Macan Asia



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Dalam skala benua, ada beberapa negara yang dijuluki sebagai macan. Ia memiliki kelebihan, gahar dan tangguh. Macan adalah negara – negara yang mencapai pertumbuhan tinggi dan menguatkan strategi ekspor. Termasuk di dalamnya surplus perdagangan dan produktifitas tinggi.

Sebelum Soeharto berhasil membawa negeri ini kepada sebutan Macan Asia, yang didorong kuat oleh bonanza minyak dan derasnya investasi asing pada 1980-an, kolonial Belanda sudah melakukan hal serupa.

Ketika itu sebutan Macan Asia belum ada, namun pencapaiannya sama. Hindia Belanda unggul secara kekuatan ekonomi dan sangat menonjol di antara negara – negara Asia lainnya. Pada waktu itu Indonesia merupakan pengekspor terbesar sejumlah komoditas khususnya gula, kopi, tembakau, teh, kina, karet dan minyak kelapa sawit. Pada dekade 1930-an seluruh perkebunan Indonesia mencapai 3,8 juta hektar dengan nilai ekspor 1,6 juta gulden, bank – bank berkembang pesat dan seluruh sektor bangkit.

Industri manufaktur memiliki skala yang luas, pada tahun 1940 Belanda berhasil menarik 430 juta gulden dari Industri gula semata. Belum termasuk industri sabun, semen, keramik, logam baja, timah, minyak bumi yang seluruhnya tumbuh signifikan.

Pasar modal muncul dan modal asing – terutama dari Inggris dan Belanda – mengalir deras pada perkebunan, pertambangan dan industri manufaktur. Infrastruktur untuk mendukung perkenomian juga berkembang baik, seperti pelabuhan – pelabuhan, jalan kereta api dan jalan – jalan raya, termasuk pembangunan Jalan Raya Poros (Groote Postweg) sepajang 1.000 kilometer dari Anyer hingga Panarukan. (Trihusodo, dkk)

Tapi dasar penjajah, kekayaan itu tak mengalir ke tuan rumah, tapi dinikmati seluruhnya oleh kaum Kulit Putih, pribumi menikmati satu tetes kecil. Menurut Mubyarto, dari penerimaan Hindia Belanda (Indonesia sekarang) sebesar 670 juta gulden saat itu, 59,1 juta penduduk pribumi hanya menerima tempias 3,6 juta gulden (0,54 %), sedangkan keturunan Tionghoa yang waktu itu berjumlah hanya 1,3 juta jiwa kecipratan 0,4 juta gulden. Dan sisanya 665 juta gulden (99,4 %) menumpuki kekayaan elit Belanda dan kaumnya yang waktu itu hanya berjumlah 241.000 jiwa.

Selepas dari penjajahan, Indonesia kembali mengulang sukses sebagai negara kuat Asia. Ketika India dan China masih disebut sebagai potret kemiskinan di Asia, bangsa kita sudah melangkah cukup jauh di depan mereka. Tahun 80 – an sampai 90 –an, Indonesia menjadi salah satu kekuatan ekonomi di Asia dengan pertumbuhan GDP sangat mengesankan, 7 % sampai 8 % setahun. Pembangunan infrastruktur dan penanaman modal asing bergerak sangat cepat. Dan masyarakat bangga menjadi Indonesia.

Sayangnya pendekatan yang dilakukan hanya berbeda tipis dengan kolonial, seluruh rente ekonomi dinikmati elit dan asing. Kritikus menyebut model ini sebagai neoimperialis atau neoliberalis. Pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa dibarengi dengan keadilan sosial.

Rakyat hanya menikmati tetesan yang agak lebih besar dari yang Belanda berikan, dalam perspektif neolib disebut trickle down effect. Namun demikian karena lapangan kerja terbuka luas, Indonesia mampu lepas dari garis kemiskinan dan pendapatan per kapita menjadi sangat bagus.

Label Macan Asia yang dicapai Indonesia tidak hanya pada dimensi ekonomi. Pada masa Soekarno, kita juga disebut Macan Asia, karena kekuatan militer dan nasionalisme yang tinggi. Kekuatan militer Indonesia adalah salah satu yang terbesar dan terkuat di dunia.

Saat itu, bahkan kekuatan Belanda sudah tidak sebanding dengan Indonesia, dan Amerika sangat khawatir dengan perkembangan kekuatan militer Indonesia yang didukung besar - besaran oleh teknologi terbaru Uni Soviet.

Pada 1960, Belanda masih bercokol di Papua. Melihat kekuatan Republik Indonesia yang makin hebat, Belanda yang didukung Barat merancang muslihat untuk membentuk negara boneka yang seakan - akan merdeka, tapi masih di bawah kendali Belanda. Sayangnya Soekarno hanya fokus pada membangun rasa kebangsaan, namun sangat lemah pada bidang ekonomi sehingga rakyat terus melarat.

Sekarang ini tidak ada lagi Macan Asia untuk Indonesia. Biarpun kita masih tercatat ke dalam kelompok 20 ekonomi utama terbesar di dunia (G20). Tidak bisa lagi disejajarkan dengan Hong Kong, Singapura, Korea Selatan, Taiwan dan China.

Semua rezim pasti memiliki titik lemah, tapi kita masih meraba apa yang menjadi fokus dan titik terkuat rezim sekarang. Hanya sedikit yang bisa diekspor, dan impor menjadi kegemaran baru, mulai dari sapi, cangkul sampai garam. Akan ada sejuta alasan untuk selalu mengimpor. 

Program pembangunan tersekat, karena pemenuhan birahi elit birokrasi dan parlemen untuk menghabiskan uang rakyat dengan segala dalih regulasi dilakukan dengan merebut uang dari menghapus subsidi, menarik pajak dan utang yang sedianya bisa digunakan untuk membangun. Ratusan triliun dihabiskan untuk memenuhi tetek bengek pejabat negara dan anggota parlemen, selain beberapa lagi melakukan korupsi.

Di sisi lain, kita kemudian dengan bangga mengumumkan pembangunan infrastruktur dengan utang. Kalau di situ poinnya, Gubernur Jenderal Daendels itu sangat jahat, tapi dia justru mampu membangun 1.000 kilometer Jalan Poros tidak dengan berutang.

Penutup: Macan Asia bukan milik sepihak, bukan bualan kampanye, tapi sebagai cita – cita bersama. Macan Asia tak ada artinya, bila dengan itu rakyat masih terampas dan melarat. ~MNT


Comments