Teori Kebenaran






Oleh Muhammad Natsir Tahar

Bila kita mendefinisikan kebenaran atau memilah mana benar dan salah hanya melalui apa yang terbaca, terlihat dan terdengar, maka kita sedang berada pada tingkatan terendah dalam struktur pengetahuan manusia. Masih ada tingkatan – tingkatan selanjutnya yang hanya dilakukan sedikit orang.

Dalam perspektif filsafat ilmu terdapat beberapa struktur pengetahuan manusia dalam menangkap kebenaran. Umumnya kita sudah puas pada tingkatan pertama yakni penalaran indrawi atau faktual. Atas bekal itu pula kita – dengan berani - membuat pilihan – pilihan atas ideologi, politik dan bahkan agama. Tingkat pertama ini tidak berfungsi secara lengkap, tidak  terstruktur, dan pada umumnya kabur. Ciri lainnya, berjibaku pada teks tapi lemah dalam konteks.

Penalaran indrawi kemudian menyuburkan praktik – praktik pembingkaian fakta atau framing dan penyesatan fakta atau hoax. Karena pelakunya atau yang berkepentingan atas itu percaya bahwa fakta – fakta yang dimunculkan akan dilayani sebagai kebenaran.

Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan humanis sekaligus menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha memeluk suatu kebenaran. Untuk itu manusia harus berusaha meng-up grade level kebenaran indrawi yang mereka pegang teguh selama ini kepada berbagai tingkatan di atasnya demi menjaga validitas kebenaran itu sendiri.

Di atas tingkatan kebenaran indrawi, disebut tingkatan ilmiah. Level ini memerlukan pembuktian empiris yang kemudian diolah dengan rasio. Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian ilmiah yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Epistemologis membahas metodologi ilmu pengetahuan dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Kemudian aksiologi menyangkut tujuan dengan mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.

Di atas ilmiah adalah tingkatan filosofis, di mana seseorang harus menajamkan rasio dan pikiran murni dengan perenungan mendalam yang semata – mata untuk meninggikan nilai kebenaran. Tingkatan tertinggi adalah religius, yakni kebenaran mutlak yang bersumber dari Sang Maha Pencipta dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dan iman.

Maka tingkatan religius tidak sepadan untuk didebatkan pada tingkatan kebenaran di bawahnya, apalagi hanya dengan modal indrawi-faktual, sebagai perangkat yang paling sederhana dan paling lemah dalam menemukan hakikat kebenaran.

Perjumpaan antara Musa dengan Khidir di antara laut Romawi dan Persia (dalam riwayat lain antara Romawi dan Atlantik) telah membuktikan bahwa tingkat kebenaran fakta atau indrawi yang banyak kita anut tidak bekerja untuk menemukan hakikat kebenaran. Jikapun tepat, itu hanyalah kebetulan belaka.

Musa adalah Rasul Allah dan nabi pilihan yang mampu membungkam tirani Fir’aun. Sedangkan Khidir atau Al-Khiḍr (Khaḍr, Khaḍer, al-Khaḍir) adalah nabi abadi. Keterangan mengenai beliau terdapat dalam Surah Al-Kahfi ayat 65-82 dan beberapa hadis.

Mystical Dimensions of Islam yang ditulis Annemarie Schimmel, juga mengakui bahwa Khidir adalah salah satu nabi dari empat nabi dalam kisah Islam yang dikenal sebagai “Sosok yang masih Hidup” atau “Abadi”.

Kala itu, Musa adalah sumber tuntunan agama dan wahyu Allah ada di genggaman Musa. Ia memiliki Taurat dan beragam mukjizat dari-Nya. Namun, rupanya Allah memiliki hamba lain yang lebih berilmu.

Allah pun menegur dengan mewahyukan pada Musa bahwa tak seorang pun di muka bumi yang mampu menguasai semua ilmu. Di belahan bumi lain terdapat seorang yang memiliki ilmu luar biasa. Ilmu itu tak dimiliki Musa sekalipun. Khidir menguasai ilmu ma’rifat dan mampu melihat masa depan.

Musa kemudian memutuskan untuk berguru kepada Khidir. Musa mendapati suatu pemandangan yang bertentangan dengan nalarnya. Tapi ia telah diperingatkan oleh Khidir agar tidak bertanya apalagi protes. Setiap tindakan Khidir dianggap aneh dan membuat Musa terperanjat.

Betapa tidak, di depan matanya, Khidir menghancurkan perahu yang mereka tumpangi, membunuh seorang anak kecil dan meminta Musa memperbaiki tembok milik salah satu kaum yang sudah memusuhi dan mengusir mereka. Bahwa di balik kebenaran yang dianut Musa ada kebenaran lainnya yang tertutupi oleh fakta.

Perahu yang dirusak Khidir adalah milik orang – orang papa, bila mereka meneruskan pelayaran, maka di depan mereka akan ada raja zalim yang merampas tiap – tiap perahu. Kemudian anak kecil yang dibunuh tersebut di masa depannya berpotensi untuk mendorong kedua orang tuanya menuju kesesatan dan kekafiran.

Adapun dinding rumah yang diperbaiki itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim, di bawahnya ada harta benda simpanan warisan orang tua mereka yang saleh. ~MNT





Comments