SWOT Maritim Kepri





Oleh  Muhammad Natsir Tahar

Bila diumpamakan Kepulauan Riau ini adalah telaga, maka luas daratan yang dihuni manusia hanyalah beberapa helai daun teratai. Empat persen dari 96 persen itu pun tidak penuh, sangat banyak pulau kosong dan belantara hutan. Meski dikepung laut biru, mata kita senantiasa menghala ke darat, kepada hijaunya dedaunan atau asap – asap pabrik. Sekian lama sudah kita memunggungi nikmat lebih besar yang Tuhan wariskan kepada bumi.

Rokhmin Dahuri dalam Teologi Negara Maritim menyebut, bangsa Indonesia - mestinya - memiliki landasan keyakinan (teologi) yang kukuh untuk menjadi bangsa maritim yang maju, kuat, dan makmur sebagaimana diisyaratkan dalam firman Tuhan. Jumlah kata tentang laut dalam Alquran dibunyikan sebanyak 32 kali, sedangkan daratan hanya 13 kali. 

Ternyata 32 dibagi 45 itu sama dengan 71%, sedangkan 13 dibagi 45 sama dengan 29%. Persis sama dengan fakta bahwa luas laut dunia memang sekitar 71% dan luas daratan hanya 29% dari seluruh permukaan bumi. Sudah saatnya raksasa tidur itu dibangunkan. Laut Kepri harus menjadi sentra pertumbuhan ekonomi baru, yang berfungsi sebagai sabuk kesejahteraan sekaligus sebagai sabuk kedaulatan. 

Dalam ruang terbatas ini saya ingin memadatkan problem kelautan Kepri dalam analisis SWOT (Strenght, Weaknesses, Opportunities dan Threats).  Strenght (kekuatan): Di wilayah pesisir dan laut Kepri terkandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa SDA terbarukan seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi, juga terdapat SDA tak terbarukan di antaranya minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya. 

Juga terdapat energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan ocean thermal energy conversion (OTEC) maupun jasa-jasa lingkungan kelautan untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.

Weaknesses (kelemahan): Kepri memiliki sejarah bahari yang epik, tentang pertempuran bala tentara hebat, pintu – pintu niaga dan Lingua Franca yang bertiup bersama angin laut. Sampai bangsa ini melihat laut sebagai tidak penting untuk tidak mengatakannya laksana wadah raksasa pembuangan limbah dan sampah. Kita melupakan jati diri sebagai bangsa serba bahari, wajah kita dipalingkan untuk mencukupi perburuan rempah – rempah hingga tanam paksa. 

Mereka yang kemudian merantau ke ranah Kepulauan Riau dengan membawa kultur kontinental, - yang sudah pula bertransformasi dari agraris ke industrialis - membentuk mindset yang tidak klop. Orientasi Orang Darat ini pula telah bersarang sekian lama di himpunan birokrasi, sehingga pengambilan keputusan – keputusan pembangunan selalu berorientasi kontinen.

Contoh utamanya adalah Batam. Pulau istimewa yang berada tepat di depan hidung Singapura. Batam berkutat kepada industri manufaktur, peningkatan area komersial, wisata dan galangan kapal, yang berfokus ke daratan. Bahkan ketika daratan Batam sudah tidak cukup, luasnya dicukupi dengan menambah enam buah jembatan megah. Bagaimana dengan laut? Hampir semua potensi jasa kelautan berada dalam genggaman Singapura.

Jangankan berangan – angan menyaingi Singapura, sebagai komplementer pun kita belum sampai ke tahap meyakinkan. Gara-gara kekuatan ekonomi, transportasi, dan hankam di laut kita lemah, biaya logistik Indonesia menjadi yang termahal di dunia, mencapai 26% Produk Domestik Bruto (PDB). 

Padahal, negara-negara lain lebih rendah dari 15% PDB - nya. Sementara lebih dari 75% barang yang kita ekspor harus melalui Pelabuhan Singapura karena hampir semua pelabuhan Indonesia terutama Batam belum jadi hub port yang memenuhi sejumlah persyaratan internasional. Itu baru fenomena permukaan.

Opportunities (kesempatan):  Visi untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu poros maritim dunia patut diapresiasi dengan banyak catatan. Budayawan dan Pemerhati Ekonomi Maritim Kapri Rida K Liamsi menegaskan bahwa kebijakan Poros Maritim dapat terlaksana jika pendekatan pembangunan nasional berubah haluan dari populis sentris ke potensi wilayah sentris. Itu artinya potensi kelautan distrik harus dapat dikerahkan demi kebangkitan ekonomi daerah (baca: menderek kesejahteraan masyarakat).

Kemudian secara implisit Rida mengingatkan agar proyek Poros Maritim tidak menjadi kebijakan populis-propaganga sebuah rezim, tapi ditingkatkan secara jangka panjang dalam skema garis besar haluan negara. 

Dengan demikian arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang ingin kembali berkiblat pada kekuatan laut, harus menjadi solusi untuk menyerap bonus demografi yang tentunya dengan memberi stimulus pada peningkatan SDM bidang maritim, tidak semata memproduksi para nakoda kapal tentunya.

Threats (ancaman): Poros Maritim dengan Tol Laut sebagai agenda nasional belum terlihat pencapaiannya. Banyak tahapan yang harus dilewati dalam pembangunan infrastruktur dan berbagai macam lompatan kebijakan baik secara sosial, politik, kapital dan konsistensi. 

Apalagi diskursus Poros Maritim tidak secara kongkret membicarakan tentang penyerapan tenaga kerja. Yang lebih diutamakan hanyalah sektor PAD, yang tidak memiliki dampak langsung terhadap pendapatan perkapita.

Untuk wilayah Kepri, Poros Maritim mendapat cobaan berat karena menghadapi tekanan politik regional Singapura, minimnya pendanaan dari pusat dan daerah serta mindset masyarakat urban yang begitu abai terhadap laut. 

Poros Maritim juga terancam hanya semata menjadi proyek kapitalisme global serta agenda – agenda ekonomi yang tidak berbasis kerakyatan.  Sedangkan idealnya pembangunan ekonomi maritim Kepri adalah sinergi dari pendekatan kesejahteraan dan hankam. ~MNT


Comments