ditunaikan, sudah lama bangsa ini maju.

Retorika memuat kedalaman makna, sebagai pemekaran bakat – bakat tertinggi manusia, sebagai rasio dan citarasa yang mampu mengukur keluasan medan pikiran. Karenanya Plato betah bersimpuh 20 tahun di kaki Socrates guna mencerap sebanyak-banyaknya ilmu retorika.

Retorika dipercaya sebagai ajaran poros demi mengantarkan manusia menjadi tuan dan puan. Membebaskan manusia dari posisi budak dan mengambil alih singgasana tuannya. Dengan senjata para tuan dapat merampas tanah dan negara, tapi dengan retorika, siapa saja dapat menaklukkan hati dan jiwa.

Dahulu kala, Yunani dan Mesir, dua negara super kuno itu menjadikan retorika sebagai mata pelajaran wajib yang bersandingan kuat dengan seni mengangkat senjata. Romawi dan Persia serta lain – lainnya hanya menjadi pengekor sediakala, karena Aristoteles sudah memberikan dasar teoritis yang kukuh.

Retorika menjadi sangat mahal harganya. Socrates misalnya, hanya mampu membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus, karena itu ia hanya mendapatkan dasar – dasar bahasa yang sangat rendah belaka. Socrates kemudian mengutuk kaum Shopis – Prodicus salah satunya – sebagai prostitut. Shopis adalah kumpulan intelektual di Athena, yang jangan diharapkan akan menularkan ilmunya jika tidak ada yang bersedia membayar mahal.

Dahulu kala ada dua ahli retoris yang dijadikan Plato sebagai bahan percontohan. Dia adalah Gorgias yang mewakili kaum Shopis, retorikanya palsu dan berorientasi pragmatif, satunya lagi adalah Socrates yang menyiarkan retorika suci berdasarkan kajian filsafat.

Plato mengingkari Sophisme sebagai ajaran yang berdasarkan kebenaran relatif dan parsial, sedangkan filsafat Socrates membawa kepada pengetahuan sejati. Pada sisi penampakan, Socrates adalah filsuf paling tidak enak dipandang pada zamannya, kumuh, brewokan, dan tanpa alas kaki, tapi sesuatu yang dipancarkan dari hatinya lewat kebagusan retorika, membuat ia abadi.

Begitulah retorika mendapat tempat tertinggi di zaman teramat tua. Abad keempat Sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di helat Olimpiade, orang – orang berhamburan dari tempat – tempat jauh menuju Athena demi menikmati keindahan kata – kata. Dua bintang retorika pada zaman itu yang paling diingat kini adalah Demosthenes dan Isocrates.

Tidak ada yang dikagumkan pada zaman itu selain ahli – ahli retorika. Sampai akhirnya Eropa memasuki abad kegelapan. Ketika mereka dalam kepercayaan penuh bahwa bumi itu datar dan memburu Galilieo yang ‘kurang ajar’ karena mengunduh dan menyiarkan teori heliosentris Copernicus (bumi itu bulat dan matahari sebagai pusat tata surya).

Retorika tidak lagi bertengger di punggung sejarah karena – terutama - Romawi menganggapnya sebagai kesenian zaman jahiliah penyembah batu. Seribu tahun setelahnya, ketika Eropa memasuki fase Renaisans, mereka kembali kepada risalah – risalah Yunani kuno yang sudah terlebih dahulu diterjemahkan oleh ilmuan Timur Tengah, 700 tahun lebih awal.  

Ilmu retorika modern terus dikembangkan. Dalam tataran praktis ia selalu difungsikan sebagai alat propaganda dan agitasi, dan dalam bidang akademis ia diletakkan sebagai salah satu disiplin ilmu yang terpencil. Istilah retorika digeser menjadi Speech Communication atau Public Speaking.

Begitu dahsyatnya ilmu retorika sebagai cara ampuh untuk mengubah dunia, dan menggerakkan ribuan bahkan jutaan orang. Seorang kopral kecil sudah membuktikan ini. Veteran Perang Dunia itu tiba – tiba mencuat di antara kerumunan tidak penting lalu menjadi Kaisar Jerman. Dia adalah Hitler, diakuinya sendiri dalam Mein Kampf, ia menggerakkan jutaan orang lewat sihir – sihir retorika.

Retorika yang disebarkan seorang sarjana teknik bernama Sukarno, mampu menyadarkan jutaan orang mengenai pentingnya menjadi bangsa merdeka membangun dan semangat nasionalisme. Berkat retorika, ia kemudian menjadi Bapak Proklamasi dan Presiden Indonesia Pertama. Demikian pula sejumlah pidato yang mampu mengunggah jutaan pasang mata dari praktisi retorika dunia seperti Martin Luther King, Winston Churchill dan Jawaharlal Nehru.

Tapi retorika yang pada zaman ndeso begitu tinggi harkatnya, kini dicibir akibat ulah para tuan dan puan yang memperalat retorika seperti kaum Shopis. Sebagai ajaran yang membentuk logika berdasarkan kepentingan pragmatis, persuasif, janji – janji politis dan yang entah kapan menjadi nyata. Seperti seseorang yang menjanjikan jembatan di tempat yang tidak ada lembah dan sungai, untuk meniupkan angin surga kepada kerumunan yang ingin sekali melihat sebuah jembatan. ~MNT





Comments